Translate

Wednesday, September 28, 2011

UU INTELIJEN, BUKAN INTERNAL SECURITY ACT (ISA)


Meledaknya bom di Solo pada hari Minggu, 25 September 2011 di Gereja Bethel Injil Sepenuh dan terror bom di Gereja Maranata Ambon, menampar kinerja lembaga intilijen Indonesia yang dinilai lambat dan tidak mampu memberikan pendeteksian dan peringatan dini (early warning). Kendala utama yang disampaikan kepala BIN adalah tidak tersedianya perangkat hukum bagi aparat intilijen untuk mendeteksi sedini mungkin informasi yang bisa dijadikan alat bukti sebelum dilakukan penindakan. 

Pada tanggal 16 September 2011, Perdana Menteri Malaysia Datuk Najib abdul Razak mengumunkan pencabutan dua undang-undang kontroversial, yakni Undang-Undang Keamanan dalam Negeri (Internal Security Act/ISA) dan Undang-Undang Keadaan Darurat (Emergency Ordinace). 

Pasca pengumuman tersebut, khususnya pencabutan ISA, muncul beragam tanggapan masyarakat Malaysia. Kelompok pertama mengganggap dicabutnya undang-undang tersebut akan meningkatkan kegiatan dan ancaman teroris serta berbagai tindakan kriminal di Malaysia. Hal tersebut mengingat keberadaan ISA mampu mencegah dan meredam tindak-tindakan anarkis dan perkembangan kelompok teroris di Malaysia. Kelompok kedua, melihat langkah politik yang diambil PM Abdul Razak tidak lebih dari sekedar mencari dukungan  menjelang pemilu Malaysia pada tahun 2013. Sedangkan, salah satu warisan konflik yang belum diselesaikan yakni  persoalan diskirimasi antar etnis, khususnya Cina dan India, tidak menjadi salah satu substansi utama dari rencana pencabutan ISA tersebut.

Namun, bagi kelompok ketiga, pengumuman tersebut merupakan momentum perubahan Malaysia menuju negara yang demokratis dan menghargai hak-hak asasi manusia. Betapa tidak, sejak diberlakukan pertama kali pada tahun 1960, sebagian besar masyarakat Malaysia yang kritis dan berhaluan oposisi dipenjarakan tanpa proses peradilan. Penyadapan dan penangkapan paksa membuat masyarakat Malaysia berada dalam suasana mencekam dan penuh ketakutan. Keadaan inilah yang mendesak Perdana Menteri Abdul Razak melakukan koreksi berupa pencabutan undang-undang tersebut.

Pada awalnya ISA merupakan produk undang-undang kolonial yang dihasilkan Inggris pada tahun 1947. Tujuan pemberlakuan undang-undang tersebut adalah memberangus perkembangan Partai Komunis Malaysia dan mengawasi dan menindak tegas jaringan dan pergerakan kelompok-kelompok radikal yang berpotensi melakukan tindakan teror terhadap masyarakat Malaysia.

Seiring perjalanan waktu, undang-undang tersebut digunakan oleh pemerintah Malaysia untuk mengekang kebebasan sipil dan menghentikan kelompok-kelompok oposisi yang kerap kali mengganggu kinerja pemerintah. Salah satu bentuk penyelewengan utama pemerintahan Malaysia sebelumnya adalah pengawasan ketat, penangkapan, dan penahanan tanpa proses peradilan yang dijalankan selama lebih dari 50 tahun terhadap lawan-lawan politik. Namun, harus diingat fungsi utama ISA tetap dijalankan, yakni pengawasan ketat terhadap kelompok-kelompok radikal yang berkeinginan mengganggu stabilitas domestik. Pasca peledakan di gedung kembar World Trade Center di New York pada 11 September 2001 dan serangkaian bom meledak di Indonesia dalam kurun waktu 2000 sampai 2011, Malaysia justru tidak mengalami satu pun peledakan berskala masif. Hal tersebut menjadi bukti efektifitas penerapan ISA di Malaysia.

Sedangkan di Singapura sendiri, pemerintahan setempat masih menilai perlunya undang-undang kemanan dalam negeri guna mencegah meningkatnya tindakan-tindakan kriminal, kekerasan berbau SARA, dan tindakan-tindakan subversif yang dapat mengganggu stabilitas pemerintahan. Namun, seperti disampaikan Menteri Dalam Negeri Singapura, Teo Chee Hean, pada masa mendatang perlu dikaji kembali pentingnya keberadaan undang-undang keamanan dalam negeri Singapura di tengah semangat perubahan dunia dewasa ini.

Bagi Indonesia sendiri, semangat perubahan politik yang digaungkan oleh perdana menteri Tun Abdul Razak membangkitkan “kewaspadaan nasional”. Seperti yang diketahui, salah satu produk-produk undang-undang yang sebentar lagi akan disahkan adalah undang-undang intilijen negara. Sejauh ini, rancangan undang-undang tersebut belum disahkan karena tekanan masyarakat sipil, khususnya kelompok pro demokrasi dan hak-hak asasi manusia. Isu utama yang menjadi pokok permasalahan adalah kewenangan yang diberikan kepada  aktor-aktor intilijen untuk menangkap dan menahan tanpa izin dan proses peradilan. Tindakan-tindakan tersebut bertentangan dengan nilai-nilai hak asasi manusia, karena tindakan-tindakan tersebut akan menimbulkan ketakutan di masyarakat dan mencabut kebebasan masyarakat dalam menyuarakan pendapatnya. Selain itu, tindakan-tindakan tersebut rawan untuk diselewengakan oleh para penguasa untuk kepentingan tertentu. RUU intilijen dikhawatirkan akan mengembalikan situasi Indonesia kembali ke era orde baru. 

Pada era orde baru, pemerintah pada saat itu sangat menekankan pentingnnya stabilitas nasional guna mendukung pembangunan. Undang-undang Subeversi tahun 1963 menjadi cara paling efektif untuk memberangus kebebasan sipil dan memperkuat posisi pemerintah sebagai pemegang kekuasaan tertinggi yang memiliki logika otoriterianisme. Namun, pada tahun 1998, seiring dengan gelombang reformasi, undang-undang tersebut dicabut.

Berdasarkan gelombang perubahan yang menjadi trandmark masyarakat dunia dewasa ini, dapat diprediksi pemerintah belum akan mengesahkan RUU intilijen. Pengalaman masyarakat Malaysia selama 5 dekade belakangan ini, dibatasi bahkan dihilangkan hak-hak sipilnya akan menjadi peringatan dini (early warning) bagi pemerintah Indonesia yang sebelumnya pernah mengalami situasi serupa pada era orde baru. Di tengah semangat keterbukaan dan kebebasan sipil, munculnya kecenderungan pembatasan hak-hak sipil akan mengundang resistensi dan antipati terhadap rezim yang berkuasa.

Namun yang harus diingat bahwa kebutuhan atas tercapainya kemanan nasional  (national security) juga menjadi perhatian serius bagi bangsa ini. Malaysia sendiri tidak hanya mencabut ISA, namun menggantinya dengan produk undang-undang yang disesuaikan dengan nilai-nilai demokratis, hak-hak asasi manusia, dan keamanan nasional. Ketakutan munculnya gerakan-gerakan fundamentalis agama yang berujung pada aksi-aksi terorisme, aksi-aksi anarkis dan kejahatan terorganisir membuat pemerintah Malaysia sadar akan pentingnya harmonisasi kepentingan masyarakat sipil dan kepentingan nasional. Indonesia juga patut menyadari ha-hal tersebut.

Peledakan bom di Solo dan ancaman-ancaman teror di Ambon menunjukkan dibutuhkan perangkat hukum yang bisa mendeteksi dini dan memberikan penanganan yang professional dan proporsional. Adanya upaya kelompok-kelompok tertentu untuk mengembalikan kondisi bangsa ini seperti pada era transisi, dimana banyak terjadi konflik SARA, membuat pemerintah perlu mencari format kebijakan yang mampu mencegah dan menangani gelaja-gejala perpecahan bangsa ini.  

Negara merupakan aktor utama yang memiliki kewenangan sesuai konstitusi untuk melakukan tindak kekerasan. Intilijen merupakan salah satu alat negara yang dipakai untuk menjalankan kewenangan tersebut. Intilijen merupakan lembaga di bawah eksekutif yang bertugas menjalankan fungsi pendeteksian dan penindakan dini sesuai koridor dan pengawasan lembaga legislatif, yudikatif dan kelompok masyarakat sipil. Intilijen merupakan alat negara yang sama kedudukannya dengan kepolisian dan TNI di negara ini yang berfungsi memberikan rasa aman dan stabilitas keamanan dalam negeri. Oleh karena itu, jika kepolisian dan TNI sudah memiliki undang-undang tersendiri, maka sudah sepantasnya initilijen juga harus memiliki aturan hukum yang melegitimasi peran dan fungsi alat negara tersebut.

Oleh karena itu, RUU Intilijen dapat menjadi salah satu solusi dengan catatan, perlunya mengharmonisasikan nilai-nilai demokratis dan hak asasi manusia dengan keamanan nasional. Selain itu, aktor-aktor intilijen juga harus menjaga integritas sebagai pengabdi bangsa dan negara sehingga dalam melaksanakan tugas tidak melakukan tindakan-tindakan penyelewengan. Kewenangan yang diberikan kepada aparat intilijen harus diamalkan berdasarkan amanat konstitusi negara ini.

Mengharmoniskan kepentingan masyarakat sipil dan kepentingan nasional merupakan kunci dalam pembuatan berbagai produk undang-undang di era reformasi seperti sekarang. Kesepakatan antara DPR dan Pemerintah terkait pengesahan RUU intilijen merupakan langkah positif, setelah dilakukan penyesuaian terkait kewenangan-kewenangan dari lembaga intilijen. 

Kejadian di Solo dan Ambon menjadi cermin terkait pentingnya perangkat hukum yang menjadi dasar untuk melegitimasi tugas dan peran lembaga intilijen untuk memberikan rasa aman dan tenteram bagi seluruh masyarakat Indonesia.

Hipolitus Wangge
Peneliti Pacivis-Universitas Indonesia, Jakarta

Dimuat di Harian Jawa Pos, 28 September 2011

Wednesday, September 21, 2011

MAKNA PERTEMUAN PARA JENDRAL

 
         







           
            
               Pada awal bulan Agustus lalu, salah satu media nasional memuat berita terkait kunjungan para purnawirawan TNI-AD yang tergabung dalam Persatuan Purnawirawan Angkatan Darat (PPAD) ke kantor salah satu partai terbesar di negeri ini. Menurut pernyataan salah satu petinggi partai tersebut, kunjungan tersebut didorong oleh kesamaan visi kebangsaan yang berlandaskan nasionalisme. 

Pasca lobi  diplomat AS, kelompok purnawiran kembali menata dan memposisikan diri sebagai salah satu kekuatan politik yang masih sangat berpengaruh di negeri ini. Berdasarkan potensi tersebut, maka sangat wajar jika partai-partai politik tertarik untuk mendekati kelompok potensial dari kalangan militer tersebut. 

Terdapat  beberapa hal penting yang patut disimak. Pertama, partai-partai politik masih membutuhkan pihak militer. Kedua, lobi militer kepada partai-partai politik. Ketiga membangun profesionalisme militer menuju pambangunan strategi pertahanan minimal (minimum essential force) .

Partai-partai politik masih merasa dukungan pihak militer sebagai kunci keberhasilan agenda partai tersebut di tingkat nasional. Bahkan beberapa organisasi masyarakat radikal meminta dukungan sebagian purnawirawan untuk mendukung agenda politik tertentu. Hal ini sebenarnya merupakan bentuk inferior complex (Muna:2002), yakni keadaan rendah diri sipil terhadap militer yang memiliki sejarah dominasi yang kuat di negeri ini.  Indikator lain dari inferior complex adalah masih ditempatkannya para purnawirawan dalam jabatan-jabatan strategis, baik sipil maupun pemerintah, seperti komisaris bank-bank swasta, kepala bidang penelitian, duta besar dan berbagai posisi strategis lainnya. Hal tersebut menandakan masih berpengaruhnya wibawa militer untuk mengamankan kepentingan-kepentingan tertentu para pemimpin sipil di negeri ini. Indikator selanjutnya adalah korupsi di tubuh militer. Selama  KPK berdiri, belum pernah muncul satu kasus korupsi  yang terjadi di Markas Besar TNI dan Kementrian Pertahanan RI. Pertanyaannya adalah apakah benar kedua lembaga tersebut tidak pernah menyelewengkan penggunaan dana pertahanan nasional ataukah KPK sendiri yang tidak berani untuk mengusut indikasi korupsi di kedua lembaga tersebut. Alasan kedua dinilai menjadi alasan terbesar mengapa sampai hari ini kedua lembaga tersebut belum pernah tersentuh atau masuk dalam radar investigasi KPK.

Pertemuan para purnawirawan dengan para pemimpin partai dalam beberapa minggu belakangan ini didasarkan pada penilaian kegagalan kepemimpinan di Indonesia saat ini.  Kegagalan sipil menjadi pintu masuk bagi keterlibatan militer dalam ranah masyarakat sipil (Honowitz: 1962). Peristiwa 17 Oktober 1952 menjadi cikal bakal peranan politik militer dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Beberapa mantan perwira merasa kecewa dengan kepemimpinan yang berkuasa saat ini. Padahal, pemerintahan sekarang berada di bawah kepemimpinan mantan perwira tinggi TNI. 

Beberapa kalangan purnawirawan bergabung dengan kelompok-kelompok masyarakat sipil untuk menyuarakan berbagai persoalan bangsa dewasa ini. Berbagai pertemuan rutin mingguan  dilakukan di Jakarta dengan melibatkan para purnawirawan untuk membedah dan mencari solusi permasalahan bangsa ini. Sebagian besar purnawirawan  yang tergabung dalam PPAD maupun dalam berbagai kelompok masyarakat sipil menyuarakan hal yang sama yakni kegagalan rezim berkuasa, sehingga perlu dikoreksi. Militer Indonesia merupakan contoh militer yang tidak hanya ditempatkan sebagai“pemadam kebakaran” (Finer:1967). Perselisihan diantara berbagai partai politik, korupsi yang merajalela, dan kelakuan para politisi dan elit yang tidak mencerminkan jati diri bangsa, mendorong pihak militer terpanggil untuk menyelesaikan permasalahan-permasalahan tersebut. 

Oleh karena itu, para purnawirawan perlu mendekati partai-partai politik tertentu untuk mendesak perlunya perubahan di negeri ini. Namun, pertemuan-pertemuan tersebut perlu dilihat sebagai intensi politik pihak militer untuk mendapatkan posisi strategis pasca transisi pemerintahan 2014. Tujuan utama lobi politik 2014 AS adalah menempatkan “teman lama” di jajaran puncak pemerintahan negeri ini, atau setidaknya untuk menjaga kepentingan AS di Indonesia.

Pertemuan para purnawirawan tidak hanya terhadap satu partai poltik atau satu kelompok masyarakat, tetapi menyebar ke hampir semua partai politik nasional dan kelompok-kelompok masyarakat sosial. Hal tersebut mengindikasikan keinginan para purnawirawan untuk tidak ditinggalkan oleh kelompok sipil yang akan berkuasa pada tahun 2014.  Selain itu,konsolidasi militer-sipil menandakkan pihak militer masih berkeinginan untuk terus terlibat dalam menentukan arah pembangunan bangsa ini. 
Pembangunan postur pertahanan TNI dalam 15 tahun kedepan adalah mencapai kekuatan pertahanan minimal (Minimum Essential Forces/MEF) pada tahun 2024. Pada tahun  tersebut, TNI diharapkan menjadi kekuatan profesional yang mampu berhadapan dengan kekuatan militer negara lain. MEF didasarkan pada ketersediaan anggaran dan pembangunan kekuatan alat utama sistem pertahanan yang memadai. Dalam RAPBN 2012, anggaran pertahanan naik 35, 7 persen dari tahun sebelumnya. Kementrian pertahanan mendapatkan anggaran 64, 4 triliun. 

Kenaikan tersebut merupakan momentum yang tepat dalam rangka penguatan sistem pertahanan Indonesia menuju rencana besar MEF 2024. Berdasarkan perencanaan besar tersebut, seharusnya para purnawirawan dilibatkan untuk memikirkan konsep pembangunan pertahanan nasional Indonesia pada masa yang akan datang. Pernyatan Mayjen (Purn) Kiki Syahnakri patut disimak. Menurut beliau pembangunan kekuatan TNI ke depan, harus ditekankan pada pembaharuan seluruh doktrin pertahanan nasional yang sudah tidak sesuai lagi dengan tantangan dan potensi ancaman dewasa ini. Berdasarkan pernyataan tersebut, alangkah lebih bijak jika para purnawirawan dan perwira aktif lebih berkosentrasi pada pembangunan postur pertahanan TNI  pada masa yang akan datang. 

Keterlibatan militer dalam ranah sipil di era demokrasi justru akan menganggu konsolidasi demokrasi di Indonesia yang baru berjalan 13 tahun. Walaupun hanya sebagai purnawirawan, namun semangat korps militer mampu menarik simpati dan dukungan institusi militer untuk juga terlibat dalam urusan sosial politik masyarakat Indonesia, seperti yang terjadi pada era orde baru. Masih terbuka kemungkinan penggunaan jaringan militer untuk mendulang suara pada pemilu mendatan.

Keterlibatan institusi militer dalam ranah sipil, dapat berakibat menurunnya kemampuan tempur militer Indonesia di tengah modernisasi militer negara-negara lain di sekitar kita. Keterlibatan komponen-komponen militer dalam urusan-urusan sipil, hanya akan memperlemah semangat profesionalisme  menuju kekuatan militer Indonesia yang tangguh dan disegani..

Oleh
Hipolitus Wangge
Peneliti  Global Civil Society Studies (Pacivis) Universitas Indonesia.

Dimuat di Harian Kompas, 21 September 2011


Monday, September 19, 2011

INDONESIA DAN PEMBANGUNAN GLOBAL

Oleh: Sri Mulyani Indrawati
Direktur Pelaksana Bank Dunia dan Mantan Menteri Keuangan Indonesia
Pemulihan pasca krisis ekonomi global menyisakan kerapuhan dan ketidakpastian, yang diakibatkan oleh harga bahan bakar dan pangan yang tinggi, pengangguran, dan ketidakpastian utang di seluruh wilayah Eropa dan Amerika yang termasuka dalam awan gelap tersebut.
Sebagai anggota-anggota kunci dari G-20, baik Australia maupun Indonesia paham peran dari forum kerjasama tersebut, dan kerjasama multilateral pada umumnya, dalam menghadapi sejumlah tantangan.
Sebelumnya kita seringkali melupakan bahwa ekonomi global telah memiliki kekuatan baru, mengabaikan fakta bahwa pasar-pasar negara berkembang telah menjadi kekuatan krusial dalam panggung global. Pemaparan Prospek Ekonomi Global Bank Dunia tahun 2011, sebagai contoh, memproyeksikan rata-rata pertumbuhan ekonomi global pada tahun ini adalah 3,3% dan 3,6 % pada tahun 2012. Sebaliknya negara-negara berkembang dan miskin justru meningkat, kurang lebih 6 % atau lebih setiap tahun. Tren ini akan berlanjut.
Bagi forum G20 sendiri, perubahan mendasar dari keterlibatan banyak kekuatan ekonomi global dewasa ini akan memberikan baik kesempatan-kesempatan maupun tantangan-tantangan. Secara khusus, yang menjadi penekanan, bahwa fokus G20 pada pertumbuhan pro-miskin melalui investasi infrastruktur yang berkualitas, pendanaan yang lebih luas dan pembangunan keamanan pangan, sehingga bisa berkesinambungan satu dengan yang lainnya.
Investasi infrastruktur yang berkualita akan memberikan dampak yang menjanjikan  terkait hasil-hasil pembangunan dan pertumbuhan. Namun , bagi sebagian besar negara berkembang, pembiayaan terhadap investasi infrastruktur tidaklah cukup.  Berdasarkan pengamatan Bank Dunia, investasi dan pemeliharaan infrastruktur dewasa ini yang diperlukan di negara-negara berkembang mencapai lebih dari 900 juta USD per tahun, tetapi pembiayaan infrastrutur sekarang tidak hanya pada tingkatan tersebut.
Perluasan pembiayaan merupakan prioritas lainnya dari G20, seperti yang diketahui bersama hampir setengah dari populasi penduduk dunia tidak memiliki akses terhadap kredit, rekening tabungan atau jasa pelayanan pembiayaan lainnya. Peningkatan akses terhadap inovasi, pembiayaan berbunga rendah  menjadi model tunggal yang dijalankan  sehingga menjadi upaya bersama, dan Bank Dunia sedang membangun jasa pelayanan seperti kantor-kantor cabang bank dan penggunaan telepon  di wilayah pedalaman.
Tantangan ketiga adalah keamanan pangan. Produksi pertanian rendah dan harga pangan global mencapai titik tertingginya. Dikombinasikan dengan perubahan berkelanjutan, penduduk miskin di negara-negara berkembang berada pada posisi yang sangat beresiko. Konsekuensinya,para menteri pertanian G20 mendorong dibentuknya paket penyelamatan yang sedang dipertimbangkan oleh para pemimpin G20 pada pertemuan bulan November 2011 di Cannes. Salah satu ukuran antara lain dukungan peningkatan transparansi persediaan stok pangan dan produksi, yang akan membantu mengurangi ketidakpastiaan di pasar dan mampu menyediakan stok yang lebih baik sesuai permintaan. G20 juga menyetujui pengecualian terhadap pengiriman bantuan pangan kemanusiaan yang terkena larangan ekspor, sehingga dapat mengurangi tingkat kelaparan penduduk dunia pada saat krisis akibat hambatan-hambatan perdagangan.
Pada saat bersamaan, G20 juga sedang mendorong perluasan penggunaan instrument-instrumen berdasarkan nilai pasar yang membantu mengatur fluktuasi harga pangan. Salah satu institusi internal Bank Dunia, Kerjasama Keuangan Internasional, telah meluncurkan prakarsa baru untuk membantu melindungi dampak pergeseran harga untuk para produsen (petani) dan konsumen di negara-negara berkembang.
Tantangan paling krusial dalam mengatasi hal diatas dalam jangka waktu panjang adalah meningkatkan dan mendukung produktivitas pertanian, yang mensyaratkan investasi yang besar di bidang pertanian. Berkaitan dengan hal itu, Bank Dunia telah meningkatkan pembiayaan di sektor tersebut.
Program Pertanian Global dan Keamanan Pangan, yang didesain oleh Bank Dunia sesuai rekomendasi forum G20, juga ditujukkan untuk mendukung rencana –rencana keamanan pangan dan membangun pertanian berskala kecil. Program tersebut telah mengalokasikan 481 juta USD ke 12 negara.
Indonesia sedang bekerjasama dengan negara-negara anggota G20, untuk menghadapi perkembangan ketiga tantangan  diatas, dan juga sangat berpoteensi untuk menyiapkan forum strategis internasional, untuk memajukan kepentingan-kepentingan nasional sebelumnya dan juga mempunyai  tanggungjwab global.
Tetapi seperti yang diketahui telah terjadi pergeseran ekonomi global, sehingga perlu melakukan sejumlah tindakan berdasarkan tata kelola global. Arsitektur keuangan yang muncul di Asia yang sangat signifikan sekarang dibentuk oleh ASEAN dan, sebagai negara dengan ekonomi terbesar di Asia Tenggara, Indonesia adalah suara dari organisasi tersebut (ASEAN) di forum G20.
Banyak cara yang dapat dilakukan Indonesia untuk berkontribusi terhadap perkembangan konsensus multilateral di G20. Sebagai negara yang bertahan dari krisis ekonomi dan politik yang dalam, pengalaman tersebut dapat dijadikan pembelajaran yang bisa dibagi kepada negara-negara lain. Negara ini burusaha dan bekerja keras untuk kembali menjadi negara besar, lebih baik dan lebih ulet setelah krisis keuangan Asia, pembaharuan ekonomi serta reformasi politik diimplementasikan untuk mengurangi kerentanan dan memperkuat sistem keuangan nagara tersebut.
Indonesia sedang belajar dari para ahli dan berkolaborasi seiring dengan partisipasinya di forum global, namun hal tersebut harus dikembangkan dalam bentuk kebijakan dan solusi-solusi pada masa yang akan datang melalui G20. Perspektif Indonesia sangat penting ketika ekonomi negara-negara berkembang menjadi kunci pasca pemulihan krisis ekonomi global dan perjuangan melawan kemiskinan.[1]

Jakarta, 19 September 2011.


[1] Artikel asli berjudul “ Indonesia’s and Global Development”. Lebih lanjut baca http://www.eastasiaforum.org/2011/09/18/indonesia-s-and-global-development/

Sunday, September 18, 2011

RUSIA-KOREA UTARA: DENUKLIRISASI SEMENANJUNG KOREA

Oleh:
Alexander Vorontstov dan Oleg Revenko, Pengajar Akademi Ilmu Pengetahuan Rusia

Kunjungan Kim Jong-il baru-baru ini ke rusia dan pertemuan singkatnya dengan Presiden Dimitri Medvedev di Ulan-Ude kembali mengobarkan lingkaran kepentingan-kepentingan politik.
Kunjungan tersebut merupakan kunjungan pertama pemimpin Korea sejak tahun 2002. Kunjungan tersebut pada kenyataannya bersifat sangat rahasia dan sangat sedikit informasi yang dapat diperoleh terkait hasilnya sehingga sangat menarik untuk diketahui. Presiden Rusia mengatakan Kim Jong-ill menyinggung sejumlah permasalahan untuk dibahas; bilateral, multilateral, dan masalah-masalah keamanan regional, termasuk permasalahan nuklir Korea Utara dan denuklirisasi Semenanjung Korea.
Korea Utara merupakan negara  khusus dan kompleks yang cenderung sulit dimengerti. Negara tersebut juga merupakan tetangga Rusia. Rusia sendiri, sedang berusaha untuk lebih aktif secara politik dan ekonomi di wilayah tersebut, termasuk dalam komplesitas Semenanjung Korea- isu yang berkaitan langsung kepentingan-kepentingan strategis dan keamanan nasional.  untuk melindungi kepentingan-kepentingannya sekaligus memperoleh manfaaf kembali dari permasalahan di Semenanjung Korea, Moskow harus mempertahankan dialog-dialog politik dan mengatur sejumlah saluaran-saluran komunikasi rahasia dengan kedua belah pihak, baik Korea Utara maupun Korea Selatan.
Inilah tujuan yang ingin dicapai Moskow.
Moskow tidak mempercayai mitos bahwa Kim Jong-ill tidak terprediksi dan irasional. Malahan, menganggap apa yang dilakukan Pemerintahan Korea Utara merupakan sesuatu yang logis yang mungkin terlihat cukup buruk dan tidak biasa dalam terminologi mentalitas liberal Barat. Sejak keruntuhan Uni Soviet, program nuklir Pyongyang , bagaimanapun mempengaruhi rezim non-proliferasi nuklir global, yang justru membuat Korea Utara tidak mengalami nasib yang serupa dengan Yugoslavia dan Lybia, yang ternyata dijadikan target oleh Barat.  Untuk menghentikan aktifitas program nuklir Korea Utara, komunitas internasional seharusnya menurunkan rasa intensitas ketidakamanan dengan adanya program tersebut  melalui insturumen-instrumen diplomasi, termasuk memulai kembali pembicaraan enam pihak (Six Party Talks).
Hal tersebut menunjukkan bahwa pertemuan di Ulan-Ude menjadi langkah penting untuk berdialog antara Moscow dan Pyongyang untuk menyelesaikan masalah di Korea yang dihentikan sementara pada akhir 2008. Sejak awal tahun , Rusia menaruh perhatian terkait konsekuensi-konsekuensi yang bisa muncul  dari situasi seperti sekarang, sehingga mengambil upaya-upaya diplomatik untuk menemukan cara guna membuka kebuntuan selama ini. Patut berterima kasih kepada Moscow bahwa, pada Maret kemarin, Korut setuju untuk kembali ke meja perundingan terkait pembicaraan enam pihak tanpa perlu prasayarat-prasarat tertentu.Sekarang setelah hasil pertemuan di bulan Agustus kemarin , Pemimpin Korea Utara mengumumkan keinginan untuk mengajukan penghentian sementara ‘produksi material-material nuklir beserta percobaan-percobaan selanjutnya’. Namun, hal tersebut menjadi tidak jelas, jika menjadi janji tanpa syarat atau Korea Utara hanya akan berkomitmen bila pihak-pihak lainnya juga melakukan hal yang sama terhadap negara tersebut. Apapun yang terjadi, Moskow dengan terhormat dan tetap melakukan pendekatan secara terus menerus untuk mengizinkan Pyongyang menjadi fleksibel-membuktikan bahwa Rusia jauh lebih longgar dibandingkan tekanan AS dan Korea Selatan yang menginginkan isolasi.
Kepentingan Rusia terhadap Korea Utara, yang dibahas selama pertemuan tersebut, juga dipicu oleh rencana penempatan jalur pipa-pipa gas Trans-Korea dari perbatasan Rusia yang akan banyak memasok kebutuhan   gas (10 meter kubik setiap tahun) ke Korea Selatan.  Rencana tersebut bukanlah rencana baru, namun sempat dihentikan pasca pecahnya konflik  antara dua Korea pada tahun 2010.
Tetapi tahun ini, baik Pyongyang maupun Seoul secara serempak kembali membicarakan mengenai keterlibatan mereka dalam rencana diatas.  Menteri Luar Negeri Korea Selatan Kim Sung Hwan, yang mengunjungi Moskow pada awal Agustus kemarin, mengumumkan perhatian yang serius dari pemerintahanya terkait masalah tersebut. Sekarang sejauh ini, Dimitri Medvedev  dan Kim Jong-ill juga menyetujui ‘kerjasama abad ini’. Tentu saja, implementasinya akan membutuhkan sejumlah prasayarat-prasyarat klasik baik, secara bilateral maupun trilateral.
Satu hal yang jelas, tanpa kerjasama yang normal antara Pyongyang dan Seoul  tidak akan ada kemajuan. Dan hanya waktu yang akan menjawab apakah mereka siap untuk bekerjasama. Namun, pihak-pihak yang selama ini berkepntingan terhadap konflik dua Korea,  harus mengerti bahwa kesuksesan dari pelaksanaan kerjasama tersebut akan memberikan keuntungan yang signifikan untuk semua pihak yang terlibat dan akan berkontribusi terhadap stabilitas Semenanjung Korea, seperti yang diinginkan semua orang. Hal tersebut cukup positif. Bagi Moscow, hal tersebut merupakan kesempatan yang unik untuk mempertegas kehadirannya di semenanjung tersebut dan juga  berkontribusi terhadap rekonsiliasi dua Korea.
Pertemuan Rusia-Korea Utara, dengan semua konsekuensinya, sejauh ini cukup bermanfaat. Pertemuan tersebut menunjukkan bahwa kebijakan Rusia di Semenanjung Korea sangat meningkat dan menyimpan banyak ide pada masa yang akan datang. Dua tujuan yang berbeda tersebut diarahkan ke Korea, akan menjadi investasi berkelanjutan dan menjanjikan.[1]

Alexander Vorontstov adalah kepala Jurusan dengan konsetrasi Korea dan Mongolia pada Institut Studi Oriental, Akademi Ilmu Pengetahuan Rusia.

Oleg Rovenko adalah peneliti senior pada Institut Hubungan Internasional dan Ekonomi Global, Akademi Ilmu Pengetahuan Rusia.
Jakarta, 17 September 2011.


[1] Artikel tersebut disadur berdasarkan judul asli “ Russia-North Korea: Denuclearisation of Korean Peninsula”, lebih lanjut lihat http//www.eastasiaforum.org/2011/09/17/russia-north-korea-denuclerisation-of-the-korean-peninsula/?utm_source=feedburner&utm_medium=feed&utm_campaign=Feed%3A+eastasiaforum%2Ffeed+%28East+Asia+Forum%29

Friday, September 16, 2011

MAKNA KENAIKAN ANGGARAN PERTAHANAN 2012

Pada tanggal 16 Agustus 2011, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono mengumumkan kenaikan anggaran pertahanan nasional.  Pada tahun 2012, Kementrian Pertahanan RI mendapat jatah kenaikan anggaran sebesar  35, 7 persen dari tahun sebelumnya,  sehingga menjadi 64.4 triliun. Selanjutnya pada tanggal 8 September 2011, Presiden juga mengumumkan porsi anggaran untuk penguatan alat utama sistem persenjataan (alutsista) selama lima tahun ke depan akan mencapai 150 triliun.
Sebelumnya pada tahun 2010, anggaran pertahanan mencapai 42, 9 triliun. Tahun 2011 ini anggaran pertahanan meningkat menjadi 47, 5 triliun. Sebagian besar anggaran pertahanan dalam RAPBN 2012 dialokasikan untuk peningkatan kualitas alat utama sistem pertahanan.  
Kenaikan anggaran pertahanan nasional pada tahun 2012 dapat dilihat dari beberapa pertimbangan, yakni pencapaian standar pertahanan minimal pada tahun 2024, dan modernisasi militer Indonesia di tengah modernisasi militer negara-negara di kawasan Asia Tenggara.
Sejak tahun 1960-an anggaran pertahanan nasional cenderung menurun. Pada  dekade 1960-an, anggaran pertahanan Indonesia mencapai 29% dari GDP. Saat ini anggaran pertahanan Indonesia, hanya mencapai 0,7 dari GDP tahun 2010. Minimnya anggaran pertahanan tersebut, menurut mantan menteri pertahanan Indonesia Juwono Sudarsono hanya dapat memenuhi 30% kebutuhan pertahanan Indonesia.
Minimnya anggaran pertahanan tersebut, berbanding terbalik dengan rata-rata anggaran pertahanan negara-negara di kawasan Asia Tenggara yang mencapai lebih dari 1% GDP. Ketersediaan anggaran minimal berbanding lurus dengan pengembangan kekuatan alutsista TNI yang jauh dari standar ideal untuk negara sebesar Indonesia.
Kenaikan anggaran tersebut merupakan bagian dari perencanaan postur pertahanan TNI demi mencapai standar pertahanan minimal (minimum essential force) pada tahun 2024. MEF merupakan perencanaan pertahanan nasional yang menggabungkan Buku Putih Pertahanan, Doktrin Pertahanan Nasional, Strategi Pertahanan Nasional dan Panduan Kebijakan Pertahanan. MEF menjadi panduan sistematis dalam perencanaan pertahananan nasional pada dekade-dekade selanjutnya yang didasarkan pada proyeksi berbagai  ancaman aktual, seperti terorisme, separatisme, perselisihan perbatasan, bencana alam, konflik horizontal, kelangkaan energi. Juga ditujukkan untuk mengantisipasi dan menangani berbagai potensi ancaman ke depan, seperti perubahan iklim, degradasi lingkungan, krisis keuangan, kejahatan dunia maya (cyber crime), agresi internasional, krisis air dan serta kerawanan pangan. 
Perencanaan MEF 2024 membutuhkan kekuatan anggaran maksimal, mengingat perencanaan pertahanan tersebut akan ditujukkan untuk penguatan kesiapan prajurit dan kekuatan alutsista ketiga angkatan TNI. Kebutuhan pertahanan nasional pada dekade selanjutnya membutuhkan ketersediaan anggaran yang memadai berdasarkan analisa potensi ancaman-ancaman diatas. Namun, selama ini anggaran pertahanan selalu menjadi variabel independen yang menentukan perencanaan kebutuhan dan proyeksi pertahanan. Akibatnya, seluruh perencanaan pertahanan nasional sampai hari ini sangat bergantung pada seberapa besar anggaran yang telah disediakan.  Padahal, seharusnya kebutuhan dan proyeksi pertahanan dijadikan tolok ukur penentuan besaran anggaran pertahanan nasional. Hal tersebut mengingat, analisa ancaman dan potensi ancaman pada masa mendatang akan dimanifestasikan dalam bentuk perencanaan pertahanan nasional oleh Kementrian Pertahanan dan Mabes TNI. Selanjutnya perencanaan pertahanan tersebut akan menentukan seberapa besar anggaran yang dibutuhkan, sehingga pelaksanaan dari perencanaan tersebut berjalan maksimal.  Dinaikkannya anggaran pertahanan nasional harus dipandang sebagai usaha “pembongkaran” tradisi penentuan anggaran pertahanan nasional demi membangun kekuatan pertahanan nasional yang tangguh.
Kenaikan anggaran pertahanan nasional merupakan sebuah keharusan. Hal tersebut mengingat modernisasi militer negara-negara tetangga yang begitu massif. Salah satu teknologi  militer muktahir yang sedang dikembangkan negara-negara yang memiliki wilayah laut adalah kapal selam.
 Berdasarkan laporan Stockholm International Peace Research Institute (SIPRI) tahun 2010, Malaysia berencana untuk membeli 4 kapal selam bertipe Scorpone untuk memperkuat 1 kapal selam yang telah dimiliki. Singapura berencana untuk membeli 6 kapal selam dengan tipe Challenger dan Archer sejak tahun 2005. Untuk merealisasi rencana tersebut, Singapura bekerjasama dengan Swedia. Thailand yang pada awalnya merupakan negara yang tidak berkeinginan mengembangkan teknologi kapal selam, pada akhirnya telah merencanakan pembelian 6 kapal selam dengan tipe Type pada 2020. Pemerintah Thailand menggandeng Jerman sebagai partner dalam merealisasi rencana memiliki kapal selam modern tersebut. Vietnam sendiri telah bekerjasama dengan Rusia untuk pembelian jangka panjang sampai tahun 2020, 6 kapal selam dengan tipe Kilo. Bahkan, Myanmmar  berencana untuk membeli 2 kapal selam bekas milik Cina yang masih terus dinegosiasikan sejak tahun 2010.
Indonesia sendiri yang pada awalnya merupakan satu-satunya negara di kawasan Asia Tenggara yang memiliki kapal Selam dengan tipe Lada dan Kilo, sampai hari ini belum menunjukkan komitmen yang kuat untuk membeli lagi kapal selam demi  membangun armada angkatan laut yang tangguh dan modern. Dua kapal selam yang ada tidak dapat beroperasi secara maksimal karena faktor usia dan kurangnya upgrading teknologi kapal selam.  Rencana pengadaan 10 kapal selam sampai tahun 2033 oleh Kementrian  Pertahanan yang diinisasi sejak tahun 2006 belum mendapat respon positif dari kalangan politisi di Senayan. Idealnya, Indonesia memiliki 30 kapal selam untuk menjaga seluruh wilayah  laut dari berbagai potensi ancaman.
Melihat betapa masifnya modernisasi militer negara-negara tentangga, sudah sepantasnya jika kenaikan anggaran ini dijadikan momentum penguatan kemampuan TNI, khususnya armada laut dan squadron udara yang menitikberatkan pada kekuatan sistem persenjataan. Anggaran untuk kebutuhan alutsista yang mencapai 150 triliun harus dialokasikan secara efektif untuk memordernisasi sistem persenjataan kedua angkatan TNI. 
Seandainya, Indonesia masih belum menyadari perlunya peningkatan anggaran pertahanan nasional demi membangun kekuatan pertahanan yang tangguh, maka negara-negara tetangga akan terus dengan mudah melakukan tindakan-tindakan provokasi yang menganggu kedaulatan wilayah NKRI. Harus diingat bahwa tindakan-tindakan provokasi yang dilakukan Malaysia selama ini di wilayah Ambalat, akibat anggapan bahwa kemampuan pertahanan  Indonesia sangat lemah, khususnya dalam teknologi dan sistem persenjataan. Oleh karena itu, dinaikkannya anggaran pertahanan nasional setidaknya meningkatkan kewaspadaan dini (early warning) negara-negara tetangga terhadap kemampuan pertahanan Indonesia yang selama ini diremehkan.
Kenaikan anggaran pertahanan menjadi momentum kebangkitan pembangunan pertahanan nasional yang tangguh. Itikad baik dari kalangan sipil yang selama ini cenderung meremehkan pembangunan kekuatan pertahanan nasional harus disambut positif. Kenaikan anggaran pertahanan nasional lebih dari 60 triliun sejak tahun 1966, menjadi pertanda baik bagi negara ini untuk kembali menegakkan kedaulatan wilayahnya yang selama ini cenderung diremehkan oleh negara-negara lain.
Hipolitus Wangge
Peneliti
Pacivis-Universitas Indonesia

Dimuat di Harian Jawa Pos, Jumad 16 September 2011

Saturday, September 3, 2011

TUJUAN-TUJUAN STRATEGIS ALIANSI AS-JEPANG

Komite konsultasi keamanan AS-Jepang merilis pernyataan resmi pada 21 Juni 2011 di Washington dengan judul: Menuju Aliansi AS-Jepang yang lebih Mendalam dan Luas;  Membangun 50 tahun Kerjasama. Pernyataan tujuan-tujuan strategik AS-Jepang tersebut bertujuan   membangun kerjasama pertahanan bersama pada masa yang akan datang yang lebih erat. Pernyataan ini berhasil membentuk cara baru pertemuan tingkat pemimpin AS-Jepang pada tahun kemarin.
Terdapat dua pilar sentral yang terkandung dalam 24 daftar tujuan yang dikeluarkan tersebut.
Pertama, ditujukkan untuk merespon kebangkitan Cina. AS dan Jepang menegaskan kembali pertanggungjawaban Cina  dan peranan konstruktif negara tersebut terhadap stabilitas regional dan kemakmuran, sementara itu mendorong keterbukaan dan transparansi terkait moderniasai militer Cina yang terus berjalan. Namun, meskipun tidak menyebutkan secara spesifik negara tertentu, pernyataan yang mengecilkan hati dan mengambil alih kemampuan militer yang dapat mendestabilisasi  lingkungan keamanan regional-merefleksikan perhatian bersama Tokyo dan Washington terkait intensi perkembangan PLA yang sulit untuk diketahui kemampuannya.
Wacana mengenai keselamatan dan keamanan maritim juga berkaitan dengan menyertakan “mempertahankan prinsip kebebasan pelayaran”. Barang-barang publik, termasuk ruang publik dan dunia maya yang ditegaskan sebagai barang-barang publik. Mempromosikan “dialog mengenai pembagian persediaan sumber-sumber daya dan bahan-bahan  langka, termasuk energi dan sumber-sumber terbarukan, ekspor yang telah dilarang Cina akhir September pasca penahanan Kapten kapal penangkap ikan oleh pasukan penjaga pantai dekat pulau Senkaku, juga ditegaskan kembali.
Kedua, sangat jelas terlihat bahwa arah baru aliansi yang dibangun ditujukkan untuk memnciptakan arsitektur keamanan regional di seluruh kawasan Asia Pasifik.  Tujuan baru ini lebih menekankan pada melalui kerjasama trilateral dengan Australia dan Korea Selatan, dan dialog trialateral dengan India juga disebutkan. Kerjasama keamanan  antara Jepang, AS dan ASEAN merupakan wialayah lain dari kerjasama bersama yang potensial.  Tokyo dan Washington secara jelas telah membagi kepentingan nasional secara bilateral dan kerjasama keamanan mini-lateral dengan negara-negara anggota ASEAN, khususnya Indonesia, Vietnam, dan Filiphina. Bantuan “pemerintahan dan pembangunan kemampuan” kepada negara-negara anggota ASEAN merupakan kesemapatan yang penting  untuk membangun hubungan yang lebih dekat pada masa yang akan datang.
Sebagai tambahan untuk tujuan-tujuan di Asia Pasifik, daftar baru mengenai Tujuan-Tujuan Strategis Bersama  juga memiliki beberapa hal penting untuk dibahas dalam kerjasama keamanan global.  Perhatian terdekat adalah tujuan-tujuan startegis tersebut merupakan  usaha Jepang sebagai sebuah negara yang memiliki  pertanggungjawaban internasional terhadap dunia internasional, bukan berorientasi domestik.  Kewajiban Jepang ke depan adalah mengatasi kendala domestic, khususnya sensitifitas politik dan dukungan domestic mengenai  misi-misi militer Jepang di luar negeri. Kerjasama potensial Jepang-NATO, yang disebutkan dalam  Tujuan-Tujuan Strategis  Umum pada tahun 2007, tidak termasuk dalampernyataan tersebut. Hal tersebut memperluas kerjasama keamanan global  NATO-Jepang pada masa yang akan datang, dan hal tersebut seharusnya dipandang baik oleh Jepang maupun AS sebagai kesempatan berikut bagi kolaborasi  pertahanan nasional Jepang dengan pihak ketiga.
Dalam pernyataan bersama AS-Jepang berjudul “Memperkuat Kerjasama Aliansi Pertahanan dan Keamanan” kedua pemerintahan menegaskan kedepan pengkajian terkait perencanaan pertahanan dan keamanan akan terus dilanjutkan. Dalam, editorial Nikkei dan Yomiuri, dua koran terkemuka di Jepang, mendukung posisi ini dan mendesak kedua pihak untuk mengimplementasikan intensi-intensi tersebut. Secara jelas, Jepang dan AS perlu menyiapkan sejumlah langkah konkret selama masa damai, tantangan-tangan keamanan berdasarkan perencanaan di wilayah Asia Timur, termasuk wilayah semenanjung Korea. Oleh karena itu, agar supaya dapat menghalangi dan merespon secara proaktif, cepat dan mulus dalam situasi beragam  di wilayah tersebut penekanan pada pelatihan bersama, pelaksanaan, saling membagi dalam penggunaan fasilitas, kerjasam terkait sharing informasi dan aktifitas-aktifitas  intilijen, pengamatan, dan  pengintaian bersama. Kedua belah pihak menegaskan pembentukan “dialog pencegahan yang diperluas secara regular”. Hal tersebut berkaitan dengan ketidakpastian Korea Utara yang berkelanjutan dan pada saat bersamaan ketika AS berusaha membangun dunia tanpa persejataan nuklir.
Pelaksanaan dari tujuan-tujuan tersebut adalah kunci, tetapi tanpa kepemimpinan politik yang kuat di Jepang, sangat sulit untuk mengharapkan  peningkatan pertahanan atau merubah intepretasi pasal 9 dari Konstitusi Nasional, yang mencegah hak-hak pertahanan nasional bersama. Oleh karena itu, bagaimanapun, banyak hal yang dapat dilakukan pada tingkatan administratif dan militer profesional.  Hal tersebut menyangkut visi bersama pembangunan keamanan yang kuat ke depan dan kerjasama ekonomi pada masa sekarang dalam membangun tata kelola internasional.
Kedua pemerintahan dapat meningkatkan postur pencegahan bersama, didasarkan pada skenari-skenario berbeda.
Kedua, membangun arsitektur keamanan regional dengan meningkatkan kerjasama trilateral dan kerjasama diantara mereka, seharusnya dilihat sebagai keuntungan bersama untuk menjadi perhatian semua pihak,  dan khususnya Jepang dan AS.
Ketiga, sekalipun Jepang harus menakar kembali kebijakan perkembangan bantuan dan anggaran, kedua pihak dapat membuat kebijakan bersama untuk mengamankan kebutuhan energi mereka, di samping itu melanjutkan pengamanan terhadap jalur komunikasi laut global.
Keempat, sangat diharapkan Jepang akan jauh lebih tegas dalam menempatkan diri ke depan sebagai tuan rumah regional dan global sebagai pusat penanganan repon-respon bencan alam. Pernyatan bersama tersebut kembali menegaskan pentingnya pembentukan logistik  regional, khususnya pusat bantuan kemanusiaan dan pertolongan bencana. Seperti respon bersama terhadap bencana Tsunami di Samudera Hindia pada Desember 2004 dan Operasi Tomodachi setelah terjadinya bencana di Jepang pada Maret 2011, kedua pemerintahan memiliki kemampuan sumber daya, ahli, dan operasional yang secara efektif dapat merespon bencana-bencana dalam skala besar.
Pada akhirnya, sangat krusial bahwa mekanisme efektif dapat ditemukan dalam persinggungan dengan “pertanyaan Cina” yang mana ketiga negara tersebut secara poraktif dapat menempatkan topik-topik terkait kerjasama dan bidang-bidang yang pada akhirnya berkaitan dengan tujuan akhir pembangunan saling kepercayaan. Pemerintah AS-Jepang-Cina berdialog adalah satu opsi, namun opsi tersebut belum jelas, dan mungkin tidak cukup. Washington dan Tokyo perlu meningkatkan pertemuan bilateral di antara mereka, dan kemudian menyiapkan pertama startegi komunikasi sebelum mengikutsertakan Cina.  Aliansi koordinasi AS-Jepang merupakan komponen persamaan yang sangat krusial.
Dengan keterbatasan sumber daya keuangan yang tersedia di antara AS dan Jepang, sekarang saatnya memirkirkan secara serius terkait pilihan-pilihan yang sulit di dalam Tujuan-Tujuan Strategis Bersama dan dimana untuk mengalokasikan sumber daya-sumber daya yang terbatas. Secara jelas, sekarang adalah waktunya pemikiran-pemikiran  segara dan baru serta sederhana berdasarkan kinerja aliansi AS-Jepang pada masa lalu yang tidak sesuai lagi dengan tantangan-tantangan baru regional dan global yang dihadapi kedua negara.[1]
Ryo Sahashi adalah Asisten Profesor pada Universitas Kanagawa, Program Studi Politik Internasional .

Yogyakarta, 3 September 2011.



[1] Artikel asli berjudul Strategic Objectives for the US-Japan Alliance. Lebih lanjut lihat http://www.eastasiaforum.org/2011/08/17/strategic-objectives-for-the-US-Japan-alliance/

Friday, September 2, 2011

MISIL ANTI KAPAL PERANG INDONESIA: PERKEMBANGAN BARU KEMAMPUAN TEKNOLOGI MARITIM


Pada tanggal 20 April 2011, Kapal Perang Angkatan Laut Indonesia tipe frigate, KRI  Oswald Siahaan melakukan tes penembakan rudal anti kapal perang supersonik Yakhont buatan Rusia dalam latihan rutin AL di Samudera Hindia. Menurut pernyataan resmi AL, misil tersebut mampu menempuh jarak 250 km dalam waktu 6 menit untuk menghancurkan target yang ditentukan secara langsung. Tes tersebut menandakan era baru terobosan kemampuan kekuatan militer maritim di wilayah Asia Tenggara.  Hal tersebut untuk merespon berbagai perselisihan kelautan dan menandai kompetisi persenjataan maritim regional yang sedang berkembang dewasa ini.                                                                      

Destabilisasi Persenjataan Maritim?

 
Menurut David Mussington dan John Silsin dalam laporan tahunan Jane tahun 1995, teknologi persenjataan yang mampu menggangu stabilitas suatu wilayah, memiliki 6 karakteristik: menghasilkan penurunan waktu kewaspadaan, memberikan suatu negara “kemampuan pemecahan”; memperluas pengaturan  jangkauan target; tidak memberikan strategi-strategi antisipatif secara efektif; memberikan informasi yang lebih baik kepada pihak lain terkait kemampuan-kemampuan  persiapan  militer di antara pihak-pihak tersebut; dan menciptakan perselisihan. Berdasarkan sejumlah kriteria tersebut, Yakhont dapat dikategorikan dapat mengganggu stabilitas kawasan seperti yang dijelaskan di atas.

Pertama, Yakhont dapat menempuh kecepatan peluncuran laut (5-15 meter di atas permukaan) 2,5 kali kecepatan suara, oleh karena itu dapat mengurangi waktu kewaspadaan dari kapal perang yang ditargetkan, khususnya mampu menghancurkan sitem peringatan dini jarak jauh. Fakta bahwa kemampuan persenjataan maritime negara-negara Asia Tenggara meningkat lebih baik,   dilengkapi  dengan sensor modern yang memberikan peringatan dini dengan peluncur misil pada masa yang akan datang dan dapat melacak keberadaan misil subsonik yang meluncur di permukaan laut. Pengenalan  profil keunggulan Yakhont yang diluncurkan dengan kemampuan deteksi teknologi yang sangat canggih harus didapat oleh angkatan-angkatan laut regional.

Kedua, bahkan sebelumnya Vietnam dilaporkan telah menggunakan Yakhont, penggunaannya di tanam sebagai “benteng” dalam pertahanan pantai dan oleh karenanya bertujuan defensif. Walaupun demikian, ketika diarahkan menjulang ke arah kapal perang, pada intinya peluncuran tinggi, jarak tempuh Yakhont dapat diperluas di bawah garis pertahanan diantara perbatasan-perbatasan pantai. Sebelumnya, pengenalan peluncur kapal Yakhont, misil anti kapal perang-seperti buatan Barat Exocet dan Harpoon demikian juga buatan Rusia yang sedang dibangun Styx dan Switchblade-yang dipasang di atas kapal-kapal perang negara-negara Asia Tenggara dikategorikan berkecepatan subsonik dan menempuh jarak tidak lebih dari 200 km pada umumnya.
Sebaliknya, Yakhont memiliki jarak tempuh maksimal 300 km ketika terbang di atas permukaan air dan memiliki kecepatan maksimum 2,5 Mach. Hanya ada dua negara non Asia Tenggara di daratan Asia Pasifik yang memiliki kemampuan setara, yakni Cina yang memiliki penghancur buatan Rusia Sovremennny yang dipersenjatai dengan misil Sunburn dan Taiwan yang baru-baru ini yang menempatkan Hsiung Feng III di dalam kapal-kapal perangnya.
Ketiga, profil Yakhont juga tidak memberikan strategi-startegi antisipatif yang efektif pada umumnya teknologi militer maritim negara-negara Asia Tenggara. Hanya beberapa negara-negara di kawasan Asia Tenggara, seperti Malaysia, Singapura, dan Thailand yang memiliki kemampuan teknologi  misil-misil anti kapal perang (AMM). Malaysia memiliki 2 kapal perang tipe frigate yang dipersejatai dengan  Seawolf AMM dan 4 kapal perang korvet yang memiliki Aspide, sementara Singapura memiliki 6 kapal perang frigate yang dipersejatai dengan Aster AMM dan 6 kapal perang korvet dengan Barak-1.  Thailand memiliki 2 kapal perang frigate yang dilengkapi dengan sistem Sea Sparrow dan 2 kapal perang korvet dengan Aspide.
Sementara negara-negara Asia Tenggara lainnya dianggap sangat sedikit dilengkapi dengan kemampuan pertahanan udara. Sebagian besar kapal-kapal perang permukaan di kawasan ini hanya dipersejatai dengan senapan mesin dan misil darat-udara yang hanya efektif jika melawan target-target rendah pada jarak yang dekat tetapi tidak termasuk misil dan pesawat tempur dengan kualitas terbaik.

Apa yang terjadi selanjutnya di kawasan Asia Tenggara?

Apa yang dilakukan AL Indonesia tersebut, terjadi setelah pertarungan pengembangan kapal selam di kawasan ini baru-baru ini dan pengenalan terobosan kemampuan-kemampuan militer maritim. Malaysia memperkenalkan pertama kali misil anti kapal perang yang diluncurkan dari bawah laut pada kapal selam tipe Scorpone sementara Singapura memperkenalkan sepasang bekas kapal selam Swedia, Vatergotland dengan tenaga pendorong udara tunggal yang memperpanjang daya tahan kapal selam selama menyelam.  Dalam kasus tersebut, terlihat jelas  bagaimana upaya-upaya responsif di antara angkatan-angkatan laut negara-negara Asia Tenggara.
Yakhont, dengan kemampuan-kemampuan superioritasnya menggungguli keberadaan misil-misil yang mempersenjatai kapal-kapal perang negara-negara Asia Tenggara, merepresentasikan terobosan regional baru yang tidak dapat disepelehkan.  Hal tersebut terjadi demikian, ketika tidak ada angkatan-angkatan laut regional yang dilengkapi dengan sistem persenjataan yang cukup jika terjadi pertempuran laut di region yang mudah bergesekan dalam perselisihan-perselisihan laut berkepanjangan.  Angkatan laut Indonesia-Malaysia tetap berpendirian masing-masing dalam perselisihan  di wilayah Ambalat pada 2009, disoroti terkait peristiwa-peristiwa bahaya yang bisa  terjadi pada masa yang akan datang.
Kemungkinan reaksi-reaksi yang muncul dari negara-negara tetangga di kawasan Asia Tenggara ke depan mengenai Yakhont dapat dilihat dari beberapa bentuk, khususnya bahwa sekarang negara-negara di berbagai kawasan sedang melakukan pemulihan dari resesi ekonomi global dan sedang membangun kembali modernisasi program-program kekuatan angkatan laut.  Satu, hal tersebut menandai penambahan kekuatan yang berusaha menyamai kemampuan militer tersebut yang mungkin sulit pada saat sekarang di pasar persenjataan global. Sementara pasar misil anti kapal perang masih didominasi oleh sistem subsonic, sangat sedikit contoh  sistem supersonic yang dijual, seperti Russia Klub-series atau Sunburn, dan Rusia-India Brahmos. India dilaporkan pada awalnya menangguhkan ekspor BrahMos (berdasarkan Yakhont) ke Indonesia diluar terkait masalah keamanan Indonesia tetapi Jakarta mengatur sedemikian rupa dengan mengesampingkan hal tersebut secara langsung dengan memperoleh buatan asli Rusia tersebut.

Mengurangi “Efek Yakhont”

Apapun reaksi yang muncul, proses aksi-reaksi yang dapat membendung misil Yankhont yang akan meningkatkan intensitas persaingan sistem persenjataan angkatan laut regional dewasa ini. Yakhont dapat berpotensi mengganggu “balance of power “ kawasan Asia Tenggara, sekalipun Indonesia dilaporkan hanya memperoleh pengiriman sedikit misil dengan penempatan terbatas di atas kapal-kapal perang frigate TNI AL.

Kawasan tersebut memiliki kebutuhan untuk melembagakan upaya-upaya pembentukan kepercayaan bersama angkatan-angkatan laut kawasan untuk mencegah atau mengurangi insiden-insiden di wilayah laut. Tetapi mungkin saat ini negara-negara Asia Tenggara harus memikirkan mekanisme pengendalian sistem persenjataan angkatan laut untuk mendorong transparansi dan membantu menjamin bahwa perolehan sistem persenjataan maritime tidak tersebar di luar kendali.[1]



Koh Swee Lean Collin associate research fellow pada Institut Pertahanan dan Studi Strategis, Program Studi Militer , S. Rajaratman School of International Studies (RSIS) Universitas Nanyang Technologi. Beliau juga melakukan riset doktoral mengenai Perkembangan Angkatan Laut Asia Tenggara.


Yogyakarta, 2 September 2011.



[1] Artikel asli berjudul Indonesia’s Anti-ship Missiles: New Development in Naval Capabilities, lebih lanjut lihat http//rsis.edu.sg/publications/workingpapers/Indonesia’s Anti-ship Missiles: New Development in Naval Capabilities