Meledaknya
bom di Solo pada hari Minggu, 25 September 2011 di Gereja Bethel Injil Sepenuh
dan terror bom di Gereja Maranata Ambon, menampar kinerja lembaga intilijen
Indonesia yang dinilai lambat dan tidak mampu memberikan pendeteksian dan
peringatan dini (early warning).
Kendala utama yang disampaikan kepala BIN adalah tidak tersedianya perangkat
hukum bagi aparat intilijen untuk mendeteksi sedini mungkin informasi yang bisa
dijadikan alat bukti sebelum dilakukan penindakan.
Pada
tanggal 16 September 2011, Perdana Menteri Malaysia Datuk Najib abdul Razak
mengumunkan pencabutan dua undang-undang kontroversial, yakni Undang-Undang
Keamanan dalam Negeri (Internal Security
Act/ISA) dan Undang-Undang Keadaan Darurat (Emergency Ordinace).
Pasca
pengumuman tersebut, khususnya pencabutan ISA, muncul beragam tanggapan
masyarakat Malaysia.
Kelompok pertama mengganggap dicabutnya undang-undang tersebut akan
meningkatkan kegiatan dan ancaman teroris serta berbagai tindakan kriminal di
Malaysia. Hal tersebut mengingat keberadaan ISA mampu mencegah dan meredam
tindak-tindakan anarkis dan perkembangan kelompok teroris di Malaysia. Kelompok kedua, melihat langkah politik yang diambil PM Abdul Razak tidak lebih dari sekedar mencari dukungan menjelang pemilu Malaysia pada tahun 2013. Sedangkan, salah satu warisan konflik yang belum diselesaikan yakni persoalan diskirimasi antar etnis, khususnya Cina dan India, tidak menjadi salah satu substansi utama dari rencana pencabutan ISA tersebut.
Namun,
bagi kelompok ketiga, pengumuman tersebut merupakan momentum perubahan Malaysia menuju
negara yang demokratis dan menghargai hak-hak asasi manusia. Betapa tidak,
sejak diberlakukan pertama kali pada tahun 1960, sebagian besar masyarakat Malaysia yang
kritis dan berhaluan oposisi dipenjarakan tanpa proses peradilan. Penyadapan
dan penangkapan paksa membuat masyarakat Malaysia berada dalam suasana
mencekam dan penuh ketakutan. Keadaan inilah yang mendesak Perdana Menteri
Abdul Razak melakukan koreksi berupa pencabutan undang-undang tersebut.
Pada
awalnya ISA merupakan produk undang-undang kolonial yang dihasilkan Inggris
pada tahun 1947. Tujuan pemberlakuan undang-undang tersebut adalah memberangus
perkembangan Partai Komunis Malaysia
dan mengawasi dan menindak tegas jaringan dan pergerakan kelompok-kelompok
radikal yang berpotensi melakukan tindakan teror terhadap masyarakat Malaysia.
Seiring
perjalanan waktu, undang-undang tersebut digunakan oleh pemerintah Malaysia untuk
mengekang kebebasan sipil dan menghentikan kelompok-kelompok oposisi yang kerap
kali mengganggu kinerja pemerintah. Salah satu bentuk penyelewengan utama
pemerintahan Malaysia
sebelumnya adalah pengawasan ketat, penangkapan, dan penahanan tanpa proses
peradilan yang dijalankan selama lebih dari 50 tahun terhadap lawan-lawan
politik. Namun, harus diingat fungsi utama ISA tetap dijalankan, yakni
pengawasan ketat terhadap kelompok-kelompok radikal yang berkeinginan
mengganggu stabilitas domestik. Pasca peledakan di gedung kembar World Trade
Center di New York pada 11 September 2001 dan serangkaian bom meledak di
Indonesia dalam kurun waktu 2000 sampai 2011, Malaysia justru tidak mengalami
satu pun peledakan berskala masif. Hal tersebut menjadi bukti efektifitas
penerapan ISA di Malaysia.
Sedangkan
di Singapura sendiri, pemerintahan setempat masih menilai perlunya
undang-undang kemanan dalam negeri guna mencegah meningkatnya tindakan-tindakan
kriminal, kekerasan berbau SARA, dan tindakan-tindakan subversif yang dapat
mengganggu stabilitas pemerintahan. Namun, seperti disampaikan Menteri Dalam
Negeri Singapura, Teo Chee Hean, pada masa mendatang perlu dikaji kembali
pentingnya keberadaan undang-undang keamanan dalam negeri Singapura di tengah
semangat perubahan dunia dewasa ini.
Bagi Indonesia
sendiri, semangat perubahan politik yang digaungkan oleh perdana menteri Tun
Abdul Razak membangkitkan “kewaspadaan nasional”. Seperti yang diketahui, salah
satu produk-produk undang-undang yang sebentar lagi akan disahkan adalah
undang-undang intilijen negara. Sejauh ini, rancangan undang-undang tersebut
belum disahkan karena tekanan masyarakat sipil, khususnya kelompok pro
demokrasi dan hak-hak asasi manusia. Isu utama yang menjadi pokok permasalahan
adalah kewenangan yang diberikan kepada
aktor-aktor intilijen untuk menangkap dan menahan tanpa izin dan proses
peradilan. Tindakan-tindakan tersebut bertentangan dengan nilai-nilai hak asasi
manusia, karena tindakan-tindakan tersebut akan menimbulkan ketakutan di
masyarakat dan mencabut kebebasan masyarakat dalam menyuarakan pendapatnya.
Selain itu, tindakan-tindakan tersebut rawan untuk diselewengakan oleh para
penguasa untuk kepentingan tertentu. RUU intilijen dikhawatirkan akan
mengembalikan situasi Indonesia
kembali ke era orde baru.
Pada era
orde baru, pemerintah pada saat itu sangat menekankan pentingnnya stabilitas
nasional guna mendukung pembangunan. Undang-undang Subeversi tahun 1963 menjadi
cara paling efektif untuk memberangus kebebasan sipil dan memperkuat posisi
pemerintah sebagai pemegang kekuasaan tertinggi yang memiliki logika
otoriterianisme. Namun, pada tahun 1998, seiring dengan gelombang reformasi,
undang-undang tersebut dicabut.
Berdasarkan
gelombang perubahan yang menjadi trandmark
masyarakat dunia dewasa ini, dapat diprediksi pemerintah belum akan mengesahkan
RUU intilijen. Pengalaman masyarakat Malaysia
selama 5 dekade belakangan ini, dibatasi bahkan dihilangkan hak-hak sipilnya
akan menjadi peringatan dini (early
warning) bagi pemerintah Indonesia
yang sebelumnya pernah mengalami situasi serupa pada era orde baru. Di tengah
semangat keterbukaan dan kebebasan sipil, munculnya kecenderungan pembatasan
hak-hak sipil akan mengundang resistensi dan antipati terhadap rezim yang
berkuasa.
Namun yang
harus diingat bahwa kebutuhan atas tercapainya kemanan nasional (national
security) juga menjadi perhatian serius bagi bangsa ini. Malaysia
sendiri tidak hanya mencabut ISA, namun menggantinya dengan produk
undang-undang yang disesuaikan dengan nilai-nilai demokratis, hak-hak asasi
manusia, dan keamanan nasional. Ketakutan munculnya gerakan-gerakan fundamentalis
agama yang berujung pada aksi-aksi terorisme, aksi-aksi anarkis dan kejahatan
terorganisir membuat pemerintah Malaysia
sadar akan pentingnya harmonisasi kepentingan masyarakat sipil dan kepentingan
nasional. Indonesia
juga patut menyadari ha-hal tersebut.
Peledakan
bom di Solo dan ancaman-ancaman teror di Ambon
menunjukkan dibutuhkan perangkat hukum yang bisa mendeteksi dini dan memberikan
penanganan yang professional dan proporsional. Adanya upaya kelompok-kelompok
tertentu untuk mengembalikan kondisi bangsa ini seperti pada era transisi,
dimana banyak terjadi konflik SARA, membuat pemerintah perlu mencari format
kebijakan yang mampu mencegah dan menangani gelaja-gejala perpecahan bangsa
ini.
Negara
merupakan aktor utama yang memiliki kewenangan sesuai konstitusi untuk
melakukan tindak kekerasan. Intilijen merupakan salah satu alat negara yang
dipakai untuk menjalankan kewenangan tersebut. Intilijen merupakan lembaga di
bawah eksekutif yang bertugas menjalankan fungsi pendeteksian dan penindakan
dini sesuai koridor dan pengawasan lembaga legislatif, yudikatif dan kelompok
masyarakat sipil. Intilijen merupakan alat negara yang sama kedudukannya dengan
kepolisian dan TNI di negara ini yang berfungsi memberikan rasa aman dan
stabilitas keamanan dalam negeri. Oleh karena itu, jika kepolisian dan TNI
sudah memiliki undang-undang tersendiri, maka sudah sepantasnya initilijen juga
harus memiliki aturan hukum yang melegitimasi peran dan fungsi alat negara
tersebut.
Oleh
karena itu, RUU Intilijen dapat menjadi salah satu solusi dengan catatan, perlunya
mengharmonisasikan nilai-nilai demokratis dan hak asasi manusia dengan keamanan
nasional. Selain itu, aktor-aktor intilijen juga harus menjaga integritas
sebagai pengabdi bangsa dan negara sehingga dalam melaksanakan tugas tidak
melakukan tindakan-tindakan penyelewengan. Kewenangan yang diberikan kepada
aparat intilijen harus diamalkan berdasarkan amanat konstitusi negara ini.
Mengharmoniskan
kepentingan masyarakat sipil dan kepentingan nasional merupakan kunci dalam
pembuatan berbagai produk undang-undang di era reformasi seperti sekarang. Kesepakatan
antara DPR dan Pemerintah terkait pengesahan RUU intilijen merupakan langkah
positif, setelah dilakukan penyesuaian terkait kewenangan-kewenangan dari
lembaga intilijen.
Kejadian
di Solo dan Ambon menjadi cermin terkait pentingnya perangkat hukum yang
menjadi dasar untuk melegitimasi tugas dan peran lembaga intilijen untuk
memberikan rasa aman dan tenteram bagi seluruh masyarakat Indonesia.
Hipolitus
Wangge
Peneliti
Pacivis-Universitas Indonesia,
Jakarta
Dimuat di Harian Jawa Pos, 28 September 2011
No comments:
Post a Comment