Translate

Friday, December 16, 2011

EFEKTIFITAS KOMANDO TERITORIAL


Pada Hut TNI ke 66, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menghimbau diefektifkan kembali komando-komando teritorial di seluruh wilayah Indonesia. Tujuannya adalah membantu pihak kepolisian mencegah dan memberangus terorisme. Himbaun tersebut memiliki sejumlah konsekuensi lanjut terhadap reformasi militer yang masih terus berjalan sejak tahun 1998 dan penguatan  pertahanan nasional berdasarkan Kekuatan Pertahanan Minimal (Minimum Essential Force/MEF).
Salah rekomendasi reformasi TNI sesuai UU No. 2 Tahun 2002 tentang pertahanan nasional adalah melikuidasi struktur komando teritorial di daerah yang tidak rawan konflik, mulai dari struktur terkecil hingga teratas (babinsa, koramil, kodim, korem, dan kodam) . Rekomendasi tersebut didasarkan pada evaluasi kinerja koter pada era orde baru.
Koter pada awalnya didesain untuk memberdayakan seluruh sumber daya dan potensi yang ada di suatu wilayah untuk digunakan demi kepentingan pertahanan nasional. Namun, pada era orde baru, koter digunakan untuk mendukung kepentingan politik rezim tersebut. Koter digunakan sebagai mobilisator dukungan pada saat  pemilu.  Koter digunakan untuk mengawasi seluruh kegiatan masyarakat, khususnya kegiatan-kegiatan masyarakat yang dinilai mengancam stabilitas nasional. Pendekatan represif menjadi salah satu ciri pelaksanaan fungsi koter di era orde baru.
            Pasca era orde baru, TNI melakukan reformasi internal. Sejumlah regulasi TNI dibuat, seperti UU No. 2 tahun 2002 tentang Pertahanan Nasional dan UU No. 32 Tahun 2004 tentang TNI, serta Buku Putih Pertahanan Indonesia tahun 2008.  Dalam regulasi-regulasi tersebut, secara tersirat mengamanatkan penataan kembali sejumlah koter di berbagai wilayah Indonesia. Namun, implementasinya sangat sulit dilakukan. Terdapat dua alasan utama.
Pertama, masih dipertahankannya doktrin pertahanan nasional, sistem pertahanan semesta (sishanta). Doktrin ini mengasumsikan seluruh komponen dan sumber daya nasional digunakan untuk mempertahankan kedaulatan NKRI. Hal tersebut membuat koter menjadi “tulang punggung” dalam memetakan dan memberdayakan seluruh komponen dan sumber daya di setiap wilayah negeri ini. Kedua, tidak terdapatnya keinginan yang kuat dari jajaran pimpinan angkatan darat untuk menata kembali seluruh koter. Koter dipandang masih perlu untuk mengamankan seluruh wilayah NKRI dari berbagai potensi ancaman yang muncul dari dalam masyarakat, termasuk terorisme.
Di era reformasi dengan pilihan demokrasi seperti sekarang, fungsi pemberdayaan wilayah mampu dijalankan oleh pemerintah daerah (pemda) setempat. Dalam kerangka otonomi, pemda setempat mampu memetakan dan memberdayakan baik komponen pendukung maupun komponen cadangan, serta seluruh sumber daya lokal untuk menunjang fungsi pertahanan. Untuk menanggulangi ancaman teror, pemda memiliki alat kemananan negara, yakni kepolisian. Dukungan seharusnya diberikan kepada pihak kepolisian untuk menangani persoalan keamanan nasional, sesuai amanat konstitusi. TNI sendiri harus mendukung peningkatan kapasitas sipil untuk melakukan fungsi pemberdayaan wilayah pertahanan.
Keberadaan koter, tidak perlu lagi digelar sampai tingkatan desa (babinsa). Fungsi teritorial, jika perlu dipertahankan, cukup sampai tingkatan kabupaten (kodim). Hal tersebut mengingat fungsi koordinasi dan mobilisasi seluruh pasukan regular di daerah, berada di bawah kewenangan komando daerah militer (kodam) dan komando resort militer (korem). Keberadaan koter cenderung untuk mempertahankan status quo militer di daerah, yang telah bertahan sejak diterapkan sitem wehrkreise (kantong-kantong pertahanan) pada zaman  revolusi.
Penolakan para petinggi angkatan darat, berbanding terbalik dengan kenyataan di daerah. Keberadaan koter di beberapa daerah tidak rawan konflik ternyata, menimbulkan keresahan, bahkan tindak pelanggaran ham terhadap masyarakat. Berdasarkan laporan Komnas Ham tahun 2010 sampai Maret 2011, terdapat 88 kasus indikasi pelanggaran ham, baik yang melibatkan personil, staf, maupun institusi teritorial di seluruh wilayah Indonesia.
Sejumlah pelanggaran ham yang diadukan diantaranya perebutan lahan, pembongkaran paksa sejumlah bangunan,  tindakan asusila, tindakan pengeroyokan, bahkan mengakibatkan kematian. Selain itu, berdasarkan laporan Human Rights Watch tahun 2009, keberadaan komando-komando teritorial di berbagai daerah berhubungan dengan keberadaan bisnis militer. Sejumlah koter digunakan untuk mempertahankan sejumlah bisnis militer yang belum dilukuidasi atau diambilalih oleh Pemerintah sesuai amanat Peraturan Pemerintah Nomor 23 tahun 2009 tentang Pengambilahan Aktivitas Bisnis Militer.
Dalam rangka membangun Kekuatan Pertahanan Minimal (MEF), keberadaan koter perlu dikaji kembali. Asumsi yang selama ini dibangun adalah dua zona pertahanan, yakni zona 1 penyangga (ZEE hingga wilayah musuh)  dan zona 2 pertahanan utama (wilayah perairan teritori Indonesia), dimana angkatan laut dan anagkatan udara menjadi aktor-aktor sentral, tidak bisa dipertahankan. Hal tersebut membuat penguatan terutama dilakukan terhadap zona 3 perlawanan (wilayah darat teritori Indonesia), dimana angkatan darat melalaui koter menjadi aktor utama pertahanan nasional. 
Padahal, agresi militer musuh akan dengan mudah memasuki dan menghancurkan zona 3 pertahanan Indonesia, jika dua zona terdepan tidak dikuatkan.  MEF berusaha merespon hal tersebut, dengan memperkuat kekuatan baik personil maupun peralatan kedua angkatan tersebut. Penguatan seharusnya dilakukan terhadap  detasemen detasemen jala mengkara (denjaka) TNI AL dan detasemen bravo-90 (denbravo-90) TNI AU, bukan lagi pada penguatan struktur teritorial, yang cenderung tidak efektif. Struktur teritorial selama ini hanya menjalankan fungsi administratif pembinaan wilayah.
Kedua satuan elit tersebut harus dilihat secara luas sebagai bagian dari penguatan dua zona pertahanan, termasuk upaya penanganan terorisme. Ditambah detasemen khusus 88, seharusnya yang dilakukan adalah koordinasi antara satuan elit yang memiliki keahlian penagangan teror, bukan pada penguatan struktur teritorial. Apalagi anggaran pertahanan nasional yang dialokasikan untuk penyelengaraan fungsi teritorial cukup besar, yakni 20,6 miliar pada tahun 2012 mendatang. Anggaran sebesar itu, akan lebih efektif jika digunakan untuk kebutuhan militer lainnya yang sangat mendesak, seperti kesejahteraan personil maupun kemampuan alat utama sistem persenjataan (alutsista).
Efektifitas komando teritorial tidak lagi relevan seperti pada era revolusi. Alasan “penghidupan” kembali koter untuk penanganan teror cenderung dipaksakan. Diperlukan kajian yang lebih komprehensif terkait penggunaan struktur teritorial dalam menghadapi terorisme.
HW
Peneliti Pacivis, Universitas Indonesia

Pendekatan Kesejahteraan versus Pendekatan Keamanan di Papua


Terbentuknya Unit Kerja Percepatan Pembangunan Papua dan Papua Barat (UP4B), pada awal Oktober  kemarin setidaknya memberikan harapan bagi penyelesaian masalah-masalah yang terjadi Papua dan Papua Barat.  Pembentukan UP4B ini merupakan pelaksanaan dari Perpres 65 Tahun 2011 tentang Percepatan Pembangunan Provinsi Papua dan Papua Barat. Sebulan setelah terbentuk, ketua UP4B, Bambang Dharmono menyatakan perlunya memberikan rasa aman bagi masyarakat Papua sebelum menjalankan pendekatan kesejahteraan bagi masyarakat di bumi Cendrawasih tersebut.
Berikutnya peringatan 50 tahun hadirnya entitas politik Papua sejak keluarnya Belanda pada tahun 1961, yang diperingati kemarin (1/12) menjadi tantangan bagi penegakkan keamanan di Papua. Dilaporkan  bahwa  telah terjadi  baku tembak antara pihak TNI-Polri dengan kelompok OPM di daerah Paniai dan meninggalnya anggota kepolisian pasca pemukulan oleh kelompok tidak dikenal. Kedua peristiwa tersebut menjadi gambaran bahwa keamanan masih menjadi titik tolak utama dalam menyelesaikan masalah di tanah Papua.
Terdapat dua hal yang bertolak belakang dari pernyataan ketua UP4B dan peritiswa peringatan 50 tahun hadirnya entitas politik Papua. Di satu sisi, pendekatan kesejahteraan dinilai tepat menjadi salah satu solusi penyelesaian masalah Papua. Strategi pembangunan daerah, melalui priorotas pembangunan infrastruktur dan pembangunan sumber daya manusia dalam bingkai otnomi khusus, dinilai menjadi kunci penyelesian masalah Papua yang berlaru-larut. Pendekatan tersebut sesuai dengan arahan presiden bahwa, pendekatan kesejahteraan harus segera dipercepat untuk menyelesaikan masalah di Papua.
Namun, di sisi lain terlihat jelas masih adanya upaya dari pihak-pihak tertentu, baik pihak yang tidak bertanggung jawab maupun pihak aparat keamanan yang tidak sesuai dengan agenda besar pendekatan kesejahteraan dengan mengedepankan rasa aman masyarakat Papua. Sealin dua contoh tindak kekerasan yang terjadi di Papua pada saat peringatan 50 tahun entitas politik Papua,  sejumlah kekerasan lain telah terjadi sebelumnya. Penganiyaan oleh 7 anggota yonif 755 Merauke terhadap 12  orang warga distrik Kurulu Kabupaten Jayawijaya,yang sedang melakukan pertemuan adat (2/11), penembakan terhadap seorang petugas keamanan di areal  PT Freeport (7/11), dan penggeledahan paksa  tanpa surat izin di asrama Papua Menteng oleh pihak kepolisian, (10/11), merupakan gambaran kontraproduktif terhadap rencana penyelesaian masalah-masalah Papua berlandaskan rasa aman masyarakat Papua. Semangat membangun berdasarkan pendekatan kesejahteraan, terkesan berjalan di tingkatan elit, tetapi tidak dilaksanakan secara efektif.
Berdasarkan fakta masa lalu, bahwa sebagian besar agenda pembangunan di Papua dinilai gagal, bukan hanya karena tidak dijalankannya kebijakan otonomi khusus di Papua, tetapi juga karena munculnya resistensi masyarakat setempat terhadap proses pembangunan tersebut. Masyarakat menolak penyelesaian masalah Papua berdasarkan paradigma Jakarta. Pendekatan kesejahteraan dibangun dengan terlebih dahulu memberikan rasa aman bagi masyarakat Papua. Rasa aman tersebut dimulai dengan mengurangi bahkan menghilangkan trauma masa lalu dan menghentikan seluruh aksi kekerasan baik penembakan tidak bertanggung jawab maupun reprsifitas aparat keamanan terhadap masyarakat Papua. Dengan munculnya rasa aman, diyakini seluruh agenda pembangunan di Papua dapat diterima dengan baik, tanpa adanya resistensi masyarakat.
Rasa aman bagi masyarakat Papua tidak hadir begitu saja tanpa menghilangkan beban dan trauma masa lalu. Sejak menjadi bagian dari NKRI, Provinsi Papua (Irian Jaya) memiliki beban sejarah terkait aksi-aksi kekerasan, khususnya yang dilakukan oleh pihak aparat keamanan masih tersimpan dalam memori kolektif masyarakat setempat.  Berbagai aksi kekerasan yang terjadi di Papua tidak pernah mendapatkan pengakuan berupa pengadilan militer bagi aparat yang melakukan tindakan-tindakan kekerasan tersebut. Salah satu agenda besar reformasi sektor keamanan, yakni reformasi peradilan militer dengan memberikan hukuman setimpal terhadap aparat yang terbukti melakukan tindakan-tindakan pelanggaran ham, ternyata tidak efektif dilaksanakan di Papua. Trauma dan beban sejarah masa lalu tersebut tidak pernah hilang, bahkan dipertegas dengan sejumlah aksi pelanggaran ham sampai dengan hari ini.
Memberikan rasa aman bagi masyarakat Papua, harus lebih diarahkan dengan menghargai keberadaan masyarakat tersebut sebagai warga negara yang memiliki hak dan kewajiban yang sama dengan semua warga negara lain di bumi pertiwi ini. Penghargaan itu dilakukan dengan terlebih dahulu mengidentifikasi beban sejarah dan trauma kolektif masyarakat setempat. Selanjutnya, mengadakan rekonsiliasi persaudaraan antara pemerintah, aparat dan masyarakat setempat. Proses rekonsiliasi dimulai dengan permintaan maaf melalui proses peradilan yang layak bagi para aparat keamanan yang terbukti melakukan tindakan melanggar ham terhadap masayarakat Papua. Hal tersebut akan dilihat sebagai bukti dan komitmen pemerintah terhadap  masyarakat Papua yang selama ini berada dalam kondisi tertekan akibat sejarah dan trauma kolektif.
Proses yang mendamaikan tersebut ditindaklajuti dengan menghilangkan stigma separatisme terhadap masyarakat Papua yang masih tertanam dalam benak pihak keamanan yang bertugas di Papua. Memberikan rasa aman bagi masyarakat di Papua tidak berarti hanya menjaga hak hidup, hak sosial, hak ekonomi, tetapi juga memberikan ruang bagi artikulasi dan  ekskpresi bagi masyarakat Papua yang selama ini diperlakukan secara tidak layak sebagai warga negara Indonesia. Rutinitas dan aktivitas masyarakat harus dipandang sebagai bagian dari dinamika kehidupan masyarakat setempat yang sama statusnya dengan aktifitas masyarakat di berbagai belahan negeri ini. Paradigma kesejahteraan dan penghargaan sebagai warga negara Indonesia harus dimiliki dan dilaksankan secara konsisten, khususnya oleh aparat keamanan di tanah Papua.
Pada akhirnya, seluruh upaya yang akan dilakukan oleh UP4B dapat menjadi jembatan bagi penyelesaian masyarakat Papua yang merindukan kedamaian dan ketentraman. Rasa aman bagi masyarakat Papua, bukan hanya pada persoalan ketiadaan ancaman, tetapi juga menghilangkan trauma kolektif yang selama ini menjadi beban bagi masyarakat setempat. Menjadikan Papua sebagai bagian dari NKRI harus dibuktikan dengan komitmen yang kuat dari Pemerintah Pusat terhadap penyelesaian berbagai masalah yang sudah mengakar sejak lama di bumi Cendrawasih. 
HW
Peneliti-Pacivis Universitas Indonesia Jakarta



TERPILIHNYA SANG JENDERAL


Terpilihnya Jenderal  (Purn) Endiarto Sutarto sebagai ketua Tim Analisis dan Advokasi KPK menimbulkan pertanyaan besar terkait hubungan sipil militer di tengah pilihan demokrasi bagi negara ini. Seperti yang diketahui, beberapa hari yang lalu, KPK membentuk Tim Analisis Advokasi  (TAA) KPK, yang diketuai mantan panglima TNI tersebut didampingi 9 anggota dari kelompok masyarakat sipil. Tugas yang diemban tim “dadakan” tersebut adalah mencounter upaya-upaya pelemahan peran KPK dalam upaya memberantas tindakan-tindakan korupsi di negeri ini. Spontan tugas yang diembang sang mantan panglima menimbulkan rekasi baik yang rpo dan kontra.
Jenderal (Purn) Endiarto Sutarto merupakan mantan perwira tinggi militer yang menduduki jabatan terakhir sebagai Panglima TNI sejak 2002, sebelum diserahterimakan kepada Marsekal Joko Suyanto pada tahun 2006. Kiprah sang jenderal semasa aktif tergolong sangat memuaskan. Setelah menyelesaikan pendidikan militer , alumnus Akabri angkatan 1972 tersebut mulai berkiprah sebagai. Jabatan terakhir sebagai panglima TNI di bawah kepemimpinan Presiden Abdurahman Wahid
Selama menjabat sebagai panglima TNI, Endiarto Sutarto berada dalam situasi Indonesia yang tergolong mencekam. Berbagai konflik sosial, seperti Ambon, Poso, Aceh dan Papua terjadi di era kepemimpinan beliau. Selian itu, era kepemimpinan  sang jenderal juga ditandai dengan kasus bom bali yang menyita perhatian dunia internasional sampai saat ini. Hal-hal tersebut kemudian menjadi sasaran tembak kelompok pembela hak asasi manusia, karena sang jenderal dinilai gagal dalam mencegah dan menyelesaikan berbagai konflik dan aksi-aksi terorisme di bumi pertiwi.
Setelah pensiun dari jabatan panglima TNI, kiprah sang jenderal tidak pernah dilepaskan dari persoalan kebangsaan. Salah satu kiprah yang dinilai positif, adalah penarikan diri sang jenderal dari jabatan komisaris utama PT. Pertamina pada tahun 2007. Alasan utamanya adalah ketidaksetujuan beliau terhadap rencana pemerintah menaikkan harga BBM, di tengah keadaan  masyarakat Indonesia yang masih terbelenggu kemiskinan. Tindakan tersebut kemudian diikuti dengan suara-suara kritis sang jenderal terhadap kepemimpinan rezim yang berkuasa sampai hari ini.
Kepemimpinan rezim yang berkuasa hari ini, dinilai oleh sang jenderal adalah rezim yang tidak memihak kepada rakyat Indonesia. Bahkan sang jenderal termasuk dalam kelompok purnawirawan yang cenderung bersikap kritis terhadap kinerja kepemimpinan pemeritahan sekarang, yang ironisnya juga berada di bawah kepemimpinan mantan purnawirawan TNI. Pandangan tersebut mengundang simpati kelompok-kelompok masyarakat sipil untuk menggandeng sang jenderal dalam berbagai kegiatan baik sosial maupun politik.
Sebelum terlibat dalam TAA KPK, keterlibatan sang jenderal juga terlihat dalam kasus cicak versus buaya, yang melibatkan dua orang pimpinan KPK Bibit Samad Riato dan Chandra M. Hamzah. Jend. (Purn) Endiarto Sutarto. Pada saat itu, muncul anggapan keberadaan sang jenderal untuk memback-up KPK. Bahkan, keberadaan sang jenderal dianggap mampu menarik dukungan dari kelompok militer untuk berdiri menghadapi  upaya pelemahan institusi pemberantasan korupsi tersebut.
 Hal ini sebenarnya merupakan bentuk inferior complex (Muna:2002), yakni keadaan rendah diri sipil terhadap militer yang memiliki sejarah dominasi yang kuat di negeri ini.  Kondisi tersebut berawal dari rasa ketidakmampuan sipil berhadapan dengan kelompok militer dalam menghadapi dan menyelesaikan persoalan-persoalan kebangsaan. Anggapan bahwa kalangan purnawirawan dapat memback-up institusi tertentu, merupakan ssalah satu bentuk inferior complex. Ketika sejumlah kalangan masyarakat sipil merangkul sang jenderal dalam barisan penyelamat KPK, baik ketika membela kriminalisasi para pimpinan KPK maupun dalam kelompok TAA, menunjukkan ketidakmampuan sipil untuk menghadapi dan mneyelesaikan persoalan bangsa secara mandiri.
Masih berpengaruhnya wibawa militer dan pengaruh yang ditanamkan oleh beberapa mantan perwira tinggi selama aktif di institsui militer, membuat kelompok sipil masih menempatkan kelompok militer, termasuk para purnawirawan sebagai pendukung utama dalam mencapai kepentingan-kepentingan tertentu.
            Pasca lobi  diplomat AS, kelompok purnawiran kembali menata dan memposisikan diri sebagai salah satu kekuatan politik yang masih sangat berpengaruh di negeri ini. Penilaian AS bukan mustahil dilihat dari besarnya pengaruh kekuatan militer, bukan hanya sebagai penjaga kedaulatan NKRI, melainkan juga sebagai kekuatan sosial politik yang bisa menentukan arah pembangunan bangsa ini. Melihat potensi tersebut, tidak mengehrankan jika berbagai kelompok sipil dan institusi pemerintahan berusaha merangkul kalangan tersebut untuk menjadi pendukung utama.
Kekuatan militer, melalui pengaruh para purnawirawan masih sangat kuat tertanam dalam dinamika masyarakat Indonesia. Satu hal yang perlu diperhatikan, sejauh pengaruh para purnawirawan tersebut masih mampu memobilisasi dukungan dari institusi militer, maka masa depan demokrasi Indonesia berada dalam bahaya, karena kontrol demokratik sipil terhadap militer akan tereduksi dengan hegemonitas kalangan purnawirawan.                                                                                                                                   HW-Peneliti Pacivis

MILITARY REFORM DOESN’T ALWAYS MEAN IT WOULD ADVANCE TO FRONTLINE


Several violence cases only just happened in this country. Starting from bomb explosion cases, whether in Cirebon, Solo; up to chain of hostilities in Papua. One thing that is interesting, there is a tendency to strengthen the role of the military. The trend can be seen from statements by President Susilo Bambang Yudhoyono and TNI Commander Admiral Agus Suhartono.

On the 66th anniversary of the TNI, President Susilo Bambang Yudhoyono called again on strengthening territorial commands in all parts of Indonesia. A reason behind that statement is each military command has intelligent function. It could be used to oversee the activities of the community, escepecially those categorized as potential terrorism and also to help the police prevent and suppress terrorism. Next on coping with terror military exercise-Police (27/10), Armed Forces Commander Admiral Agus Suhartono declared the military would improve early detection (early advice) in tackling terrorism in all parts of Indonesia. This appeal has some further consequences of the military reform,  that is still prolonged since 1998, as well as the strengthening of national defense based on Minimum Defense Strength (Minimum Essential Force / MEF).

The recommendation in accordance with Law No. 2 of 2002, TNI reform on national defense is to liquidate the territorial command structure in vicinities that are not prone to conflict, ranging from the smallest to the top of the structure. The structure consists of Babinsa, military command (milcom), district military command (Kodim), Resort Military Command (Korem), and Region Military Command (kodam). The recommendation is based on an evaluation of the new order era over the effectiveness of the milcom.

            Milcom was originally designed to empower all resources and potential that exists in an area to be used in the interest of national defense. However, on the New Order era, milcom was used to support the regime's political interests. Milcom used as a mobilizer of support at the time of election. Milcom was also used to oversee all community activities, especially to assess the threat potentials to national stability. Repressive approach to be one characteristic execution milcom function in the era of the new order.

            Post-New Order era, the TNI arranged internal regulatory reform. It produced such as Law. 2 of 2002 on National Defence and Law. 32 of 2004 on the TNI, and the Indonesia Defence White Paper in 2008. In these regulations, the mandated realignment of a number of milcom in various parts of Indonesia was implicit. However, its implementation is very difficult to accomplish. There are two main reasons.
           
            First, it still retained the doctrine of national defense, the defense system of the universe (sishanta). This doctrine assumes all components and national resources are used to maintain the sovereignty of the country. That makes milcom a "backbone" in the map and empower all components and resources in every region of this country. Second, the absence of a strong desire from the ranks of the army leadership to restructure the entire milcom. Milcom was still deemed necessary to secure the entire area of ​​Homeland from a variety of potential threats arising from within the community, including terrorism.

In the era of democratic reform with more open options such as now, the function can be run by the empowerment of local government. Within the framework of autonomy, local governments were able to map and empower both supporting components and reserve components, as well as all local resources to support the defense function. To cope with the threat of terror, the state government has a security tool, namely the police. Support should be given to the police to handle national security issues, as mandated by the constitution. TNI itself must support increased empowerment of civil capacity to perform the function of the defense area.

Milcom existence, was no longer held up to the village level (Babinsa). Territorial function, if need be maintained, moderately to the level of counties (Kodim). It is given the function of coordination and mobilization of all forces in the area of ​​organic, under the authority of regional military command (kodcam) and military resort command (Korem). The milcom’s existence tends to maintain the military status quo in the region, which has persisted since the implemented Wehrkreise system (zone of defense) in the time of the revolution.

Rejection of the top brass of the army, is inversely proportional to the reality in the region. Milcom existence in some areas turns out directly related to conflict, to ignite  unrest, and even involved in some acts of human rights violations against the community. Based on reports of Commision Of Human Rights (Komnas Ham) in 2010 - March 2011, there were 88 cases of human rights violations are indications, both involving personnel, staff, or territorial institutions in all parts of Indonesia.

Numerous human rights complaints including the seizure of land, forced demolition of some buildings, immoral acts, acts beatings, and even lead to death. In addition, according to Human Rights Watch report in 2008, the existence of territorial commands in various areas related to the presence of military business. Some milcom used to maintain a number of military businesses that had not liquidated or taken over by the Government as mandated by Government Regulation No. 23 of 2009 on Acquisition of Military Business Activities.

In order to establish minimum Defence Forces (MEF), the existence of the milcom need to be reassessed. The assumption is based on a two zone defense, which is the buffer zone (EEZ up to the enemy's territory) and the main defensive zone 2 (the territorial waters of Indonesia territory).The naval and air force become central actors there, and they are not easy to deal with. This is mainly done to make the strengthening of the resistance zone 3 (mainland territory of Indonesia), where the army through milcom has become a major actor of national defense.

In fact, the enemy military aggression will easily enter and destroy Indonesia's defense zone 3, if two zones are not reinforced on its leading edge. MEF tried to respond to this, by strengthening the power of both personnel and equipment on both the navy and air force. Reinforcement should be made to the detachment of the interconnected mengkara (denjaka) Navy and detachment bravo-90 (denbravo-90) Air Force, for not enduring on the strengthening of territorial structures, which tend to be ineffective. Territorial structures would have only run the administrative functions of coaching area, and not empowering the soldiers’ capacity of the frontline battles.

Both of these elite units should be viewed broadly as part of strengthening the two zone defense, including efforts to address terrorism. Plus a special detachment of 88, should have done is coordination among the elite unit who has the expertise on handling terror, rather than on strengthening the territorial structure. Moreover, the national defense budget had allocated some cash for the provision of substantial territorial function, namely 20.6 billion in 2012. Budget for it, would be more effective if used for other military needs which are very imperative, such as welfare of the personnel and the ability of the main tools of weapons systems (defense equipment).

Effectiveness of the territorial command is no longer relevant if applied as in the era of revolution. Reason of the "livelihood" has backed milcom for handling terror forcefully. It still requires more comprehensive study related to the use of territorial structure in the face of terrorism.


HW 
Writter is a research fellow at Center for Global Society Studies (Pacivis)


Thursday, October 27, 2011

MENANTI KONSISTENSI PENDEKATAN MILITER DI PAPUA


Papua kembali bergejolak dalam 2 minggu terakhir ini. Tiga aksi kekerasan utama yang mendapat perhatian publik baik dalam maupun luar negeri adalah penembakan terhadap para pekerja PT. Freeport yang dilakukan oleh sejumlah pihak tidak dikenal dan yang terjadi pada Rabu (19/10) di Abepura, Jayapura, terkait Konggres Rakyat Papua III (KGP). Terakhir, meninggalnya kapolsek Mulia, Kabupaten Puncak Jaya, AKP Dominggus Oktavianus Awes (24/10). 

Tulisan ini akan lebih terfokus pada perlakuan aparat terhadap pembubaran paksa para anggota pertemuan massal KGP III. Pembubaran paksa tersebut, mengakibatkan meninggalnya 6 orang peserta konggres dan sejumlah lainnya yang menderita luka-luka akibat menghidari rentetan tembakan dari aparat.

Pembubaran paksa yang dilakukan aparat keamanan terhadap pertemuan akbar tersebut, dilakukan dengan alasan aksi makar yang muncul dengan mendeklarasikan pembentukan Negara Federal Papua Barat di dalam kedaulatan NKRI. Hal tersebut dianggap tindakan makar yang berpotensi mengganggu stabilitas Papua pada khususnya dan Indonesia pada umumnya. Alasan inilah yang mendorong TNI untuk terlibat mempertahankan kedaulatan NKRI melawan setiap bentuk upaya dan tindakan makar, khususnya separatisme di wilayah Indonesia. Perlawanan terhadap separatism merupakan bagian dari Operasi Militer Selain Perang (OMSP) yang tertera dalam Undang-Undang nomor 34 tahun 2004 tentang TNI.

Namun, tindakan penembakan aparat TNI bersama polisi yang disinyalir membabi-buta di Lapangan Zakeus kemarin, menimbulkan pertanyaan besar terkait konsistensi pendekatan militer terhadap masalah-masalah di Papua. Beberapa bulan sebelumnya, ketika terjadi kerusuhan pasca aksi demonstrasi besar-besaran menuntut pertanggungjawaban pemerintah pusat terkait ketimpangan pembangunan di seluruh tanah Papua, Panglima TNI Agus Suhartono menyatakan tidak akan ada penambahan pasukan TNI ke Papua untuk membantu mengamankan situasi di Papua, khususnya di Jayapura dan sejumlah daerah konflik lainnya. Keberadaan sejumlah TNI pasukan organik di bawah koordinasi Kodam XVII/Cendrawasih dinilai sudah cukup. 

Pernyataan tersebut memiliki dua pengertian, yakni pertama, pendekatan represif militer yang dinilai keliru dan hanya akan menambah daftar panjang pelanggaran ham yang dilakukan aparat TNI di bumi Cendrawasih, dan kedua  inkonsistensi kebijakan di tingkatan elit dan pelaksana tugas di tingkatan lapangan.

Sejak Papua terintegrasi ke dalam pangkuan NKRI pada tahun 1969, persoalan ketimpangan pembangunan menjadi katalisator tuntutan pemisahan diri dari NKRI. Ironisnya, sejak dari awal pula, pendekatan represif pemerintah pusat menjadi instrumen utama dalam menanggapi persoalan tersebut. Kebijakan pembangunan diimbangi dengan represifitas aparat TNI di seluruh wilayah Papua. Kehadiran gerakan separatis melegitimasi kehadiran dan pendekatan represif militer di tanah Papua.  Hal tersebut membuat masyarakat Papua mengalami ketakutan.

Peristiwa demonstrasi besar-besaran di Jayapura dan kerusuhan pilkada di Puncak Jaya pada awal Agustus kemarin, dinilai sebagai era baru pendekatan pemerintah Pusat terhadap masayarakat Papua. Pernyataan Panglima TNI Jend. Agus Suhartono bahwa tidak akan ada penambahan jumlah pasukan TNI di Papua, dilihat sebagai “angin segar” terhadap karateristik militer di dua propinsi paling timur tersebut. Makna yang tersirat dari pernyataan tersebut, adalah kesadaran dari institusi militer terhadap cara yang digunakan selama ini guna merespon setiap bentuk ekspresi masyarakat Papua. Demonstrasi besar-besaran di Jayapura, merupakan bentuk aspirasi masyarakat Papua terhadap sejumlah persoalan di tanah Papua yang belum terselesaikan. Sedangkan, konflik pilkada di kabupaten Puncak Jaya, dinilai sebagai konflik internal yang cukup diselesaikan secara damai tanpa melibatkan aparat TNI dalam menyelesaikannya. Stigma separatis yang disematkan pada setiap bentuk ekspresi masayarakat Papua, mulai dieliminir seiring dengan pernyataan panglima tersebut.

Dalam ranah demokrasi seperti sekarang, penyelesaian konflik atau pengamanan berbagai aksi demonstrasi menjadi tugas dan wewenang polisi, sebagai alat negara yang bertanggungjawab terhadap keamanan dalam negeri, secar professional dan proporsional. Sedangkan peran TNI diperlukan, ketika penangangan keamanan dalam negeri tidak mampu lagi dilaksanakan oleh pihak kepolisian, dengan catatan melalui persetujuan Presiden sesuai undang-undang yang berlaku. 

Namun, peristiwa pembubaran paksa yang terjadi di Abepura, Jayapura pada Rabu kemarin, merubah penilaian di atas. KGP III merupakan lanjutan dari dua konggres sebelumnya, yakni Konggres Rakyat Papua I pada  Desember tahun 1961 dan Konggres Rakyat Papua II pada Mei tahun 2000. Agenda KGP III adalah pembentukan negara Papua merdeka dalam bentuk federal. Hal tersebut merupakan upaya makar dan bertentangan dengan UUD 1945. Hal tersebut merupakan ancaman terhadap kedaulatan NKRI, sehingga TNI wajib menindak upaya makar tersebut. Pada tahap ini, kehadiran TNI di lapangan Zakheus tepat. Namun, menjadi sangat tidak tepat, ketika instrumen pembubaran konggres tersebut adalah penembakan secara langsung kepada para peserta konggres. 

Penembakan tersebut menunjukkan ketidaksesuaian antara instruksi pimpinan dan pelaksanaan di lapangan. Pernyataan panglima TNI terkait pendekatan militer yang berusaha dikurangi ternyata tidak dilaksanakan secara efektif. Terdapat indikasi pengabaian instruksi pimpinan. Pengerahan pasukan TNI tanpa adanya perintah Presiden sesuai ketetapan undang-undang. Apalagi penembakan secara sporadis terhadap para peserta konggres merupakan bentuk penyimpangan dari ketetapan institusi TNI. Konggres tersebut merupakan upaya makar, namun cara-cara yang dipakai untuk membubarkan konggres tersebut melalui penembakan sporadis yang mengakibatkan meninggalnya sejumlah orang dinilai menyimpang dari instruksi awal dan ketetapan regulasi nasional.

Berdasarkan Peraturan Presiden nomor 52 tahun 1959 tentang Penetapan Keadaan Bahaya, pengerahan pasukan TNI hanya didasarkan pada keadaan darurat, baik darurat sipil,  darurat militer, maupun darurat perang. Papua sendiri tidak pernah dideklarasikan sebagai wilayah yang termasuk dalam kategorisasi keadaan bahaya. Tanpa adanya prakondisi-prakondisi dan persejutuan presiden, pengerahan pasukan dan penembakan terhadap masyarakat sipil merupakan bentuk pelanggaran sesuai ketetapan undang-undang. 

Berdasarkan cara-cara kekerasan yang masih  dipakai aparat, khususnya TNI di Papua, pertanyaan yang selalu akan muncul adalah sampai berapa lama, pendekatan represif terhadap masyarakat di Papua dipertahankan, di tengah semangat perubahan institusi TNI di era reformasi.

Hipolitus Wangge
Peneliti Pacivis-Universitas Indonesia 

Dimuat di Harian Kompas, 26 Oktober 2011

Tuesday, October 18, 2011

Old Generals Never Die, They Just Fade Away

In early August, a number of generals grouped under the Association of Retired Army Officers (PPAD) visited the office of one of the largest political parties in the country. According to a party official, the meeting was driven by a common vision of nationhood between the two.

In this country, retired generals are deemed to be influential, despite the political reform that sent the military back to its barracks. Based on this, it is natural that political parties are interested in seeking support from military circles.

There are three consequences that are worth noticing in connection with civil-military relations in the post-reform era. First, political parties still need the military. Second, the military will still approach political parties to promote their interests. Third, there is a common goal to build professional armed forces through the realization of a Minimum Essential Force (MEF) plan.

Political parties cannot disregard the military as key backer of their interests at the national level. Some hard-line mass organizations have even openly requested support for their political agenda from some retirees. This reflects an inferiority complex, or to be precise, a civilian inferiority complex, vis-à-vis the military, which has had a long history of dominance in this country.

Other indicators of this inferiority complex are that retired military officers hold various strategic positions in the government, state institutions and companies, the private sector, diplomatic missions and so forth.

Another indicator is the Corruption Eradication Commission (KPK), and the fact that since its inception in 2003, it has never investigated graft allegations within the Indonesian Military (TNI) and the Defense Ministry.

The question is whether corruption is really absent in these two institutions, or whether the commission is afraid of implicating them in graft cases. The defense budget is among the largest expenditures, but these two institutions appear to remain off the KPK’s radar.

Common concern over poor leadership in the country was said to have been the issue that instigated the recent meeting between the retired army generals and party leaders.

The failure of civilian leadership has often paved the way for military involvement in the sphere of civil society.

In Indonesia, this has been shown through the events of Oct. 17, 1952, when Army soldiers surrounded the Presidential Palace and pointed their tank turrets in the direction of the building in a show of protest against civilian interference in military affairs.

Today, a number of retired generals have joined civil society groups in voicing their concerns about the various problems facing the nation. Regular weekly meetings have taken place in Jakarta, with the involvement of retired generals, to identify and seek solutions to national problems. Disputes among political parties, rampant corruption and the behavior of politicians and elites that is not considered reflective of national identity, were among the issues that retired officers indicated were the stiffest challenges facing the country.

The retired officers need to approach political parties to promote the need for change in this country. However, these meetings should be seen as the military’s intention to regain a strategic position post the elections of 2014.

The frequent public gatherings of retired officers indicate their desire to continue their involvement in determining the direction of Indonesia’s nation building process.

Meanwhile, the goal of national defense in the coming 15 years is to achieve a minimum shape of defense forces by 2024. In that year, the TNI is expected to become a professional force capable of dealing with military threats from other countries. The MEF plan is based on the available budget and the sufficiency of the defense system.

In the 2012 draft state budget, the government proposed Rp 64.4 trillion (US$7.23 billion) for defense, a 35.7 percent increase from the 2011 defense budget. In the next five years, to strengthen the nation’s defenses, the budget allocation for the procurement of primary defense equipment (Alutsista) will climb to about Rp 150 trillion.

Instead of adding to the deafening political clamor, the retired officers should contribute to the discussion about the development of the future national defense system.

As former deputy Army chief Lt. Gen. (ret.) Kiki Syahnakri says, TNI retired officers should help reconstruct the national defense doctrine, as challenges and threats to the nation have changed compared with those in the past.

In the era of democracy, any intention on the part of the military to become involved in the civil sphere will only disrupt the consolidation of democracy in Indonesia, which has been ongoing for 13 years.

The retired generals may claim that their moves are legitimate because they are no longer active. But the spirit of the corps within the military is known to be solid, so the initiative of the retirees may win sympathy and support from this institution.

The involvement of the military in civilian affairs can and will impede the TNI’s bid to complete the modernization of the national defense system, which is lagging behind our neighbors. If that happens, the MEF plan will be an illusion in 2024.

The modernization of the military has become imperative for this country. The involvement of elements of the military in civilian affairs will only weaken professionalism, which is also heralded as the new spirit of the TNI in its attempts to be formidable and respected.

Published on The Jakarta Post Newspaper, October 19 2011



Hipolitus Yolisandry Ringgi Wangge

The writer is a research fellow at the Center for Global Civil Society Studies (Pacivis) at the University of Indonesia.

Wednesday, September 28, 2011

UU INTELIJEN, BUKAN INTERNAL SECURITY ACT (ISA)


Meledaknya bom di Solo pada hari Minggu, 25 September 2011 di Gereja Bethel Injil Sepenuh dan terror bom di Gereja Maranata Ambon, menampar kinerja lembaga intilijen Indonesia yang dinilai lambat dan tidak mampu memberikan pendeteksian dan peringatan dini (early warning). Kendala utama yang disampaikan kepala BIN adalah tidak tersedianya perangkat hukum bagi aparat intilijen untuk mendeteksi sedini mungkin informasi yang bisa dijadikan alat bukti sebelum dilakukan penindakan. 

Pada tanggal 16 September 2011, Perdana Menteri Malaysia Datuk Najib abdul Razak mengumunkan pencabutan dua undang-undang kontroversial, yakni Undang-Undang Keamanan dalam Negeri (Internal Security Act/ISA) dan Undang-Undang Keadaan Darurat (Emergency Ordinace). 

Pasca pengumuman tersebut, khususnya pencabutan ISA, muncul beragam tanggapan masyarakat Malaysia. Kelompok pertama mengganggap dicabutnya undang-undang tersebut akan meningkatkan kegiatan dan ancaman teroris serta berbagai tindakan kriminal di Malaysia. Hal tersebut mengingat keberadaan ISA mampu mencegah dan meredam tindak-tindakan anarkis dan perkembangan kelompok teroris di Malaysia. Kelompok kedua, melihat langkah politik yang diambil PM Abdul Razak tidak lebih dari sekedar mencari dukungan  menjelang pemilu Malaysia pada tahun 2013. Sedangkan, salah satu warisan konflik yang belum diselesaikan yakni  persoalan diskirimasi antar etnis, khususnya Cina dan India, tidak menjadi salah satu substansi utama dari rencana pencabutan ISA tersebut.

Namun, bagi kelompok ketiga, pengumuman tersebut merupakan momentum perubahan Malaysia menuju negara yang demokratis dan menghargai hak-hak asasi manusia. Betapa tidak, sejak diberlakukan pertama kali pada tahun 1960, sebagian besar masyarakat Malaysia yang kritis dan berhaluan oposisi dipenjarakan tanpa proses peradilan. Penyadapan dan penangkapan paksa membuat masyarakat Malaysia berada dalam suasana mencekam dan penuh ketakutan. Keadaan inilah yang mendesak Perdana Menteri Abdul Razak melakukan koreksi berupa pencabutan undang-undang tersebut.

Pada awalnya ISA merupakan produk undang-undang kolonial yang dihasilkan Inggris pada tahun 1947. Tujuan pemberlakuan undang-undang tersebut adalah memberangus perkembangan Partai Komunis Malaysia dan mengawasi dan menindak tegas jaringan dan pergerakan kelompok-kelompok radikal yang berpotensi melakukan tindakan teror terhadap masyarakat Malaysia.

Seiring perjalanan waktu, undang-undang tersebut digunakan oleh pemerintah Malaysia untuk mengekang kebebasan sipil dan menghentikan kelompok-kelompok oposisi yang kerap kali mengganggu kinerja pemerintah. Salah satu bentuk penyelewengan utama pemerintahan Malaysia sebelumnya adalah pengawasan ketat, penangkapan, dan penahanan tanpa proses peradilan yang dijalankan selama lebih dari 50 tahun terhadap lawan-lawan politik. Namun, harus diingat fungsi utama ISA tetap dijalankan, yakni pengawasan ketat terhadap kelompok-kelompok radikal yang berkeinginan mengganggu stabilitas domestik. Pasca peledakan di gedung kembar World Trade Center di New York pada 11 September 2001 dan serangkaian bom meledak di Indonesia dalam kurun waktu 2000 sampai 2011, Malaysia justru tidak mengalami satu pun peledakan berskala masif. Hal tersebut menjadi bukti efektifitas penerapan ISA di Malaysia.

Sedangkan di Singapura sendiri, pemerintahan setempat masih menilai perlunya undang-undang kemanan dalam negeri guna mencegah meningkatnya tindakan-tindakan kriminal, kekerasan berbau SARA, dan tindakan-tindakan subversif yang dapat mengganggu stabilitas pemerintahan. Namun, seperti disampaikan Menteri Dalam Negeri Singapura, Teo Chee Hean, pada masa mendatang perlu dikaji kembali pentingnya keberadaan undang-undang keamanan dalam negeri Singapura di tengah semangat perubahan dunia dewasa ini.

Bagi Indonesia sendiri, semangat perubahan politik yang digaungkan oleh perdana menteri Tun Abdul Razak membangkitkan “kewaspadaan nasional”. Seperti yang diketahui, salah satu produk-produk undang-undang yang sebentar lagi akan disahkan adalah undang-undang intilijen negara. Sejauh ini, rancangan undang-undang tersebut belum disahkan karena tekanan masyarakat sipil, khususnya kelompok pro demokrasi dan hak-hak asasi manusia. Isu utama yang menjadi pokok permasalahan adalah kewenangan yang diberikan kepada  aktor-aktor intilijen untuk menangkap dan menahan tanpa izin dan proses peradilan. Tindakan-tindakan tersebut bertentangan dengan nilai-nilai hak asasi manusia, karena tindakan-tindakan tersebut akan menimbulkan ketakutan di masyarakat dan mencabut kebebasan masyarakat dalam menyuarakan pendapatnya. Selain itu, tindakan-tindakan tersebut rawan untuk diselewengakan oleh para penguasa untuk kepentingan tertentu. RUU intilijen dikhawatirkan akan mengembalikan situasi Indonesia kembali ke era orde baru. 

Pada era orde baru, pemerintah pada saat itu sangat menekankan pentingnnya stabilitas nasional guna mendukung pembangunan. Undang-undang Subeversi tahun 1963 menjadi cara paling efektif untuk memberangus kebebasan sipil dan memperkuat posisi pemerintah sebagai pemegang kekuasaan tertinggi yang memiliki logika otoriterianisme. Namun, pada tahun 1998, seiring dengan gelombang reformasi, undang-undang tersebut dicabut.

Berdasarkan gelombang perubahan yang menjadi trandmark masyarakat dunia dewasa ini, dapat diprediksi pemerintah belum akan mengesahkan RUU intilijen. Pengalaman masyarakat Malaysia selama 5 dekade belakangan ini, dibatasi bahkan dihilangkan hak-hak sipilnya akan menjadi peringatan dini (early warning) bagi pemerintah Indonesia yang sebelumnya pernah mengalami situasi serupa pada era orde baru. Di tengah semangat keterbukaan dan kebebasan sipil, munculnya kecenderungan pembatasan hak-hak sipil akan mengundang resistensi dan antipati terhadap rezim yang berkuasa.

Namun yang harus diingat bahwa kebutuhan atas tercapainya kemanan nasional  (national security) juga menjadi perhatian serius bagi bangsa ini. Malaysia sendiri tidak hanya mencabut ISA, namun menggantinya dengan produk undang-undang yang disesuaikan dengan nilai-nilai demokratis, hak-hak asasi manusia, dan keamanan nasional. Ketakutan munculnya gerakan-gerakan fundamentalis agama yang berujung pada aksi-aksi terorisme, aksi-aksi anarkis dan kejahatan terorganisir membuat pemerintah Malaysia sadar akan pentingnya harmonisasi kepentingan masyarakat sipil dan kepentingan nasional. Indonesia juga patut menyadari ha-hal tersebut.

Peledakan bom di Solo dan ancaman-ancaman teror di Ambon menunjukkan dibutuhkan perangkat hukum yang bisa mendeteksi dini dan memberikan penanganan yang professional dan proporsional. Adanya upaya kelompok-kelompok tertentu untuk mengembalikan kondisi bangsa ini seperti pada era transisi, dimana banyak terjadi konflik SARA, membuat pemerintah perlu mencari format kebijakan yang mampu mencegah dan menangani gelaja-gejala perpecahan bangsa ini.  

Negara merupakan aktor utama yang memiliki kewenangan sesuai konstitusi untuk melakukan tindak kekerasan. Intilijen merupakan salah satu alat negara yang dipakai untuk menjalankan kewenangan tersebut. Intilijen merupakan lembaga di bawah eksekutif yang bertugas menjalankan fungsi pendeteksian dan penindakan dini sesuai koridor dan pengawasan lembaga legislatif, yudikatif dan kelompok masyarakat sipil. Intilijen merupakan alat negara yang sama kedudukannya dengan kepolisian dan TNI di negara ini yang berfungsi memberikan rasa aman dan stabilitas keamanan dalam negeri. Oleh karena itu, jika kepolisian dan TNI sudah memiliki undang-undang tersendiri, maka sudah sepantasnya initilijen juga harus memiliki aturan hukum yang melegitimasi peran dan fungsi alat negara tersebut.

Oleh karena itu, RUU Intilijen dapat menjadi salah satu solusi dengan catatan, perlunya mengharmonisasikan nilai-nilai demokratis dan hak asasi manusia dengan keamanan nasional. Selain itu, aktor-aktor intilijen juga harus menjaga integritas sebagai pengabdi bangsa dan negara sehingga dalam melaksanakan tugas tidak melakukan tindakan-tindakan penyelewengan. Kewenangan yang diberikan kepada aparat intilijen harus diamalkan berdasarkan amanat konstitusi negara ini.

Mengharmoniskan kepentingan masyarakat sipil dan kepentingan nasional merupakan kunci dalam pembuatan berbagai produk undang-undang di era reformasi seperti sekarang. Kesepakatan antara DPR dan Pemerintah terkait pengesahan RUU intilijen merupakan langkah positif, setelah dilakukan penyesuaian terkait kewenangan-kewenangan dari lembaga intilijen. 

Kejadian di Solo dan Ambon menjadi cermin terkait pentingnya perangkat hukum yang menjadi dasar untuk melegitimasi tugas dan peran lembaga intilijen untuk memberikan rasa aman dan tenteram bagi seluruh masyarakat Indonesia.

Hipolitus Wangge
Peneliti Pacivis-Universitas Indonesia, Jakarta

Dimuat di Harian Jawa Pos, 28 September 2011

Wednesday, September 21, 2011

MAKNA PERTEMUAN PARA JENDRAL

 
         







           
            
               Pada awal bulan Agustus lalu, salah satu media nasional memuat berita terkait kunjungan para purnawirawan TNI-AD yang tergabung dalam Persatuan Purnawirawan Angkatan Darat (PPAD) ke kantor salah satu partai terbesar di negeri ini. Menurut pernyataan salah satu petinggi partai tersebut, kunjungan tersebut didorong oleh kesamaan visi kebangsaan yang berlandaskan nasionalisme. 

Pasca lobi  diplomat AS, kelompok purnawiran kembali menata dan memposisikan diri sebagai salah satu kekuatan politik yang masih sangat berpengaruh di negeri ini. Berdasarkan potensi tersebut, maka sangat wajar jika partai-partai politik tertarik untuk mendekati kelompok potensial dari kalangan militer tersebut. 

Terdapat  beberapa hal penting yang patut disimak. Pertama, partai-partai politik masih membutuhkan pihak militer. Kedua, lobi militer kepada partai-partai politik. Ketiga membangun profesionalisme militer menuju pambangunan strategi pertahanan minimal (minimum essential force) .

Partai-partai politik masih merasa dukungan pihak militer sebagai kunci keberhasilan agenda partai tersebut di tingkat nasional. Bahkan beberapa organisasi masyarakat radikal meminta dukungan sebagian purnawirawan untuk mendukung agenda politik tertentu. Hal ini sebenarnya merupakan bentuk inferior complex (Muna:2002), yakni keadaan rendah diri sipil terhadap militer yang memiliki sejarah dominasi yang kuat di negeri ini.  Indikator lain dari inferior complex adalah masih ditempatkannya para purnawirawan dalam jabatan-jabatan strategis, baik sipil maupun pemerintah, seperti komisaris bank-bank swasta, kepala bidang penelitian, duta besar dan berbagai posisi strategis lainnya. Hal tersebut menandakan masih berpengaruhnya wibawa militer untuk mengamankan kepentingan-kepentingan tertentu para pemimpin sipil di negeri ini. Indikator selanjutnya adalah korupsi di tubuh militer. Selama  KPK berdiri, belum pernah muncul satu kasus korupsi  yang terjadi di Markas Besar TNI dan Kementrian Pertahanan RI. Pertanyaannya adalah apakah benar kedua lembaga tersebut tidak pernah menyelewengkan penggunaan dana pertahanan nasional ataukah KPK sendiri yang tidak berani untuk mengusut indikasi korupsi di kedua lembaga tersebut. Alasan kedua dinilai menjadi alasan terbesar mengapa sampai hari ini kedua lembaga tersebut belum pernah tersentuh atau masuk dalam radar investigasi KPK.

Pertemuan para purnawirawan dengan para pemimpin partai dalam beberapa minggu belakangan ini didasarkan pada penilaian kegagalan kepemimpinan di Indonesia saat ini.  Kegagalan sipil menjadi pintu masuk bagi keterlibatan militer dalam ranah masyarakat sipil (Honowitz: 1962). Peristiwa 17 Oktober 1952 menjadi cikal bakal peranan politik militer dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Beberapa mantan perwira merasa kecewa dengan kepemimpinan yang berkuasa saat ini. Padahal, pemerintahan sekarang berada di bawah kepemimpinan mantan perwira tinggi TNI. 

Beberapa kalangan purnawirawan bergabung dengan kelompok-kelompok masyarakat sipil untuk menyuarakan berbagai persoalan bangsa dewasa ini. Berbagai pertemuan rutin mingguan  dilakukan di Jakarta dengan melibatkan para purnawirawan untuk membedah dan mencari solusi permasalahan bangsa ini. Sebagian besar purnawirawan  yang tergabung dalam PPAD maupun dalam berbagai kelompok masyarakat sipil menyuarakan hal yang sama yakni kegagalan rezim berkuasa, sehingga perlu dikoreksi. Militer Indonesia merupakan contoh militer yang tidak hanya ditempatkan sebagai“pemadam kebakaran” (Finer:1967). Perselisihan diantara berbagai partai politik, korupsi yang merajalela, dan kelakuan para politisi dan elit yang tidak mencerminkan jati diri bangsa, mendorong pihak militer terpanggil untuk menyelesaikan permasalahan-permasalahan tersebut. 

Oleh karena itu, para purnawirawan perlu mendekati partai-partai politik tertentu untuk mendesak perlunya perubahan di negeri ini. Namun, pertemuan-pertemuan tersebut perlu dilihat sebagai intensi politik pihak militer untuk mendapatkan posisi strategis pasca transisi pemerintahan 2014. Tujuan utama lobi politik 2014 AS adalah menempatkan “teman lama” di jajaran puncak pemerintahan negeri ini, atau setidaknya untuk menjaga kepentingan AS di Indonesia.

Pertemuan para purnawirawan tidak hanya terhadap satu partai poltik atau satu kelompok masyarakat, tetapi menyebar ke hampir semua partai politik nasional dan kelompok-kelompok masyarakat sosial. Hal tersebut mengindikasikan keinginan para purnawirawan untuk tidak ditinggalkan oleh kelompok sipil yang akan berkuasa pada tahun 2014.  Selain itu,konsolidasi militer-sipil menandakkan pihak militer masih berkeinginan untuk terus terlibat dalam menentukan arah pembangunan bangsa ini. 
Pembangunan postur pertahanan TNI dalam 15 tahun kedepan adalah mencapai kekuatan pertahanan minimal (Minimum Essential Forces/MEF) pada tahun 2024. Pada tahun  tersebut, TNI diharapkan menjadi kekuatan profesional yang mampu berhadapan dengan kekuatan militer negara lain. MEF didasarkan pada ketersediaan anggaran dan pembangunan kekuatan alat utama sistem pertahanan yang memadai. Dalam RAPBN 2012, anggaran pertahanan naik 35, 7 persen dari tahun sebelumnya. Kementrian pertahanan mendapatkan anggaran 64, 4 triliun. 

Kenaikan tersebut merupakan momentum yang tepat dalam rangka penguatan sistem pertahanan Indonesia menuju rencana besar MEF 2024. Berdasarkan perencanaan besar tersebut, seharusnya para purnawirawan dilibatkan untuk memikirkan konsep pembangunan pertahanan nasional Indonesia pada masa yang akan datang. Pernyatan Mayjen (Purn) Kiki Syahnakri patut disimak. Menurut beliau pembangunan kekuatan TNI ke depan, harus ditekankan pada pembaharuan seluruh doktrin pertahanan nasional yang sudah tidak sesuai lagi dengan tantangan dan potensi ancaman dewasa ini. Berdasarkan pernyataan tersebut, alangkah lebih bijak jika para purnawirawan dan perwira aktif lebih berkosentrasi pada pembangunan postur pertahanan TNI  pada masa yang akan datang. 

Keterlibatan militer dalam ranah sipil di era demokrasi justru akan menganggu konsolidasi demokrasi di Indonesia yang baru berjalan 13 tahun. Walaupun hanya sebagai purnawirawan, namun semangat korps militer mampu menarik simpati dan dukungan institusi militer untuk juga terlibat dalam urusan sosial politik masyarakat Indonesia, seperti yang terjadi pada era orde baru. Masih terbuka kemungkinan penggunaan jaringan militer untuk mendulang suara pada pemilu mendatan.

Keterlibatan institusi militer dalam ranah sipil, dapat berakibat menurunnya kemampuan tempur militer Indonesia di tengah modernisasi militer negara-negara lain di sekitar kita. Keterlibatan komponen-komponen militer dalam urusan-urusan sipil, hanya akan memperlemah semangat profesionalisme  menuju kekuatan militer Indonesia yang tangguh dan disegani..

Oleh
Hipolitus Wangge
Peneliti  Global Civil Society Studies (Pacivis) Universitas Indonesia.

Dimuat di Harian Kompas, 21 September 2011


Monday, September 19, 2011

INDONESIA DAN PEMBANGUNAN GLOBAL

Oleh: Sri Mulyani Indrawati
Direktur Pelaksana Bank Dunia dan Mantan Menteri Keuangan Indonesia
Pemulihan pasca krisis ekonomi global menyisakan kerapuhan dan ketidakpastian, yang diakibatkan oleh harga bahan bakar dan pangan yang tinggi, pengangguran, dan ketidakpastian utang di seluruh wilayah Eropa dan Amerika yang termasuka dalam awan gelap tersebut.
Sebagai anggota-anggota kunci dari G-20, baik Australia maupun Indonesia paham peran dari forum kerjasama tersebut, dan kerjasama multilateral pada umumnya, dalam menghadapi sejumlah tantangan.
Sebelumnya kita seringkali melupakan bahwa ekonomi global telah memiliki kekuatan baru, mengabaikan fakta bahwa pasar-pasar negara berkembang telah menjadi kekuatan krusial dalam panggung global. Pemaparan Prospek Ekonomi Global Bank Dunia tahun 2011, sebagai contoh, memproyeksikan rata-rata pertumbuhan ekonomi global pada tahun ini adalah 3,3% dan 3,6 % pada tahun 2012. Sebaliknya negara-negara berkembang dan miskin justru meningkat, kurang lebih 6 % atau lebih setiap tahun. Tren ini akan berlanjut.
Bagi forum G20 sendiri, perubahan mendasar dari keterlibatan banyak kekuatan ekonomi global dewasa ini akan memberikan baik kesempatan-kesempatan maupun tantangan-tantangan. Secara khusus, yang menjadi penekanan, bahwa fokus G20 pada pertumbuhan pro-miskin melalui investasi infrastruktur yang berkualitas, pendanaan yang lebih luas dan pembangunan keamanan pangan, sehingga bisa berkesinambungan satu dengan yang lainnya.
Investasi infrastruktur yang berkualita akan memberikan dampak yang menjanjikan  terkait hasil-hasil pembangunan dan pertumbuhan. Namun , bagi sebagian besar negara berkembang, pembiayaan terhadap investasi infrastruktur tidaklah cukup.  Berdasarkan pengamatan Bank Dunia, investasi dan pemeliharaan infrastruktur dewasa ini yang diperlukan di negara-negara berkembang mencapai lebih dari 900 juta USD per tahun, tetapi pembiayaan infrastrutur sekarang tidak hanya pada tingkatan tersebut.
Perluasan pembiayaan merupakan prioritas lainnya dari G20, seperti yang diketahui bersama hampir setengah dari populasi penduduk dunia tidak memiliki akses terhadap kredit, rekening tabungan atau jasa pelayanan pembiayaan lainnya. Peningkatan akses terhadap inovasi, pembiayaan berbunga rendah  menjadi model tunggal yang dijalankan  sehingga menjadi upaya bersama, dan Bank Dunia sedang membangun jasa pelayanan seperti kantor-kantor cabang bank dan penggunaan telepon  di wilayah pedalaman.
Tantangan ketiga adalah keamanan pangan. Produksi pertanian rendah dan harga pangan global mencapai titik tertingginya. Dikombinasikan dengan perubahan berkelanjutan, penduduk miskin di negara-negara berkembang berada pada posisi yang sangat beresiko. Konsekuensinya,para menteri pertanian G20 mendorong dibentuknya paket penyelamatan yang sedang dipertimbangkan oleh para pemimpin G20 pada pertemuan bulan November 2011 di Cannes. Salah satu ukuran antara lain dukungan peningkatan transparansi persediaan stok pangan dan produksi, yang akan membantu mengurangi ketidakpastiaan di pasar dan mampu menyediakan stok yang lebih baik sesuai permintaan. G20 juga menyetujui pengecualian terhadap pengiriman bantuan pangan kemanusiaan yang terkena larangan ekspor, sehingga dapat mengurangi tingkat kelaparan penduduk dunia pada saat krisis akibat hambatan-hambatan perdagangan.
Pada saat bersamaan, G20 juga sedang mendorong perluasan penggunaan instrument-instrumen berdasarkan nilai pasar yang membantu mengatur fluktuasi harga pangan. Salah satu institusi internal Bank Dunia, Kerjasama Keuangan Internasional, telah meluncurkan prakarsa baru untuk membantu melindungi dampak pergeseran harga untuk para produsen (petani) dan konsumen di negara-negara berkembang.
Tantangan paling krusial dalam mengatasi hal diatas dalam jangka waktu panjang adalah meningkatkan dan mendukung produktivitas pertanian, yang mensyaratkan investasi yang besar di bidang pertanian. Berkaitan dengan hal itu, Bank Dunia telah meningkatkan pembiayaan di sektor tersebut.
Program Pertanian Global dan Keamanan Pangan, yang didesain oleh Bank Dunia sesuai rekomendasi forum G20, juga ditujukkan untuk mendukung rencana –rencana keamanan pangan dan membangun pertanian berskala kecil. Program tersebut telah mengalokasikan 481 juta USD ke 12 negara.
Indonesia sedang bekerjasama dengan negara-negara anggota G20, untuk menghadapi perkembangan ketiga tantangan  diatas, dan juga sangat berpoteensi untuk menyiapkan forum strategis internasional, untuk memajukan kepentingan-kepentingan nasional sebelumnya dan juga mempunyai  tanggungjwab global.
Tetapi seperti yang diketahui telah terjadi pergeseran ekonomi global, sehingga perlu melakukan sejumlah tindakan berdasarkan tata kelola global. Arsitektur keuangan yang muncul di Asia yang sangat signifikan sekarang dibentuk oleh ASEAN dan, sebagai negara dengan ekonomi terbesar di Asia Tenggara, Indonesia adalah suara dari organisasi tersebut (ASEAN) di forum G20.
Banyak cara yang dapat dilakukan Indonesia untuk berkontribusi terhadap perkembangan konsensus multilateral di G20. Sebagai negara yang bertahan dari krisis ekonomi dan politik yang dalam, pengalaman tersebut dapat dijadikan pembelajaran yang bisa dibagi kepada negara-negara lain. Negara ini burusaha dan bekerja keras untuk kembali menjadi negara besar, lebih baik dan lebih ulet setelah krisis keuangan Asia, pembaharuan ekonomi serta reformasi politik diimplementasikan untuk mengurangi kerentanan dan memperkuat sistem keuangan nagara tersebut.
Indonesia sedang belajar dari para ahli dan berkolaborasi seiring dengan partisipasinya di forum global, namun hal tersebut harus dikembangkan dalam bentuk kebijakan dan solusi-solusi pada masa yang akan datang melalui G20. Perspektif Indonesia sangat penting ketika ekonomi negara-negara berkembang menjadi kunci pasca pemulihan krisis ekonomi global dan perjuangan melawan kemiskinan.[1]

Jakarta, 19 September 2011.


[1] Artikel asli berjudul “ Indonesia’s and Global Development”. Lebih lanjut baca http://www.eastasiaforum.org/2011/09/18/indonesia-s-and-global-development/