Translate

Saturday, July 30, 2011

RESTRUKTURISASI KOMANDO TERITORIAL: SUATU KAJIAN POLITIK

[1]Pembinaan teritorial yang dikenal di Indonesia sekarang ini adalah pelaksanaan Doktrin Pertahanan Rakyat Semesta (Hankamrata) yang pada dasarnya merupakan doktrin pertahanan yang diwarisi dan dikembangkan dari pengalaman pada perang kemerdekaan di zaman revolusi dahulu. Almarhum Jenderal Besar A.H Nasution berkali-kali menegaskan bahwa perang rakyat semesta adalah alternarif yang tidak bisa dihindari oleh negara miskin yang bertempur melawan tentara negera kaya yang berperang dengan dasar doktrin perang konvensional.
Perang rakyat semesta mensyaratkan peranan penting rakyat, dengan tentara profesional sebagai inti kekuatan pertahanan. Dalam rangka pelaksanaan Doktrin Hankamrata inilah diperlukan aparat teritorial untuk mempersiapkan wilayah-wilayah Indonesia berperang dengan kekuatan gabungan rakyat dan tentara pada saat datangnya musuh. Wilayah Indonesia dibagi ke dalam wilayah-wilayah teritorial (Kodam) yang masing-masing dipimpin oleh seorang panglima atau komandan. Tugas kodam adalah mempersiapkan wilayah masing-masing untuk melakukan perang rakyat semesta pada saat negara diserang oleh kekuatan luar.
Dalam kenyataannya, aparat teritorial pada masa orde baru digunakan atau disalahgunakan untuk tujuan-tujuan politik penguasa dengan mengangkat Panglima Kodam menjadi aparat pelaksana Komkamtib dari Pembina Golkar. Kedudukan sebagai Pembina Laksus (pelaksana khusus) Komkamtib inilah terutama yang menjauhkan rakyat dari aparat teritorial  tersebut, karena pada akhirnya aparat teritorial menjadi alat untuk menggiring dan mengontrol rakyat bagi suksesnya program politik dan ekonomi penguasa. Dan karena selama ini tentara mempunyai peran sosial-politik yang dikenal sebagai doktrin Dwifungsi, maka tidak mengherankan jika masyarakat melihat kehadiran Kodam dan aparat teritorial di bawahnya sebagai bagian dari perangkat pelaksana Dwifungsi. Jelas sekali pandangan masyarakat yang keliru ini bersumber pada penyalahgunaan aparat teritorial oleh pemerintah Orde Baru yang didukung oleh tentara.
Bagaimana hari depan aparat teritorial, dan pembinaan teritorial di Indonesia? Jawaban terhadap pertanyaan ini terpulang pada pilihan kita kepda macam atau jenis doktrin pertahanan yang kita gunakan dengan konsekuensi masing-masing. Kalau kita mimilih doktrin perang konvensional, maka kita tidak perlu aparat teritorial. Dengan tidak adanya aparat teritorial ini, tidak berarti kita tidak lagi menganut doktrin perang semesta, sebab di zaman modern ini tidak ada lagi perang yang tidak semesta. Dan jika kita berbicara tentang perang semesta, maka sebaiknya kita jangan hanya merujuk kepada perang gerilya yang dilakukan pada zaman revokusi dahulu. Pengalaman kita itu hanya satu dari banyak kemungkinan perwujutan perang rakyat semesta.
Jika seandainya perang kita adalah perang konvensional, suatu pilihan yang mungkin sulit dihindari kelak, maka pilihan tersebut mensyaratkan biaya yang tinggi bagi pembiayaan tentara dan peralatannya.
Pilihan terhadap jenis doktrin pertahanan macama apapun yang diinginkan, merupakan urusan yang terlalu penting untuk diputuskan hanya oleh tentara sendiri, menginat ini menyangkut bukan soal teknis semata. Pilihan tersebut haruslah merupakan keputusan politik yang dilakukan oleh rakyat lewat wakil-wakil mereka di DPR/MPR.

Pilihan Jangka Pendek
Dalam berbagai kesempatan, Letnan Jenderal TNI Agus Widjojo, Kepala Staf Teritorial (kaster)[2] TNI, berbicara mengenai tiga pilihan pelaksanaan struktural Doktrin Pertahanan Rakyat Semesta itu. Pilihan Pertama, mempertahankan seperti yang ada sekarang: pilihan kedua, seperti yang ada sekarang, minus jangkauannya ke dalam masyarakat, sedang pilihan ketiga, menghapuskan Koter, dan tentara disusun dalam divisi-divisi saja.
Saya mendapat kesan bahwa Agus Widjojo pada khususnya dan TNI pada umumnya, lebih cenderung pada pilihan kedua, artinya koter masih seperti sekarang, tetapi fungsi pembinaannya dilakukan lewat pemerintah daerah sebagai aparat yang betul-betul mengetahui daerahnya yang para pemimpinnya dipilih oleh rakyat secara demokratis. Karena aparat teritorial tidak lagi menjangkau ke dalam masyarakat, maka aparat teritorial yang selama ini selalu bersentuhan dengan masyarakat, Komando Distrik Militer (Kodim), Kmando Rayon Militer (Koramil), Bintar Pembina Desa (Babinsa, dengan sendirinya akan hilang. Selain itu, untuk menghindari campur tangan tentara ke urusan-urusan pemerintahan atau kemasyarakatan, maka markas Kodam sebaiknya tidak diletakkan di kota yang sama dengan kantor Gubernur.
Untuk waktu dekat ini pilihan Agus Widjojo dan TNI itu agaknya merupakan pilihan yang paling realistis. Sebagai konsekuensinya, TNI memang akan lebih tampil sebagai alat pertahanan negara. Dalam hal ini barangkali ada baiknya jika posisinya sebagai alat negara yang strukturnya diperkuat. Sehubungan itu saya ingin mengusulkan agar setiap Kodam bertanggungjawab untuk mempertahankan wilayahnya, tetapi dilakukan dalam payung pertahanan bersama wilayah tertentu yang berada di bawah pimpinan seorang Panglima Mandala yang bersifat gabungan. Karena bersifat gabungan, maka kodam-kodam itu nantinya bersifat gabungan sesuai dengan corak daerah yang menjadi tanggungjawabnya. Daerah maritim coraknya maritim, daerah Angkatan Udara bercorak dirgantara, daerah darat bercorak Angkatan Darat.
Komando Mandala bukan aparat teritorial, tetapi tugasnya adalah bertanggung jawab mempertahankan mandalanya secara mobile dan teritorial dengan bertumpu pada kodam-kodam yang dibawahinya. Berapa mandala yang diperlukan Indonesia? Mungkin dua, mungkin tiga.

Pilihan Jangka Panjang
Entah untuk waktu berapa lama kita bertahan dengan pilihan jangka pendek tersebut. Perkembangan cara berperang, alat perang, perkembangan masyarakat kita sendiri, semua akan memaksa kita perkembangan masyarakat kita sendiri, semua akan memaksa kita untuk tidak bisa tetap bertahan dengan pilihan jangka pendek ini. Pada tingkat tertentu perkembangan-perkembangan yang disebutkan tadi, maka pengorganisasian tentara juga harus berubah. Perang, persenjataan, tingkat perkembangan masyarakat, bentuk hubungan politik antarnegara, semua secara bersama mempengaruhi dinamika pertahanan negara di semua penjuru dunia. Pada tingkat tertentu perkembangan masyarakat kita tidak akan memerlukan pembinaan lagi, pada tingkat tertentu perekonomian dan peradaban kita, perang gerilya hanya akan menjadi cerita romantic bagi anak cucu kita. Pada saat itu Doktrin Pembinaan Wilayah dan aparat koter hanya akan menjadi benda-benda yang menarik sebagai koleksi museum sejarah kita.
Ada pun sekarang, ketika polisi baru mulai belajar kembali menjadi polisi setelah lebih dari 32 tahun termiliterkan, ketika ancaman disitegrasi mengintai di berbagai oenjuru, tatkal konflik horizontal setiap saat bisa terjadi di mana saja, kapan saja, dan dengan alasan apa saja, keberadaan koter di berbagai tempat untuk sementara haruslah diterima.
Cuma saja haruslah selalu diingat bahwa Koter nanti janganlah berpretensi sebagai Big Brothers yang serba tahu seperti di masa lalu. Sejarah Koter adalah sejarah yang sarat dengan sikap dan mental Big Brothers, yang bersumber pada apa yang di mata tentara dianggap sebagai “kegagalan sipil”. Tetapi pengalaman Orde Baru selama 32 tahun mengajarkan kita semua bahwa TNI juga tidak berhasil mengatasi persoalan-persoalan yang dihadapi di Indonesia. Banyak bahkan persolan rumit yang kita hadapi sekarang ini dapat dilihat sebagai akibat kegagalan TNI sebagai tulang punggung utama orde baru. Mungkin tidak berlebihan untuk mengatakan bahwa pasca Orde Baru adalah suatu masa di mana “kerja sama” anatara kaum sipil dan militer dibangun berdasarkan aturan-aturan konstitusional yang konsekuensinya adalah ‘politik negara adalah politik tentara’.

Teritiorial dan Politik
Kritik terhadap aparat teritorial yang muncul menyertai serangan terhadap dwifungsi, adalah sesuatu yang salah kaprah. Aparat teritorial dilihat oleh para pengkritiknya sebagai alat politik tentara untuk melaksanakan program politik militer. Kritik mereka didasarkan pada pengalaman orde baru ketika Koter berperan sebagai laksus kopkamtib dan para panglima menjadi pembina golkar. Tapi persoalannya koter itu tidak pernah menjadi alat politik.
Sejarah koter tidak bisa dipisahkan dari perang gerilya yang kita alami di zaman revolusi dahulu, serta perang antigerilya yang dilakukan TNI terhadap DI/TII serta sisa-sisa pemberontakan PRRI/Permesta. Pengalaman Indonesia, dan pengalaman dunia menunjukkan bahwa perang gerilya tidak pernah bebas politik. Inilah dasar mengapa anggota TNI di masa revolusi menyebut diri mereka pejuang kemerdekaan (freedom fighter) lebih dari sekedar hanya anggota tentara. Ideology dan politik gerilya di zaman revolusi adalah kemerdekaan dari penjajah Belanda. Ideologi politik tentara dan teritorium di tahun lima puluhan adalah menjaga integritas Negara Kesatuan Indonesia. Adapun ideology dan politik Koter dan di zaman menjelanghingga zaman demokrasi terpimpinadalah mencegah Republik Indonesia jatuh ke tangan komunis. Sementara politikm koter di zaman Orde Baru, paling tidak pada paruh kedua perjalanan Orde Baru, adalah politik dan ideologi untuk memperpanjang dan mempertahankan kekuasaan penguasa Orde Baru. Maka ketika Orde Baru terpuruk, selain Dwifungsi, koter juga jadi sasaran pembubaran. Bisa dibayangkan bahwa seandainya PKI dulu menang, terhadap koter pilihan mereka hanya dua, membubarkan atau justru memanfaatkan Koter untuk melindaslawan-lawan politik PKI, sebagaimana yang kemudian dilakukan oleh Orde Baru. Dari pengalaman ini, satu pelajaran penting yang kita peroleh yakni Koter akan memusuhi dan dimusuhi rakyat jika tentara mempunyai program politiknya sendiri lepas dari politik negara yang dirumuskan dan diputuskan oleh wakil rakyat dan pemerintah yang dipilih rakyat secara demokratis.
Atas dasar pengalaman dan pertimbangan inilah maka pembicaraan mengenai fungsi dan struktur teritorial jangan sampai hanya dianggap sebagai pembicaraan teknis belaka. Kontroversi di sekitar fungsi dan struktur teritorial ini adalah soal politik. Yang menyangkut  jarak alokasi kekuasaan negara dengan tentara, penggunaan kekuasaan tersebut, persiapan serta pengelolaannya. Oleh sebab itu, persoalan ini dalam bentuk Undang-Undang Pokok Pertahanan serta Undang-Undang yang mengelaborasinya-adalah domain para politisi terpilih.


Makalah untuk semiloka teritorial TNI, diadakan oleh Mabes TNI, Jakarta 24-25 Januari 2001

Salim Said
Pengamat Politik Militer/Guru Besar Ilmu Politik Universitas Muhammadyah Malang
Pengajar di beberapa Universitas di Indonesia, seperti Universitas Indonesia, Universitas Pertahanan Nasional, Universitas Muhammadyah Malang, Lemhanas, Seskoad, dan beberapa universitas lainnya.



[1] Artikel ini disadur dari buku Militer Indonesia dan Politik: Dulu, Kini dan Kelak, Salim Said, (Jakarta: Sinar Harapan), 2001
[2] Jabatan kaster sudah dihapuskan dalam struktur militer sebagai bagian dari upaya reformasi militer (1998-2004).

Friday, July 29, 2011

TROWULAN: PERADAPAN YANG HILANG?



Hampir 200 tahun (1293-1521) sebuah kerajaan besar berdiri di ujung timur pulau Jawa. Kerajaan yang kemudian dikenal sebagai kerajaan Majapahit, memiliki arti yang begitu  penting bagi perkembangan bangsa Indonesia. Melalui salah satu sumpah terkenal, Amukti Palapa (Sumpah Palapa) , sang Jenderal besar pada masa itu, Gadjah Mada mendeklarasikan konsep nasionalisme nusantara. Sebuah konsep nasionalisme yang lebih dahulu menggema dibandingkan konsep nasionalisme Hatta dan kawan-kawan di Belanda, pada 1920. Selain itu, pada masa Majapahit, kitab Sutasoma karangan Mpu Prapanca ditulis. Di dalam kitab ini, ditemukan istilah Bhinneka Tunggal Ika dan kemudian dijadikan semboyan negara kita. Kerajaan Majapahit juga merupakan salah satu Kerajaan terbesar di Asia Tenggara pada abad ke-XIII. Hal ini dibuktikan dengan luasnya daerah jajahan Majapahit, mulai dari sebagian Semenanjung Malaka sampai Ambon.  Bahkan untuk mengenang kebesaran kerajaan ini, sastrawan handal, Pramoedya Ananta Toer menulis salah satu buku fenomenal, Arus Balik.
Memasuki 2009, gaung Majapahit kembali diperdengarkan. Bukan karena kebesarannya tetapi mengenai pembangunan  proyek megah milik pemerintah, yakni Pusat Informasi Majapahit (PIM). Proyek yang menurut rencana akan menghabiskan dana sebesar 25 miliar, berlokasi di ibukota kerajaan Majapahit pada masa lalu, yakni Trowulan, Kabupaten Mojokerto, Jawa Timur. Proyek megah ini mengundang kontroversi. Proyek ini dibangun di atas sisa kerajaan Majapahit. Beberapa fondasi awal proyek, ternyata menghancurkan situs-situs Majapahit, seperti kanal, situs tempat pemakaman, situs agama, dan beberapa situs lainnya. Proyek ambisius ini sendiri telah melanggar standar prosedural arkeologi dan Undang-Undang nomor 5 tahun 1992 mengenai cagar budaya. Dari segi arkeologi, pembangunan PIM sangat jelas menggambarkan rendahnya penghargaan bangsa ini terhadap peninggalan sisa-sisa peradapan bangsa dan dunia. Ketika Yunani masih memiliki dan menjaga sisa-sisa Acropolis di Athena, Italia menyimpan reruntuhan  Pompeii, Kamboja melestarikan Angkor Wat, dan Peru masih terus menjaga Machu Pichu, serta Meksiko dengan Aztecnya, bangsa kita sebenarnya harus berbangga dengan Majapahit dan situs-situsnya (Kompas, 13/1/2009). Situs-situs yang dirusak oleh adanya proyek ini memberikan dampak bagi usaha rekonstruksi arkeologi mengenai peradapan bangsa Indonesia sekitar abad XIII-XV. Rekonstruksi yang dimaksud adalah melihat kembali bagaimana kehidupan masyarakat Indonesia pada masa tersebut, khususnya tata kota dan pola urbanisasi setempat. Para arkeolog  menyesalkan program pembagunan PIM yang cenderung bersifat destruktif. Padahal usaha para arkeolog untuk terus menggali sisa-sisa Kerajaan Majapahit telah berlangsung semenjak masa penjajahan, yakni tahun 1815 oleh Wardenaar, seorang bawahan Raffles. Kemudian penelitian dan penggalian terus dilakukan sampai sekarang. Namun, usaha yang sudah digagas ratusan tahun lalu akan hancur begitu saja, jika pembangunan PIM terus dilakukan di atas situs Trowulan.  Produk hukum, berupa UU nomor 5 tahun 1992 ternyata juga tidak mampu memberikan perlindungan dan pengekangan terhadap program ambisius pemerintah ini. Secara jelas disebutkan bahwa pelestarian benda-benda cagar budaya harus dijaga dan dilestarikan oleh seluruh elemen bangsa, termasuk pemerintah. Namun, usaha pelestarian ini justru dirusak sendiri oleh pemerintah dengan tetap membangun proyek ini.
Masyarakat di sekitar situs Trowulan sendiri juga turut memberikan kontribusi terhadap usaha perusakan situs bersejarah ini. Kerusakan situs Trowulan disinyalir sudah dimulai pada tahun 1990. Masyarakat di sekitar situs tersebut menjadikan sisa-sisa peninggalan Majapahit, seperti sisa batu bata, sisa keramik dan mata uang, bahkan emas sebagai mata pencaharian utama dan sampingan mereka. Menurut laporan Pusat Penelitian dan Pengembangan Budaya Departemen Kebudayaan dan Pariwisata, sedikitnya 5000 keluarga memiliki mata pencaharian utama dari industri batu bata yang materialnya berasal dari galian tanah di sekitar situs Majapahit tersebut. Belum lagi beberapa laporan yang menyebutkan beberapa peninggalan Majapahit berupa perhiasan emas kerajaan yang diperjualbelikan warga untuk menunjang kehidupannya. Hal ini merupakan sebuah paradoks.  Di satu sisi, penjarahan dan pengrusakan oleh warga setempat merupakan altenatif utama meningkatkan taraf hidup mereka. Kondisi wilayah trowulan yang memperkuat hal ini. Namun, di sisi lain problem ini merupakan  pertanyaan serius bagi pemerintah, mengenai peranan pemerintah dalam meningkatkan kondisi kesejahteraan masyarakat di sekitar situs-situs Majapahit.
Berdasarkan dua hal diatas, sebenarnya terdapat satu argumen tunggal, yakni  bangsa kita  belum memiliki rasa kepemilikan (sense of belonging) terhadap sejarah dan perkembangan kebudayaan Indonesia. Ketika kita berusaha melancarkan sejumlah protes terhadap pematenan yang dilakukan oleh sejumlah negara terhadap hasil-hasil budaya kita, tetapi di pihak lain, peninggalan sejarah yang begitu berharga nilainya ditelantarkan. Padahal melalui peninggalan itu, bangsa kita dapat menafsirkan kembali perdapan kita di masa lalu dan dapat berbangga bahwa peradapan Indonesia memiliki satu ciri khas yang bisa dibandingkan dengan peradapan-peradapan dunia lainnya. Tingkat arsitektur maupun perkembangan penulisan sastra yang begitu pesat pada zaman Majapahit serta penghargaan yang begitu besar terhadap multikulturalisme merupakan aset-aset peradapan yang tidak kalah dengan sejumlah peradapan fenomenal seperti Aztec di Meksiko atau Mohenjadaro di kawasan Timur Tengah. Kontribusi Majapahit bagi Indonesia sangat besar, tetapi ambisi besar pemerintah untuk mendirikan sebuah megaproyek akan menjadi sebuah bumerang tersendiri untuk merekonstruksi ulang sejarah peradapan dan kebudayaan Indonesia. 
Menjadi sebuah bangsa besar bukanlah sekedar menciptakan sejumlah inovasi dan teknologi dalam persaingan global seperti yang dikumandangkan pemerintah selama ini. Namun, bagaimana bangsa ini memiliki sebuah kepekaan dan kepeduliaan dalam melestarikan dan menjaga sisa-sisa peninggalan sejarah kebudayaan sendiri. Serta, implementasi hasil inovasi dan teknologi yang ada terhadap pelestarian sisa-sisa kebudayan bangsa kita.

Hipolitus Wangge
Peneliti Pacivis UI
Anggota Forum Academia NTT
Tulisan Tahun 2009

PERSIMPANGAN JALAN POLITIK

Tahun 2009 adalah tahun politik, karena ditandai dengan pesta demokrasi terbesar, yakni  pemilihan umum pada April (legislatif) dan Juli (presiden).Perdebatan dan diskusi yang dibangun, baik di tingkatan elit ataupun akar rumput (grass root) berangkat dari tema menjelang pemilu 2009 dan seluk-beluknya. Walaupun dihimpit oleh berbagai permasalahan bangsa, seperti krisis ekonomi dunia, penggangguran yang semakin meningkat, kelangkaan BBM, maupun permasalahan klasik lainnya, tetapi tidak mengurangi perhatian seluruh elemen bangsa terhadap hajatan pesta demokrasi terbesar, yakni pemilu 2009. Muncul harapan besar dari seluruh masyarakat Indonesia terhadap jalannya pemilu dan munculnya sosok pemimpin yang mampu membawa Indonesia ke arah perubahan yang lebih baik.
Dimana peran kaum muda dan mahasiswa menyikapi fenomena politik 2009. Berangkat dari historisitas kaum muda dan mahasiswa Indonesia, akan ditemukan bahwa peran kaum muda sangat menentukan dalam pembangunan kedewasaan bangsa Indonesia. Peristiwa Sumpah Pemuda1928, Rengasdengklok 1945, Transisi Orde Lama menjadi Orde Baru 1965, Peristiwa Malari 1974, Lengsernya  Orde Baru 1998, sampai berbagai aksi demonstrasi reaksioner seperti sekarang merupakan segelintir bukti bahwa kaum muda dan mahasiswa adalah salah satu elemen krusial keberlangsungan hidup negara ini. Kaum muda harus dipahami sebagai aktor netral yang mengusung dan menjadi bagian integral dari rakyat. Mahasiswa adalah kelompok akademis yang menjadi bagian dari kaum muda. Keduanya hanya dibedakan atas status sosial “usang” tanpa mengurangi peran mereka sebagai simbol perlawanan rakyat dan penyalur aspirasi rakyat.
Menjelang pemilu, baik kaum muda maupun mahasiswa dengan menggunakan rel gerakan perlawaman melakukan berbagai aksi protes menentang kebijakan pemerintah yang dinilai tidak berpihak pada masyarakat. Mulai dari aksi damai sampai aksi yang berbau anarkis menjadi gambaran begitu masifnya semangat perlawanan kaum muda untuk menyuarakan aspirasi masyarakat. Setahun belakangan ini, muncul berbagai isu yang diusung kelompok-kelompok kaum muda dan mahasiswa dalam aksi mereka. Mulai dari isu sektoral seperti pendidikan (pendidikan gratis dan BHP) sampai isu-isu lintas sektoral, perburuhan (upah), kenaikan BBM, dan pertanian (kesejahteraan petani), ataupun isu internasional invasi Israel ke Palestina. Walaupun menggunakan berbagai identitas gerakan, tetapi kaum muda dan mahasiswa tetap dipersatukan dalam semangat perlawanan masyarakat. Namun, di pihak lain muncul kegelisahan dimana posisi mahasiswa menjelang pemilu 2009. Di satu sisi, gelombang golput yang semakin tinggi disuarakan dan diusung oleh kaum muda dan  mahasiswa. Namun, di pihak lain, muncul kaum-kaum muda partai politik yang awalnya terkesan antipati dengan oligarki sistem politik Indonesia. Belum lagi muncul resistensi masyarakat terhadap aksi-aksi anarkis mahasiswa menjelang pemilu 2009.
Golongan putih yang muncul pada pertengahan 1970-an, sebenarnya “diotaki” oleh sekelompok  mahasiswa yang tidak puas dengan logika sistem pemerintahan Indonesia yang cenderung otoriter. Kemudian berkembang menjadi sebuah aliran yang tidak hanya diusung mahasiswa atau kaum muda tetapi juga disosialisasikan dan dipraktekkan oleh masyarakat pada umumnya. Hal ini mendulang hasil, pemilu-pemilu di tingkatan daerah menunjukkan rata-rata angka golput mencapai 35 persen dari total suara pemilihan. Hal ini menjelaskan bahwa tidak hanya mahasiswa yang jenuh dengan prosedural demokrasi Indonesia, tetapi juga dialami oleh masyarakat Indonesia, malahan masyarakat sendiri memiliki pertimbangan yang cukup signifikan, yakni pemilu tidak mampu mengkonversi kemiskinan menjadi kesejahteraan. Terkesan picik, tetapi itulah yang dialami hampir 63 tahun kemerdekaan.
Di pihak lain, muncul kelompok-kelompok kaum muda yang mengusung semangat perubahan dengan memilih jalur partai politik. Argumentasi kelompok ini dibangun berdasarkan kenyataan bahwa perubahan dapat dilakukan dengan masuk ke dalam sistem yang berlaku di negara ini. Politisi-politisi muda menyuarakan semangat perubahan layaknya seorang Barack Hussein Obama melakukan kampanye politik demi memenangi suara rakyat dalam pemilihan umum Amerika Serikat, pada November kemarin. Bedanya Obama memiliki visi dan misi yang benar-benar dibangun atas dasar realitas pluraslime Amerika. Sedangkan politisi-politisi muda ini seringkali hanya demi menunjukkan eksistensi semu mereka demi mendapatkan perhatian lebih dari masyarakat. Belum lagi, muncul politisi yang terkesan aji mumpung ketika di masyarakat muncul keinginan mencari pemimpin-pemimipin muda yang progresif dan revolusioner demi membangun Indonesia menjadi lebih baik.
Di tengah kedua gelombang di atas, muncul pula antipati dari masyarakat sendiri terhadap aksi-aksi mahasiswa yang cenderung anarkis beberapa bulan terakhir ini. Terdapat tujuh kali aksi mahasiswa yang berbau anarkis dan terekspos secara masif di media sepanjang tahun 2008. Mulai dari penyerangan kantor Wali Kota Kendari oleh mahasiswa Universitas Haluoleo pada Maret 2008 dengan isu penertiban pedagang kaki lima sampai bentrok antara mahasiswa dengan polisi di Universitas Islam Indonesia Yogyakarta pada 20 Desember 2008 berkaitan dengan isu komersialisasi pendidikan. Masyarakat mulai melihat kembali dimana posisi intelektualitas kaum muda dan mahasiswa di tengah tuntutan keberpihakan pada masyarakat. Isu-isu populis yang diusung memang memberikan harapan kepada masyarakat bahwa kaum muda dan mahasiswa tetap bersama-sama masyarakat menyikapi kebijakan pemerintah yang cenderung tidak berpihak pada masyarakat. Namun, dengan melakukan aksi protes yang anarkis hanya demi menunjukkan eksistensi gerakan mahasiswa dan kaum muda, dapat  memunculkan resistensi masyarakat.
Akhirnya, reposisi kaum muda dan mahasiswa harus dipertegas kembali. Bukan hanya menyuarakan alternatif pilihan, menujukkan eksistensi politik tetapi juga harus berlandaskan semangat kerakyatan. Semua itu akan memberikan harapan besar bahwa Indonesia ke depan akan tetap menempatkan mahasiswa sebagai elemen krusial kedewasaan bangsa dan negara ini.

Hipolitus Y.R Wangge
Peneliti Pacivis UI
Anggota Forum Academia NTT
Tulisan Tahun 2009

Politik Pintu Terbuka sebagai Wujud Transformasi Modal dan Transformasi Agraria di Indonesia

Hipolitus Y.R Wangge[1]

Pasca defisit keuangan Pemerintah Belanda, para pejabat di bawah pimpinan Elout, Van der Cappellen mulai melakukan sejumlah kebijakan internal maupun eksternal guna meningkatkan pendapatan kerajaan, khusunya di Hindia Belanda. Kebijakan internal yang dilakukan adalah dengan melakukan reformasi dan rasionalisasi struktur birokrat negara. Sejumlah pejabat yang disinyalir melakukan korupsi ditindak secara tegas. Sedangkan  di tingkat eksternal, arah kebijakannya ditujukkan kepada daerah-daerah koloni kerajaan, secara khusus di Hindia Belanda. Hal ini dikarenakan salah satu penyebab defisit keuangan negara adalah biaya perang yang begitu besar, terutama Perang Diponegoro dan Perang Paderi. Selain itu juga dikarenakan VOC ( Verenigde Oost Indische Compagnie) mengalami kerugian besar.
Upaya pertama yang dilakukan adalah penempatan Van den Bosch sebagai Gubernur Jenderal baru, setelah ditinggal T.S Raffles (1811-1816) yang pulang ke Inggris. Solusi utama peningkatan keuangan negara adalah pelaksanaan konsep tanam paksa (1830-1870). Orientasi dari pelaksanaan sistem tanam baru ini adalah peningkatan ekspor daerah koloni yang diperjualbelikan di pasar internasional. Ketentuan-ketentuan dalam sistem tanam paksa pada dasarnya adalah peningkatan surplus pertanian yang ditujukan untuk peningkatan keuangan Belanda. Sistem tanam paksa sebenarnya merupakan lanjutan dari kebijakan liberal dalam bentuk sewa tanah yang telah digagas Raffles. Melalui sewa tanah, mulai berdatangan sejumlah besar modal akibat datangnya banyak orang Eropa ke Hindia Belanda[2]. Namun, hal ini tidak betahan lama, karena pasca London Treaty (1814) antara Belanda dan Inggris, maka   Hindia Belanda kembali menjadi wilayah jajahan Belanda (1816). Sistem tanam paksa diterapkan setelah Belanda kembali menguasai Hindia Belanda. Pelaksanaan tanam paksa mendatangkan keuntungan yang begitu besar terhadap devisa kerajaan Belanda, karena produk-produk pertanian yang berasal dari Hindia Belanda laku pesat di pasar internasional, khususnya Eropa dan Amerika. Namun, terjadi pergolakan pada akhir tahun 1869.  
Pada akhir 1869, pemilihan Parlemen Belanda didominasi kelompok liberal. Kelompok liberal yang muncul pada pertengahan abad- XIX di Belanda, melihat bahwa keuntungan yang begitu besar dari tanah jajahan tidak hanya dimonopoli pemerintah setempat, tetapi juga harus diberikan kepada pihak swasta berdasarkan mekanisme pasar bebas. Kelompok liberal merupakan manifestasi dari kelas borjuis Belanda yang juga menginginkan keuntungan dari tanah jajahan. Kelas borjuis ini menampakkan sifatnya sebagai kelas kapital borjuis, yakni kapital yang hanya berorientasi pada keuntungan sebesar-besarnya dari surplus pertanian. Dampak selanjutnya orientasi kebijakan ekonomi di Hindia Belanda juga terpengaruh. Kepemilikan pemerintah yang begitu dominan di bidang pertanian, khususnya kepemilikan tanah, kemudian harus berganti menjadi kepemilikan swasta. Terjadi swastanisasi terhadap sektor pertanian dan perkebunan di Hindia Belanda. Banyak perkebunan swasta bermunculan di Sumatera Timur dan sebagian besar Jawa. Tanaman-tanaman perkebunan seperti kopi, kina, kopra, kapas menjadi tanaman ekspor yang cukup laku di pasaran internasional. Hal ini kemudian memunculkan sekelompok pengusaha-pengusaha baru yang berasal dari Eropa yang menguasai hampir semua surplus kemakmuran dari sektor pertanian. Melihat hal ini Gubernur Jenderal Van Den Bosch berusaha mengikis kepemilikan swasta yang berlebih dengan sistem bagi hasil yang sebagian besar dikuasai pemerintah Belanda. Kelas kapital negara muncul atas kegelisahan Van Den Bosch tersebut. Negara menginginkan dominasi dalam penguasaan keunutngan dari tanah jajahan[3]. Beberapa langkah yang ditempuh adalah penetapan beberapa undang-undang, seperti [4]:
1.      Undang-Undang Perbendaharaan Hindia Belanda (Indische Comptabiliteitswet) tahun 1867 yang menyatakan bahwa anggran belanja Hindia belanda harus ditetapkan dengan undang-undang, jadi dengan persetujuan Parlemen belanda
2.      Undang-Undang Gula (Suikerwet) tahun 1870,  berisi ketetapan bahwa tanaman tebu adalah tanaman monopoli pemerintah berangsur-angsur akan dihilangkan sehingga di Pulau jawa dapat diusahakan oleh pengusaha swasta.
3.      Undang-Undang Agraria (Agrarichwet) yang berisi :
·         Tanah di Hindia Belanda (Indonesia) dibedakan atas dua, yakni tanah rakyat dan tanah pemerintah
·         Tanah rakyat dibedakan atas tanah milik yang sifanya bebas dan tanah                                                                  desa yang miliknya tidak bebas. Tanah rakyat tidak boleh dijual kepada bangsa asing, hanya boleh disewakan
·         Tanah pemerintah dapat dijual untuk tanah milik atau disewakan selama 75 tahun                                                                                                                    
Melalui kebijakan tanam paksa, kepemilikan modal tetap diberikan kepada swasta yang bekerjasama dengan pemerintah. Kebijakan ini memunculkan sejumlah besar modal asing yang berasal dari Eropa dan Amerika. Era ini kemudian dikenal dengan Politik Pintu Terbuka (Open Door Policy). Selain muncul begitu banyak perkebunan, seperti teh,kopi,kina, serat nanas, kelapa sawit, juga terdapat pembukaan pertambangan di Hindia Belanda, seperti minyak di Sumatera dan Kalimantan, batubara di Sumatera Barat dan Selatan, serta timah di Kepulaan Bangka. Masuknya modal swasta ini, kemudian menuntut bukan hanya keuntungan, tetapi dengan keuntungan yang diperoleh ini mampu memberikan keuntungan lagi melalui proses industri yang bernafaskan efisiensi dan efektivitas. Kemudian muncullah jalur kereta api di Hindia belanda, jalan raya, pelabuhan dan sejumlah infrastruktur lainnya demi tercapainya modernitas, khususnya sektor pertanian. Gaya kapitalis negara, berubah menjadi kapiltalis industri yang didominasi pengusaha-pengusaha Eropa dan Amerika. Era baru masuknya modal ini justru membuat masyarakat semakin sengsara. Kondisi pertanian dalam negeri bersifat eksplosif dan eklsploitatif demi memenuhi kebutuhan ekspor dan pendapatan negara Belanda. Sedangkan para petani semakin sulit unutk dapat meningkatkan kesejahteraan hidupnya. Kolonialisme telah mengubah struktur masyarakat Indonesia dan pola pertanian bangsa ini.
Berdasarkan pola tanam baru ini (cultuuer stelsel), secara tidak langsung mengubah transformasi agraria di Indonesia. Masyarakat Indonesia dipaksakan menyeragamkan komoditi pertanian demi kepentingan ekspor. Padahal masyarakat Indonesia masih menerapkan pola pertanian tradisional yang bersifat subsisten. Petani Indonesia pada dasarnya menggunakn pola produksi pertanian untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari, kalupun terdapat kelebihan produksi (over production), kelebihan produksi ini dipertukarkan dengan kebutuhan pokok lainnya. Hal ini berubah setelah pihak kolonial menerapkan pola tanam paksa, dengan memaksa petani menanamkan produk-produk pertanian berorientasi ekspor yang laku di pasar internasional, seperti kopi, teh,kina,kapas, kelapa sawit[5]. Selain itu, penggunaan asupan pertanian baru seperti pupuk kimia, traktor, mesin giling, dan berbagai input lainnya membuat pola pertanian Indonesia bergantung kepada asupan peningkatan produksi pertanian dari luar negeri. Sistem produksi pertanian Indonesia rentan terhadap input-input pertanian yang berasal dari Eropa.
Berikutnya adalah hancurnya transformasi agraria di Indonesia. Secara sederhana, transforma agraria adalah peralihan masyarakat dari feodal dan agraris ke masyrakat kapital dan industrialis. Berpindahnya penduduk pedesaan yang semula agraris menjadi pekerja sektor modern karena tumbuhnya berbagai bidang kerja sektor modern. Struktur masyarakat pertanian Indonesia, idealnya mengalami hal ini, tetapi dihambat oleh arus kolonialisme. Konsepsi Adam Smith bahwa dalam proses transformasi agraria akan memunculkan kelas pekerja, tuan tanah dan kelas kapitalis. Upah, sewa tanah dan modal merupakan output dari munculnya ketiga kelas sosial tersebut. Masyarakat Barat melewati proses yang menyeluruh dari transformasi agraria. Kelas tuan tanah memiliki surplus pertanian yang dikonversi menjadi teknologi pertanian yang berevolusi menjadi industrialisasi. Terjadinya industrialisasi yang menuntut efektivitas dan efisiensi produksi membuat sektor pertanian mengalami evolusi menjadi pertanian berbasis agroindustri dan agrobisnis. Kelas tuan tanah berubah menjadi kelas pemilik modal (kapitalis). Ditambah dengan berkembangnya lembaga-lembaga demokrasi, maka proses transformasi masyarakat petani di Eropa berjalan maksimal dan menyeluruh. Sedangkan di Indonesia, pasca masuknya modal asing dan perubahan pola pertanian lokal, maka proses transformasi juga berjalan mandet, bahkan tidak berjalan sama sekali. Masyarakat petani di Indonesia, dibagi atas petani sawah (Jawa, Sumatera, dan Sulawesi Selatan), petani ladang berpindah (Kalimantan, sebagian besar Sulawesi, NTT) serta petani peramu dan pemburu (Papua)[6]. Pihak kolonial menghancurkan tatanan pertanian tersebut dan menggantinya dengan pertanian kapital, dimana surplus pertanian tidak dinikmati oleh para tuan tanah dan kelas pekerja, tetapi dikuasai kelas kapitalis, baik kapitalis borjuis, kapitalis negara maupun kapitalis industri. Kelas tuan tanah di Indonesia semasa diberlakukan open door policy, hanya dijadikan pengumpul pajak dan upeti bagi pemerintah, sebagai imbalannya mereka diberi gaji dan mendaptkan kepercayaan sebagai bagian integral dari pemerintah kolonial. Sedangkan kelas pekerja yang diisi oleh para petani gurem dan miskin, hanya menjadi sapi perah pemodal dan pemerintah. Sistem produksi subsisten diganti menjadi pertanian berorientasi ekspor, yang sama sekali tidak memberikan manfaat bagi peningkatan kesejahteraan petani di Indonesia. Akumulasinya adalah di Indonesia, kelas tuan tanah semakin terlantar dan tidak menikmati sewa tanah dan petani tidak mendapat upah yang layak seperti yang tertera dalam platform wealth of nationsnya Adam Smith. Wealth of nation hanya diberikan kepada pihak kolonial Belanda, sedangkan Indonesia hanya menjadi sapi perahan dan lumbung kuli bagi bangsa lain.   



Indonesia adalah bangsa kuli, kuli bagi bangsa sendiri dan kuli bagi bangsa lain.
Pramoedya Ananta Toer dalam buku Jalan Raya Daendels Jalan Raya Pos                                                                  

Tulisan diatas merupakan tulisan lama ketika masih menuntut ilmu di Yogyakarta


[1] Penulis adalah pemuda desa  (florida) di seberang lautan.  Makalah sederhana dipresentasikan pada diskusi senin, 6 April 2009 di UPN Veteran Yogyakarta.
[2] Sejarah Indonesia, dalam www.google.com/books, diakses pada 2 April 2009
[3] Ibid, hal 23
[4] Modul Pembelajaran Sejarah, dalam www.yahoo.com, diakses pada tanggal 2 April 2009
[5] Setiawan Bonnie, Globalisasi Pertanian : Ancaman atas Kedaulatan Bangsa dan Kesejahteraan Petani. Jakarta: Institute For Global Justice, 2003, hal. 20.
[6] Ibid, hal. 26.

KEWARGANEGARAAN ASEAN SEBAGAI MIMPI?


KTT ASEAN ke-14 di Bangkok Thailand pada akhir Februari 2010  merupakan sebuah pertemuan pertama tingkat kepala negara di tengah situasi global yang  tidak menentu, akibat krisis global. Pertemuan kali ini membahas sejumlah isu penting, seperti integrasi regional ASEAN 2015, pembentukan badan HAM regional, pembangunan infrastruktur demi penguatan  tiga pilar ASEAN, yakni ASEAN Economic Community (AEC), ASEAN Security Community (ASC), ASEAN Socio and Cultural Community (ASCC), usaha bersama penanganan krisis global, serta masalah etnis Rohingya. Semua isu diatas berkenaan dengan kondisi regional Asia Tenggara yang mengalami peningkatan interaksi dalam berbagai bidang.
Di samping sejumlah agenda di atas juga terdapat persoalan pokok yang cenderung diabaikan oleh para petinggi negara (baca: elite), yakni identitas ASEAN.  Uni  Eropa yang dijadikan referensi utama dalam mengkonsepkan ASEAN Community 2015 dibangun atas homogennitas sejarah,latar belakang budaya,bentuk pemerintahan serta tingkat kesejahteraan yang ekuivalen di hampir seluruh negara Eropa (baca: Eropa Barat). Namun, di hampir seluruh negara ASEAN terdapat begitu banyak perbedaan yang kemudian berpotensi untuk menumbuhkan kluster-kluster tertentu. Persamaan sejarah selalu dijadikan dasar pengakuan kesamaan masyarakat ASEAN, tetapi dilihat lebih jauh, ternyata masih terdapat begitu banyak perbedaan yang selama ini cenderung diabaikan. Perbedaan latar belakang sejarah budaya, bentuk pemerintahan yang bermuara pada tersendatnya distribusi nilai-nilai demokrasi yang merupakan jiwa komunitas ASEAN 2015, konflik perbatasan, sampai  perbedaan tingkat kesejahteraan.
Identitas merupakan hasil proses identifikasi dan distinction  yang membantu kelompok sosial membangun kohesinya dan menetapkan posisinya berhadapan dengan bangsa lain. Maka keyakinan,loyalitas,solidaritas anggota-anggotanya terwujud bila masyarakat saling mengakui hak dan kewajibannya karena status mereka sama                       (E Gellner,1983:7). Identitas masyarakat ASEAN mengalami distorsi akibat munculnya sejumlah perbedaan mendasar yang belum banyak digali dalam pertemuan-pertemuan ASEAN. Latar belakang sejarah kolonial yang berbeda. Kawasan Indocina                (Vietnam, Kamboja, dan Laos) yang dijajah oleh Prancis, Filiphina yang dijajah Spanyol,tetapi “dikawal ketat oleh” Amerika Serikat, Inggris menjadi “induk semang”  Malaysia dan Singapura serta Indonesia yang selama lebih dari tiga setengah abad dininabobokan oleh Belanada. Warisan kolonial kemudian mempertegas perbedaan kohesi diantara negara-negara tersebut, berupa bentuk pemerintahan. Kawasan Indocina cenderung berorientasi komunis sebagai akibat persaingan ideologi perang dingin. Brunei yang masih memegang teguh pada sistem pemerintahan monarki konstitusional, Malaysia dan Thailand yang bersifat semi-demokratis akibat masih bercokol feodalisme. Singapura yang melanggengkan oligarkhi politik, dengan munculnya budaya patronase dengan menampilkan sosok tertentu sebagai ‘raja”. Myanmmar yang masih berkutat dengan status quo yang dimiliki oleh junta militer. Hanya Indonesia dan Filiphina yang cenderung menampilkan sistem pemerintahan demokrasi liberal, tetapi dengan catatan masih terdapat sejumlah potensi konflik internal akibat warisan kolonial. Ketika identitas ASEAN didengungkan, sejumlah bangsa di Asia Tenggara mulai memunculkan sejumlah sentimen kebangsaan akibat perbedaan pemahaman atas komunitas bersama (imagined community). Malaysia mulai mengklaim berbagai warisan budaya Indonesia sebagai komoditas yang memiliki nilai komersil tertentu. Akibatnya muncul slogan ganyang Malaysia ala 1950-an di beberapa daerah. Belum lagi persoalan perairan Ambalat yang masih diperdebatkan kepemilikannya oleh kedua negara yang memiliki akar rumput sama. Persoalan lintas batas antara Indonesia-Filiphina sebagai dampak gerakan separatis di Filiphina Selatan. Konflik perbatasan antara Kamboja-Thailand yang sempat memanas, sampai persoalan etnis Rohingya yang melibatkan tiga negara ASEAN, yakni Myanmmar-Thailand-Indonesia. Permasalahan HAM antar negara ASEAN juga mendapat perhatian. Konsep pembentukan badan HAM regional hanya sampai pada tingkat promosi, tetapi pada tahap implementasi selalu mental. Hal ini dikarenakan prinsip non-intervention melalui mekanisme aturan dan hukum nasional dijadikan dasar utama penerapan konsep ham regional.
Sejumlah permasalahan diatas merupakan pekerjaan rumah yang membutuhkan konsentrasi lebih dari seluruh stakeholders ASEAN. Identitas ASEAN dibentuk atas dasar solidaritas dan loyalitas seluruh masyarakat ASEAN terhadap kohesi yang dimiliki sebagai satu komunitas bersama yang menganggap yang lain sebagai saudara bukan “musuh”. Tanpa adanya kesadaran bersama atas konsep komunitas  ASEAN,maka impian akan terwujudnya suatu komunitas yang lebih dari sekedar integrasi regional hanyalah mimpi. Kesadaran bersama itu dapat dimulai dengan membangun pemahaman bersama melalui interaksi berkelanjutan antara seluruh elemen ASEAN, mulai dari pemuda sampai kaum intelektual, bukan hanya dinikmati oleh segelintir  elit. Mengutip perkataan teman saya dari Papua, ASEAN dibentuk dari dan untuk elit, hendaknya dijadikan refleksi bagi  kita semua.


Selasa 10 Maret 2009
Hipolitus Y.R Wangge
Anggota Forum Academia NTT

KEKERASAN MILITER DI ERA REFORMASI (Studi Kasus Atambua)

Ketika pintu gerbang reformasi 1998, terbuka lebar salah satu isu yang mendapat sorotan penting adalah isu demiliterassasi secara radikal.Tuntutan yang mengemuka ketika itu adalah penghapusan doktrin dwifungsi ABRI/TNI, pembubaran lembaga-lembaga ekstra-yudisial, pembubaran sistem pertahanan teritorial, pelarangan bagi TNI sebagai lembaga dan perwira aktif untuk berbisnis, dan penyelidikan bagi para jenderal yang terlibat pelanggaran hak asasi manusia.
Demiliteralisasi ini sangat penting, karena tak mungkin terjadi konsolidasi demokrasi di era transisi selama militer masih terlibat dalam bidang politik dan bisnis. Terlebih militer orde baru, yang lahir dan besar sebagai kekuatan garda depan yang anti demokrasi dan anti hak asasi manusia. Dengan kata lain, reformasi di TNI adalah sebuah keharusan yang tak bisa di tawar.
Kini setelah lebih dari satu dekade reformasi berlangsung, bagaimana sesungguhnya nasib dari reformasi di sektor keamanan ini? Apakah perilaku TNI yang khas orde baru telah memudar? Berdasarkan riset yang saya lakukan, kita tampaknya masih harus menunggu lagi perubahan dari mentalitas TNI Orde Baru yang anti hak asasi manusia menjadi TNI yang profesional. Salah satu contohnya adalah kekerasan hak asasi manusia di Atambua, NTT.
Kekekrasan di Atambua
            Atambua adalah sebuah kecamatan sekaligus ibu kota Kabupaten Belu, Nusa Tenggara Timur, Sebagian besar penduduknya berbahasa Tetun, dimana Katholik menjadi agama mayoritas. Sejak tahun 2000, Atambua menjadi salah satu daerah pusat penampungan arus pengungsi dari Timor Leste. Secara sosial penduduk Atambua sangat terbuka terhadap  pendatang, dan memperlakukan mereka layaknya saudar sendiri. Persatuan dan persaudaraan, begitula motto penduduk Atambua yang memiliki hubungan kekeluargaan dengan warga Timor Leste.
Tetapi persahabatan dan kebersamaan itu akhir-akhir ini sedang diuji secara serius. Penyebabnya adalah penganiayaan terhadap seorang pemuda bernama Charles Mali (21 tahun) oleh sekelompok anggota TNI, pada 11 Maret 2011. Charles dan beberapa rekannya dianiaya di markas Yonif 744/Satya Yuda Bhakti. Akibat penganiayaan tersebut, Charles pun harus meninggal, sementara lima rekannya mengalami luka serius. Ibunda Charlea, Modesta Dau, yang sangat terpukul oleh kematian anaknya dengan cara bunuh diri.
Penganiayaan berujung kematian Charles ini, rupanya bergema luas dalam masyarakat. Terbukti pada tanggal  24 Maret 2011, DPRD dan Masyarakat Belu Peduli Ham (MBPH) menyampaikan pernyataan sikap , terkait kasus kekerasan para personil militer terhadap warga sipil di Atambua, Belu (www.timorexpress.com). Pertama,  menolak keberadaan Yonif 744 di Kabupaten Belu NTT. Kedua, menuntut putusan adil dari pengadilan militer terhadap oknum-oknum militer yang melakukan penganiyaan hingga tewas. Hal ini akan diawasi dan dipantau oleh Pansus DPRD Belu dan Komnas Ham. Ketiga, menuntut pemecatan terhadap komandan dan para anggota yang terlibat dalam kasus penganiayaan tersebut.  Ketiga tuntutan diatas merupakan akumulasi kekecewaan masyarakat di Atambua, khususnya di daerah perbatasan. Keberadaan militer di daerah perbatasan ,khususnya Yonif 744 cenderung melakukan pendekatan koersif daripada persuasif terhadap masyarakat sekitar. Sebelumnya, tanggal 18 Maret 2011, Musyawarah pimpinan daerah (muspida) sepakat untuk mencabut pos yang berada di pintu masuk Markas Komando (Mako) Batalyon Infateri (Yonif) 744 di Tobir, Kecamatan Tasifeto Timur, Belu. Hal tersebut dilakukan karena desakan masyarakat Tobir yang resah dengan keberadaan pos tersebut.
Pada senin, 11 Juli 2011 ke sembilan oknum  TNI yang terlibat diadili di Pengadilan Militer Kupang. Namun, ironis tuntutan hukuman yang dikenakan sangat ringan, yakni hukuman kurungan rata-rata 8-9 bulan dan pemecatan hanya kepada satu anggota Yonif 744/Satya Yuda Bakhti. Hal tersebut sangat mencederai nurani keadilan masyarakat, terutama keluarga Charles Mali. Namun, tulisan ini tidak akan membahas terhadap hasil putusan tersebut, namun secara komprehensif tentang agenda reformasi keamanan.
Ringkasan peristiwa kekerasan TNI dan tuntutan masyarakat Belu diatas menjelaskan bagaimana upaya reformasi sektor keamanan di  Indonesia selama 11 tahun, yang digaungkan pasca reformasi 1998 sampai sekarang masih berjalan di tingkat normatif dan subtanstif (Mietzner,2006), namun tidak di tingkatan operasional. Reformasi sektor keamanan merupakan proses  transformasi menyeluruh bagi seluruh aktor-aktor keamanan yang dilakukan secara terpadu, efektif dan sah untuk dapat menyediakan jaminan keamanan bagi seluruh warga negara dari segala bentuk manifestasi ancaman keamanan, baik yang berasal dari lingkungan eksternal maupun internal. Reformasi sektor keamanan Indonesia merupakan bagian dari  upaya demoktarisasi pengelolaan pertahanan Indonesia pasca reformasi serta perubahan situasi internasional.  Dibutuhkan pemahaman bahwa urgensi reformasi sektor keamanan di Indonesia selama ini masih terbatas, bukan hanya karena terbelenggu oleh konstelasi politik nasional tetapi juga masih dipertahankannya superioritas TNI dalam menjalankan tugas di tengah  perubahan  masyarakat Indonesia.
Reformasi TNI yang merupakan salah satu elemen dalam reformasi sektor keamanan masih cenderung berkutat di wilayah tata kelola hubungan sipil-militer (normatif), yang meliputi penarikan personil militer aktif dari jabatan sipil, menghilangkan peran militer dalam praktik politik formal, penetapan UU tentang TNI, penarikan anggota militer dari parlemen, pembentukan Dewan Keamanan Nasional. Penguatan netralitas TNI sebagai elemen negara yang menjalankan fungsi pertahanan negara (substantif), yang meliputi deklarasi netralitas politik-militer, pembekuan doktrin Dwi Fungsi, keberadaan komunitas sipil di bidang pertahanan, proses pengadaan peralatan militer dilakukan secara berlapis dan professional.  Sedangkan dalam tataran operasional seperti, pengadopsian nilai-nilai lokalitas (budaya) sebagai bagian dari pemahaman dan pengertian TNI serta pengadopsian nilai-nilai humanitarian dalam menjalankan tugas militer cenderung tidak terlihat.
            Agenda reformasi sektor keamanan di Indonesia, diantaranya pertama, perumusan regulasi-regulasi politik untuk mengatur aktor-aktor keamanan yang diharapkan membangun karakter dan budaya strategik baru. Kedua, restrukturisasi organisasi keamanan terutama yang berkaitan dengan pemisahan organisasi keamanan terutama yang berkaitan dengan pemisahan organisasi TNI-Polri serta program pengembangan postur pertahanan Indonesia. Ketiga, pengaturan tataran kewenangan antar instansi-instansi yang bergerak di sektor keamanan. Keempat, perumusan dan penetapan kebijakan pertahanan negara serta kebijakan keamanan nasional. Kelima, alokasi sumber-sumber daya pertahanan untuk mengembangkan kekuatan pertahanan. Dan, terakhir, rekonstruksi budaya startegik yang mencerminkan adanya adaptasi nilai-nilai demokrasi serta prinsip-prinsip humanitarian oleh institusi-institusi keamanan, khususnya aktor-aktor keamanan utama, seperti angkatan bersenjata, kepolisian, pasukan paramiliter, pasukan pengawal presiden dan lain-lain.
Kasus kekerasan di Atambua menunjukkan bahwa selama 11 tahun belakangan agenda reformasi sektor keamanan masih didominasi oleh 5 agenda utama reformasi sektor keamaman. Namun, agenda terakhir yang belum banyak mendapat banyak perhatian dan implementasi adalah agenda keenam, yakni rekonstruksi budaya strategik. Berkaitan dengan kekerasan yang sering terjadi di beberapa wilayah perbatasan darat seperti Papua dan Atambua terdapat beberapa hal perlu dibahas.
Rekonstruksi Budaya Strategik
Penempatan, pergelaran dan pergantian pasukan di daerah perbatasan cenderung tidak menjadikan budaya masyarakat setempat sebagai variabel bebas yang menentukan karakter pasukan seperti apa yang harus ditempatkan dan jenis peralatan tempur seperti apa yang harus berada di daerah perbatasan,serta lokalisasi markas pasukan organik yang berada di daerah perbatasan. Masyarakat Atambua dan masyarakat NTT secara umum memiliki  watak dan karakter yang berbeda dengan masyarakat di kawasan Indonesia bagian barat. Masyarakat Indonesia di wilayah timur, seperti di Atambua cenderung komunal, berbasiskan suku dan memiliki prinsip yang kuat. Hal ini termanifestasikan dalam perawakan yang kuat, kokoh dan mandiri. Hal tersebut sebenarnya harus dipahami sebelum pergelaran pasukan di wilayah perbatasan di kawasan Indonesia Timur, seperti di Atambua. Para aparat militer sebenarnya harus benar-benar memahami melalui pendidikan militer pra-penempatan, penempatan dan pasca penempatan (evaluasi setelah pergantian pasukan perbatasan) bahwa karakter masyarakat di kawasan tertentu, seperti di Atambua agak berbeda dengan kawasan perbatasan lain seperti di wilayah Kalimantan maupun di Papua.
Selama 10 tahun terakhir, personil militer yang ditempatkan (Yonif 744) cenderung melihat masyarakat Atambua sebagai masyarakat terbelakang dan tidak memahami bagaimana pelaksanaan fungsi keamanan dalam dinamika sehari-hari di tengah  masyarakat. Padahal harus disadari masyarakat Atambua, adalah warga negara yang memiliki kedaulatan penuh dalam pengelolaan lingkungan keamanan. Hal ini berakibat pada karakteristik personil militer di Atambua yang bersifat ofensif layaknya personil militer TNI sebelum jajak pendapat 1999. Peralatan tempur yang ditempatkan juga seakan menjadikan Atambua sebagai Daerah Operasi Militer baru, seperti tank-tank tempur. Fakta ini terasa aneh dalam kaitan dengan dinamika hubungan masyarakat Atambua dengan masyarakat Timor Leste di perbatasan merupakan hubungan berbasis kekeluargaan.
Perlu diketahui, masyarakat Atambua-Timor Leste adalah masyarakat yang masih memiliki kedekatan kultural yang sama. Hal tersebut dipertegas dalam karakteristik perbatasan. Perbatasan Atambua-Timor Leste termasuk dalam zona damai, bukan termasuk dalam zona perang. Hal tersebut dapat dipahami bahwa Timor Leste bukanlah negara yang dikategorikan musuh oleh Indonesia. Bahkan, Indonesia justru menjadi promotor dan pendukung utama Timor Leste sebagai anggota baru Association of Southeast Asia Nations (ASEAN).  Keadaan ini menyebabkan masyarakat di daerah perbatasan kedua negara tidak merasa terancam dengan keberadaan masing-masing dan justru melakukan berbagai transaksi ekonomi. Hal yang sangat ironis terjadi ketika hubungan harmonis antara kedua negara, justru dianggap berbahaya oleh pengambil kebijakan pertahanan  dengan menggelar sejumlah besar kesatuan tempur di daerah perbatasan yang dikategorikan zona damai.
Keberadaan YONIF 744/Satya Yudha Bhakti
Pasca pemisahan Timor-Timur menjadi sebuah negara baru, kekuatan militer organik TNI juga mengalami penyesuaian. Terdapat dua batalyon infanteri yang berkedudukan di Lospalos, yakni batalyon 744 dan batalyon 745. Kedua batalyon tersebut direorganisasi. Batalyon 745 dilebur ke dalam beberapa satuan tempur dalam koordinasi Kodam IX Udayana, sedangkan batalyon 744 tetap dipertahankan dan ditempatkan di Kabupaten Belu, di bawah koordinasi Komando Rayon Militer (Korem) 161/Wirasakti yang berada di Kupang, Nusa Tenggara Timur.
Kebijakan diatas  bersifat paradoks, karena di satu sisi wilayah Atambua bukan merupakan wilayah konflik sehingga pasukan reguler yang ditempatkan seharusnya bukanlah pasukan ofensif. Hal tersebut terlihat jelas dengan keberadaan  markas Yonif 744 di daerah padat penduduk. Di sisi lain, keberadaan batalyon 744 yang mempunyai reputasi gemilang dalam sejumlah operasi penumpasan Fretilin dan Gerakan Pengacau Keamanan (GPK)masih tetap dipertahankan sedangkan batalyon 745 justru dibubarkan. Terdapat upaya mempertahankan keberadaan batalyon infateri 744 yang dibentuk pada tahun 1978 dengan alasan batalyon tersebut dengan sejumlah prestasi gemilang di Timor Leste mampu menjaga daerah perbatasan Republik Indonesia-Republik Demokratik Timor Leste. Reputasi gemilang batalyon 744 ternyata tidak berkorelasi positif terhadap keharmonisan hubungan dengan masyarakat Belu. Semenjak direlokasi ke Tobir pada tahun 2001, berbagai tindak kekerasan sering dilakukan oleh para personil militer dari kesatuan tempur tersebut. 
Identifikasi Potensi Ancaman Yang Berlebihan
Strategi pertahanan nasional selama ini cenderung bersifat inward-looking. Hal ini bisa dilihat dari doktrin dan postur pertahanan RI yang bersifat defensif. Hal tersebut diakibatkan  oleh pengalaman pertempuran bangsa ini yang didominasi pertempuran internal, melawan kolonialisme maupun separatisme. Hal ini membuat TNI mengadopsi  perspektif keamanan yang fokus pada  kekuatan koersif terhadap masalah-masalah internal.  Salah satu indikator adalah pemetaan yang keliru terhadap pergelaran pasukan di daerah-daerah tertentu. Pergelaran pasukan militer Indonesia cenderung bersifat ofensif di wilayah-wilayah yang sebenarnya lebih bersifat defensif, seperti di daerah perbatasan.  Akibatnya karakteristik personil-personil militer di daerah seperti di Atambua  cenderung bukan sebagai penengah (peacemaker), namun justru menjadi pemicu konflik.
Di Atambua , jumlah kesatuan tempur TNI di wilayah RI-RDTL direncanakan terus bertambah. Kesatuan tempur yang berada di wilayah Atambua adalah dua batalyon infanteri, termasuk Yonif 744 (pemindahan dari Timor Leste) di Tobir, batalyon 743 digelar di sepanjang garis perbatasan (278 km). Sampai tahun 2024, direncanakan penambahan 6 batalyon infanteri, 1 Komando Resort Militer (Korem) di Flores, 1 batalyon artileri medan di Kefamenanu, 1 batalyon artileri pertahanan udara di Soe,  1 batalyon kavaleri di Atambua dan 1 pasukan zeni tempur di Soe.
Pergelaran pasukan diatas, jika ditelisik lebih jauh merupakan bagian dari pelaksanaan Komando Teritorial berbasis sistem  Wehrkreise. Sistem tersebut membagi daerah-daerah di Indoensia ke dalam lingakaran-lingkaran pertahanan yang memungkinkan satuan-satuan militer  secara mandiri mempertahankan lingkaran-lingkaran pertahanan. Konsep ini mendorong dibentuknya Komando Teritorial. Komando Teritorial  membentuk satuan-satuan militer dari tingkatan Komando Daerah Militer/KODAM (Propinsi) sampai tingkat Babinsa (desa). Sistem Komando Teritorial layak untuk dikaji kembali, karena keberadaan militer dalam jumlah yang banyak di suatu daerah akan lebih efektif jika Indonesia berada dalam masa perang, bukan dalam masa damai. Apalagi seringkali keberadaan koamdo territorial dan satuan-satuan tempur, seperti, Korem, Kodim dan Koramil , batalyon infanteri (yonif), batalyon kavaleri (yonkav) cenderung menghasilkan gesekan-gesekan dengan masyarakat sekitar.
Yang patut dipertanyakan, pergelaran kesatuan-kesatuan tempur di wilayah perbatasan Atambua seakan menjadikan Atambua dan daerah-daerah sekitar perbatasan RI-RDTL sebagai daerah operasi militer baru. Timor Leste bukanlah negara yang memiliki postur pertahanan seperti Indonesia. Ditinjau dari anggaran pertahanan, tahun 2009, anggaran pertahanan angkatan bersenjata Timor Leste USD 38 juta, bandingkan dengan Indonesia yang mencapai USD 47,91 miliar (35 triliun rupiah). Ditinjau dari kapabilitas militer, sejauh ini sampai dengan tahun  2008, Pemerintah Republik Demokratik Timor Leste baru bekerja sama dengan Cina dalam pembelian 2 jenis kapal patrol tipe-062 senilai USD 28 juta. Bandingkan dengan Indonesia yang pada tahun yang sama telah membeli rudal anti kapal perang tipe C-802/CSS-N-8 sebanyak 18 rudal. Melihat perbandingan ini terlalu berlebihan jika menjadikan Atambua sebagai daerah pergelaran pasukan yang berkarakter ofensif layaknya dalam masa perang.
Karakteristik Pergelaran Pasukan di Daerah Perbatasan
Potensi ancaman konflik di perbatasan RI-RDTL bersifat transnasional. Hal tersebut terlihat dalam beragamnya kasus pencurian ikan, illegal logging, trafficking, penyeludupan, lintas batas illegal, penggarapan kebun secara ilegal, dan sengketa tanah. Berbagai tindak kejahatan transnasional tersebut, seharusnya tidak perlu menggunakan pendekatan militeristik, terlebih lagi penggunaan kekerasan secara berlebihan. Pendekatan yang sebaiknya dilakukan adalah persuasif, mampu mengayomi masyarakat dan berkarakter peacebuilding. Proses transisi personil militer pasca konflik seperti di Atambua tidak dilakukan secara baik. Kemampuan peacemaking dan peacebuilding, humanitarian assistance tidak terlihat dari para personil TNI di daerah perbatasan Atambua. Kemampuan-kemapuan tersebut justru di berikan kepada para personil militer yang mengemban tugas negara sebagai pasukan penjaga perdamain di luar negeri, sedangkan di daerah-daerah perbatasan, khususnya Atambua kemampuan-kemampuan tersebut tidak terlihat. Di wilayah seperti Atambua, seharusnya operasi militer terbatas yang dilakukan TNI bersifat pesuasif (soft skill), karena Atambua adalah daerah tertinggal yang masyarakatnya masih hidup dari pertanian bersifat subsisten.
Pasca reformasi 1998, militer Indonesia diharapkan dapat meninggalkan citra buruk terkait hubungan sipil dan militer, bukan hanya di tingkatan politik, tetapi juga jauh lebih penting penghargaan terhadap hak-hak asasi manusia.  Bukan hanya mengutamakan supremasi sipil di tingkatan politik, tetapi juga supremasi sipil dalam hubungan sosial, budaya dan ekonomi dengan masyarakat secara umum.  Kasus kekerasan di Atambua, kembali menunjukkan “lingkaran setan” pendekatan militeristik yang tidak sesuai dengan agenda reformasi militer di Indonesia selama 11 tahun terakhir. Penyelesaian dengan memproses secara adil terhadap para pelaku kekerasan merupakan solusi sementara, bukan merupakan solusi jangka panjang.  Dibutuhkan redefenisi, reorganisasi peran dan fungsi TNI di daerah perbatasan, serta profesionalitas berdasarkan nilai-nilai humaniter dalam menjalankan tugas di daerah perbatsan, seperti Atambua.

Hipolitus   Wangge                                                                                                                                                   
Peneliti Di Pacivis UI
Anggota Forum Academia NTT

Dimuat di Harian Timorexpress dan Jurnal Online Indoprogress melalui http://indoprogress.com/2011/08/01/kekerasan-militer-di-era-reformasi/