Pada awal bulan Agustus lalu, salah satu media nasional memuat berita terkait kunjungan para purnawirawan TNI-AD yang tergabung dalam Persatuan Purnawirawan Angkatan Darat (PPAD) ke kantor salah satu partai terbesar di negeri ini. Menurut pernyataan salah satu petinggi partai tersebut, kunjungan tersebut didorong oleh kesamaan visi kebangsaan yang berlandaskan nasionalisme.
Pasca
lobi diplomat AS, kelompok purnawiran
kembali menata dan memposisikan diri sebagai salah satu kekuatan politik yang
masih sangat berpengaruh di negeri ini. Berdasarkan potensi tersebut, maka
sangat wajar jika partai-partai politik tertarik untuk mendekati kelompok
potensial dari kalangan militer tersebut.
Terdapat beberapa hal penting yang patut disimak.
Pertama, partai-partai politik masih membutuhkan pihak militer. Kedua, lobi
militer kepada partai-partai politik. Ketiga membangun profesionalisme militer
menuju pambangunan strategi pertahanan minimal (minimum essential force) .
Partai-partai
politik masih merasa dukungan pihak militer sebagai kunci keberhasilan agenda
partai tersebut di tingkat nasional. Bahkan beberapa organisasi masyarakat
radikal meminta dukungan sebagian purnawirawan untuk mendukung agenda politik
tertentu. Hal ini sebenarnya merupakan bentuk inferior complex (Muna:2002), yakni keadaan rendah diri sipil
terhadap militer yang memiliki sejarah dominasi yang kuat di negeri ini. Indikator lain dari inferior complex adalah masih ditempatkannya para purnawirawan
dalam jabatan-jabatan strategis, baik sipil maupun pemerintah, seperti
komisaris bank-bank swasta, kepala bidang penelitian, duta besar dan berbagai
posisi strategis lainnya. Hal tersebut menandakan masih berpengaruhnya wibawa
militer untuk mengamankan kepentingan-kepentingan tertentu para pemimpin sipil di
negeri ini. Indikator selanjutnya adalah korupsi di tubuh militer. Selama KPK berdiri, belum pernah muncul satu kasus
korupsi yang terjadi di Markas Besar TNI
dan Kementrian Pertahanan RI. Pertanyaannya adalah apakah benar kedua lembaga
tersebut tidak pernah menyelewengkan penggunaan dana pertahanan nasional
ataukah KPK sendiri yang tidak berani untuk mengusut indikasi korupsi di kedua
lembaga tersebut. Alasan kedua dinilai menjadi alasan terbesar mengapa sampai
hari ini kedua lembaga tersebut belum pernah tersentuh atau masuk dalam radar
investigasi KPK.
Pertemuan
para purnawirawan dengan para pemimpin partai dalam beberapa minggu belakangan
ini didasarkan pada penilaian kegagalan kepemimpinan di Indonesia saat
ini. Kegagalan sipil menjadi pintu masuk
bagi keterlibatan militer dalam ranah masyarakat sipil (Honowitz: 1962).
Peristiwa 17 Oktober 1952 menjadi cikal bakal peranan politik militer dalam
kehidupan berbangsa dan bernegara. Beberapa mantan perwira merasa kecewa dengan
kepemimpinan yang berkuasa saat ini. Padahal, pemerintahan sekarang berada di
bawah kepemimpinan mantan perwira tinggi TNI.
Beberapa
kalangan purnawirawan bergabung dengan kelompok-kelompok masyarakat sipil untuk
menyuarakan berbagai persoalan bangsa dewasa ini. Berbagai pertemuan rutin
mingguan dilakukan di Jakarta dengan
melibatkan para purnawirawan untuk membedah dan mencari solusi permasalahan
bangsa ini. Sebagian besar purnawirawan
yang tergabung dalam PPAD maupun dalam berbagai kelompok masyarakat
sipil menyuarakan hal yang sama yakni kegagalan rezim berkuasa, sehingga perlu
dikoreksi. Militer Indonesia merupakan contoh militer yang tidak hanya
ditempatkan sebagai“pemadam kebakaran” (Finer:1967). Perselisihan diantara
berbagai partai politik, korupsi yang merajalela, dan kelakuan para politisi
dan elit yang tidak mencerminkan jati diri bangsa, mendorong pihak militer
terpanggil untuk menyelesaikan permasalahan-permasalahan tersebut.
Oleh
karena itu, para purnawirawan perlu mendekati partai-partai politik tertentu
untuk mendesak perlunya perubahan di negeri ini. Namun, pertemuan-pertemuan
tersebut perlu dilihat sebagai intensi politik pihak militer untuk mendapatkan
posisi strategis pasca transisi pemerintahan 2014. Tujuan utama lobi politik
2014 AS adalah menempatkan “teman lama” di jajaran puncak pemerintahan negeri
ini, atau setidaknya untuk menjaga kepentingan AS di Indonesia.
Pertemuan
para purnawirawan tidak hanya terhadap satu partai poltik atau satu kelompok
masyarakat, tetapi menyebar ke hampir semua partai politik nasional dan
kelompok-kelompok masyarakat sosial. Hal tersebut mengindikasikan keinginan
para purnawirawan untuk tidak ditinggalkan oleh kelompok sipil yang akan
berkuasa pada tahun 2014. Selain
itu,konsolidasi militer-sipil menandakkan pihak militer masih berkeinginan
untuk terus terlibat dalam menentukan arah pembangunan bangsa ini.
Pembangunan
postur pertahanan TNI dalam 15 tahun kedepan adalah mencapai kekuatan
pertahanan minimal (Minimum Essential
Forces/MEF) pada tahun 2024. Pada tahun
tersebut, TNI diharapkan menjadi kekuatan profesional yang mampu
berhadapan dengan kekuatan militer negara lain. MEF didasarkan pada
ketersediaan anggaran dan pembangunan kekuatan alat utama sistem pertahanan
yang memadai. Dalam RAPBN 2012, anggaran pertahanan naik 35, 7 persen dari
tahun sebelumnya. Kementrian pertahanan mendapatkan anggaran 64, 4 triliun.
Kenaikan
tersebut merupakan momentum yang tepat dalam rangka penguatan sistem pertahanan
Indonesia menuju rencana besar MEF 2024. Berdasarkan perencanaan besar tersebut,
seharusnya para purnawirawan dilibatkan untuk memikirkan konsep pembangunan
pertahanan nasional Indonesia pada masa yang akan datang. Pernyatan Mayjen
(Purn) Kiki Syahnakri patut disimak. Menurut beliau pembangunan kekuatan TNI ke
depan, harus ditekankan pada pembaharuan seluruh doktrin pertahanan nasional
yang sudah tidak sesuai lagi dengan tantangan dan potensi ancaman dewasa ini.
Berdasarkan pernyataan tersebut, alangkah lebih bijak jika para purnawirawan
dan perwira aktif lebih berkosentrasi pada pembangunan postur pertahanan
TNI pada masa yang akan datang.
Keterlibatan
militer dalam ranah sipil di era demokrasi justru akan menganggu konsolidasi
demokrasi di Indonesia yang baru berjalan 13 tahun. Walaupun hanya sebagai
purnawirawan, namun semangat korps militer mampu menarik simpati dan dukungan
institusi militer untuk juga terlibat dalam urusan sosial politik masyarakat
Indonesia, seperti yang terjadi pada era orde baru. Masih terbuka kemungkinan
penggunaan jaringan militer untuk mendulang suara pada pemilu mendatan.
Keterlibatan
institusi militer dalam ranah sipil, dapat berakibat menurunnya kemampuan
tempur militer Indonesia di tengah modernisasi militer negara-negara lain di
sekitar kita. Keterlibatan komponen-komponen militer dalam urusan-urusan sipil,
hanya akan memperlemah semangat profesionalisme
menuju kekuatan militer Indonesia yang tangguh dan disegani..
Oleh
Hipolitus Wangge
Peneliti Global
Civil Society Studies (Pacivis) Universitas Indonesia.
Dimuat di Harian Kompas, 21 September 2011
No comments:
Post a Comment