Translate

Thursday, October 27, 2011

MENANTI KONSISTENSI PENDEKATAN MILITER DI PAPUA


Papua kembali bergejolak dalam 2 minggu terakhir ini. Tiga aksi kekerasan utama yang mendapat perhatian publik baik dalam maupun luar negeri adalah penembakan terhadap para pekerja PT. Freeport yang dilakukan oleh sejumlah pihak tidak dikenal dan yang terjadi pada Rabu (19/10) di Abepura, Jayapura, terkait Konggres Rakyat Papua III (KGP). Terakhir, meninggalnya kapolsek Mulia, Kabupaten Puncak Jaya, AKP Dominggus Oktavianus Awes (24/10). 

Tulisan ini akan lebih terfokus pada perlakuan aparat terhadap pembubaran paksa para anggota pertemuan massal KGP III. Pembubaran paksa tersebut, mengakibatkan meninggalnya 6 orang peserta konggres dan sejumlah lainnya yang menderita luka-luka akibat menghidari rentetan tembakan dari aparat.

Pembubaran paksa yang dilakukan aparat keamanan terhadap pertemuan akbar tersebut, dilakukan dengan alasan aksi makar yang muncul dengan mendeklarasikan pembentukan Negara Federal Papua Barat di dalam kedaulatan NKRI. Hal tersebut dianggap tindakan makar yang berpotensi mengganggu stabilitas Papua pada khususnya dan Indonesia pada umumnya. Alasan inilah yang mendorong TNI untuk terlibat mempertahankan kedaulatan NKRI melawan setiap bentuk upaya dan tindakan makar, khususnya separatisme di wilayah Indonesia. Perlawanan terhadap separatism merupakan bagian dari Operasi Militer Selain Perang (OMSP) yang tertera dalam Undang-Undang nomor 34 tahun 2004 tentang TNI.

Namun, tindakan penembakan aparat TNI bersama polisi yang disinyalir membabi-buta di Lapangan Zakeus kemarin, menimbulkan pertanyaan besar terkait konsistensi pendekatan militer terhadap masalah-masalah di Papua. Beberapa bulan sebelumnya, ketika terjadi kerusuhan pasca aksi demonstrasi besar-besaran menuntut pertanggungjawaban pemerintah pusat terkait ketimpangan pembangunan di seluruh tanah Papua, Panglima TNI Agus Suhartono menyatakan tidak akan ada penambahan pasukan TNI ke Papua untuk membantu mengamankan situasi di Papua, khususnya di Jayapura dan sejumlah daerah konflik lainnya. Keberadaan sejumlah TNI pasukan organik di bawah koordinasi Kodam XVII/Cendrawasih dinilai sudah cukup. 

Pernyataan tersebut memiliki dua pengertian, yakni pertama, pendekatan represif militer yang dinilai keliru dan hanya akan menambah daftar panjang pelanggaran ham yang dilakukan aparat TNI di bumi Cendrawasih, dan kedua  inkonsistensi kebijakan di tingkatan elit dan pelaksana tugas di tingkatan lapangan.

Sejak Papua terintegrasi ke dalam pangkuan NKRI pada tahun 1969, persoalan ketimpangan pembangunan menjadi katalisator tuntutan pemisahan diri dari NKRI. Ironisnya, sejak dari awal pula, pendekatan represif pemerintah pusat menjadi instrumen utama dalam menanggapi persoalan tersebut. Kebijakan pembangunan diimbangi dengan represifitas aparat TNI di seluruh wilayah Papua. Kehadiran gerakan separatis melegitimasi kehadiran dan pendekatan represif militer di tanah Papua.  Hal tersebut membuat masyarakat Papua mengalami ketakutan.

Peristiwa demonstrasi besar-besaran di Jayapura dan kerusuhan pilkada di Puncak Jaya pada awal Agustus kemarin, dinilai sebagai era baru pendekatan pemerintah Pusat terhadap masayarakat Papua. Pernyataan Panglima TNI Jend. Agus Suhartono bahwa tidak akan ada penambahan jumlah pasukan TNI di Papua, dilihat sebagai “angin segar” terhadap karateristik militer di dua propinsi paling timur tersebut. Makna yang tersirat dari pernyataan tersebut, adalah kesadaran dari institusi militer terhadap cara yang digunakan selama ini guna merespon setiap bentuk ekspresi masyarakat Papua. Demonstrasi besar-besaran di Jayapura, merupakan bentuk aspirasi masyarakat Papua terhadap sejumlah persoalan di tanah Papua yang belum terselesaikan. Sedangkan, konflik pilkada di kabupaten Puncak Jaya, dinilai sebagai konflik internal yang cukup diselesaikan secara damai tanpa melibatkan aparat TNI dalam menyelesaikannya. Stigma separatis yang disematkan pada setiap bentuk ekspresi masayarakat Papua, mulai dieliminir seiring dengan pernyataan panglima tersebut.

Dalam ranah demokrasi seperti sekarang, penyelesaian konflik atau pengamanan berbagai aksi demonstrasi menjadi tugas dan wewenang polisi, sebagai alat negara yang bertanggungjawab terhadap keamanan dalam negeri, secar professional dan proporsional. Sedangkan peran TNI diperlukan, ketika penangangan keamanan dalam negeri tidak mampu lagi dilaksanakan oleh pihak kepolisian, dengan catatan melalui persetujuan Presiden sesuai undang-undang yang berlaku. 

Namun, peristiwa pembubaran paksa yang terjadi di Abepura, Jayapura pada Rabu kemarin, merubah penilaian di atas. KGP III merupakan lanjutan dari dua konggres sebelumnya, yakni Konggres Rakyat Papua I pada  Desember tahun 1961 dan Konggres Rakyat Papua II pada Mei tahun 2000. Agenda KGP III adalah pembentukan negara Papua merdeka dalam bentuk federal. Hal tersebut merupakan upaya makar dan bertentangan dengan UUD 1945. Hal tersebut merupakan ancaman terhadap kedaulatan NKRI, sehingga TNI wajib menindak upaya makar tersebut. Pada tahap ini, kehadiran TNI di lapangan Zakheus tepat. Namun, menjadi sangat tidak tepat, ketika instrumen pembubaran konggres tersebut adalah penembakan secara langsung kepada para peserta konggres. 

Penembakan tersebut menunjukkan ketidaksesuaian antara instruksi pimpinan dan pelaksanaan di lapangan. Pernyataan panglima TNI terkait pendekatan militer yang berusaha dikurangi ternyata tidak dilaksanakan secara efektif. Terdapat indikasi pengabaian instruksi pimpinan. Pengerahan pasukan TNI tanpa adanya perintah Presiden sesuai ketetapan undang-undang. Apalagi penembakan secara sporadis terhadap para peserta konggres merupakan bentuk penyimpangan dari ketetapan institusi TNI. Konggres tersebut merupakan upaya makar, namun cara-cara yang dipakai untuk membubarkan konggres tersebut melalui penembakan sporadis yang mengakibatkan meninggalnya sejumlah orang dinilai menyimpang dari instruksi awal dan ketetapan regulasi nasional.

Berdasarkan Peraturan Presiden nomor 52 tahun 1959 tentang Penetapan Keadaan Bahaya, pengerahan pasukan TNI hanya didasarkan pada keadaan darurat, baik darurat sipil,  darurat militer, maupun darurat perang. Papua sendiri tidak pernah dideklarasikan sebagai wilayah yang termasuk dalam kategorisasi keadaan bahaya. Tanpa adanya prakondisi-prakondisi dan persejutuan presiden, pengerahan pasukan dan penembakan terhadap masyarakat sipil merupakan bentuk pelanggaran sesuai ketetapan undang-undang. 

Berdasarkan cara-cara kekerasan yang masih  dipakai aparat, khususnya TNI di Papua, pertanyaan yang selalu akan muncul adalah sampai berapa lama, pendekatan represif terhadap masyarakat di Papua dipertahankan, di tengah semangat perubahan institusi TNI di era reformasi.

Hipolitus Wangge
Peneliti Pacivis-Universitas Indonesia 

Dimuat di Harian Kompas, 26 Oktober 2011

No comments:

Post a Comment