Translate

Friday, December 16, 2011

EFEKTIFITAS KOMANDO TERITORIAL


Pada Hut TNI ke 66, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menghimbau diefektifkan kembali komando-komando teritorial di seluruh wilayah Indonesia. Tujuannya adalah membantu pihak kepolisian mencegah dan memberangus terorisme. Himbaun tersebut memiliki sejumlah konsekuensi lanjut terhadap reformasi militer yang masih terus berjalan sejak tahun 1998 dan penguatan  pertahanan nasional berdasarkan Kekuatan Pertahanan Minimal (Minimum Essential Force/MEF).
Salah rekomendasi reformasi TNI sesuai UU No. 2 Tahun 2002 tentang pertahanan nasional adalah melikuidasi struktur komando teritorial di daerah yang tidak rawan konflik, mulai dari struktur terkecil hingga teratas (babinsa, koramil, kodim, korem, dan kodam) . Rekomendasi tersebut didasarkan pada evaluasi kinerja koter pada era orde baru.
Koter pada awalnya didesain untuk memberdayakan seluruh sumber daya dan potensi yang ada di suatu wilayah untuk digunakan demi kepentingan pertahanan nasional. Namun, pada era orde baru, koter digunakan untuk mendukung kepentingan politik rezim tersebut. Koter digunakan sebagai mobilisator dukungan pada saat  pemilu.  Koter digunakan untuk mengawasi seluruh kegiatan masyarakat, khususnya kegiatan-kegiatan masyarakat yang dinilai mengancam stabilitas nasional. Pendekatan represif menjadi salah satu ciri pelaksanaan fungsi koter di era orde baru.
            Pasca era orde baru, TNI melakukan reformasi internal. Sejumlah regulasi TNI dibuat, seperti UU No. 2 tahun 2002 tentang Pertahanan Nasional dan UU No. 32 Tahun 2004 tentang TNI, serta Buku Putih Pertahanan Indonesia tahun 2008.  Dalam regulasi-regulasi tersebut, secara tersirat mengamanatkan penataan kembali sejumlah koter di berbagai wilayah Indonesia. Namun, implementasinya sangat sulit dilakukan. Terdapat dua alasan utama.
Pertama, masih dipertahankannya doktrin pertahanan nasional, sistem pertahanan semesta (sishanta). Doktrin ini mengasumsikan seluruh komponen dan sumber daya nasional digunakan untuk mempertahankan kedaulatan NKRI. Hal tersebut membuat koter menjadi “tulang punggung” dalam memetakan dan memberdayakan seluruh komponen dan sumber daya di setiap wilayah negeri ini. Kedua, tidak terdapatnya keinginan yang kuat dari jajaran pimpinan angkatan darat untuk menata kembali seluruh koter. Koter dipandang masih perlu untuk mengamankan seluruh wilayah NKRI dari berbagai potensi ancaman yang muncul dari dalam masyarakat, termasuk terorisme.
Di era reformasi dengan pilihan demokrasi seperti sekarang, fungsi pemberdayaan wilayah mampu dijalankan oleh pemerintah daerah (pemda) setempat. Dalam kerangka otonomi, pemda setempat mampu memetakan dan memberdayakan baik komponen pendukung maupun komponen cadangan, serta seluruh sumber daya lokal untuk menunjang fungsi pertahanan. Untuk menanggulangi ancaman teror, pemda memiliki alat kemananan negara, yakni kepolisian. Dukungan seharusnya diberikan kepada pihak kepolisian untuk menangani persoalan keamanan nasional, sesuai amanat konstitusi. TNI sendiri harus mendukung peningkatan kapasitas sipil untuk melakukan fungsi pemberdayaan wilayah pertahanan.
Keberadaan koter, tidak perlu lagi digelar sampai tingkatan desa (babinsa). Fungsi teritorial, jika perlu dipertahankan, cukup sampai tingkatan kabupaten (kodim). Hal tersebut mengingat fungsi koordinasi dan mobilisasi seluruh pasukan regular di daerah, berada di bawah kewenangan komando daerah militer (kodam) dan komando resort militer (korem). Keberadaan koter cenderung untuk mempertahankan status quo militer di daerah, yang telah bertahan sejak diterapkan sitem wehrkreise (kantong-kantong pertahanan) pada zaman  revolusi.
Penolakan para petinggi angkatan darat, berbanding terbalik dengan kenyataan di daerah. Keberadaan koter di beberapa daerah tidak rawan konflik ternyata, menimbulkan keresahan, bahkan tindak pelanggaran ham terhadap masyarakat. Berdasarkan laporan Komnas Ham tahun 2010 sampai Maret 2011, terdapat 88 kasus indikasi pelanggaran ham, baik yang melibatkan personil, staf, maupun institusi teritorial di seluruh wilayah Indonesia.
Sejumlah pelanggaran ham yang diadukan diantaranya perebutan lahan, pembongkaran paksa sejumlah bangunan,  tindakan asusila, tindakan pengeroyokan, bahkan mengakibatkan kematian. Selain itu, berdasarkan laporan Human Rights Watch tahun 2009, keberadaan komando-komando teritorial di berbagai daerah berhubungan dengan keberadaan bisnis militer. Sejumlah koter digunakan untuk mempertahankan sejumlah bisnis militer yang belum dilukuidasi atau diambilalih oleh Pemerintah sesuai amanat Peraturan Pemerintah Nomor 23 tahun 2009 tentang Pengambilahan Aktivitas Bisnis Militer.
Dalam rangka membangun Kekuatan Pertahanan Minimal (MEF), keberadaan koter perlu dikaji kembali. Asumsi yang selama ini dibangun adalah dua zona pertahanan, yakni zona 1 penyangga (ZEE hingga wilayah musuh)  dan zona 2 pertahanan utama (wilayah perairan teritori Indonesia), dimana angkatan laut dan anagkatan udara menjadi aktor-aktor sentral, tidak bisa dipertahankan. Hal tersebut membuat penguatan terutama dilakukan terhadap zona 3 perlawanan (wilayah darat teritori Indonesia), dimana angkatan darat melalaui koter menjadi aktor utama pertahanan nasional. 
Padahal, agresi militer musuh akan dengan mudah memasuki dan menghancurkan zona 3 pertahanan Indonesia, jika dua zona terdepan tidak dikuatkan.  MEF berusaha merespon hal tersebut, dengan memperkuat kekuatan baik personil maupun peralatan kedua angkatan tersebut. Penguatan seharusnya dilakukan terhadap  detasemen detasemen jala mengkara (denjaka) TNI AL dan detasemen bravo-90 (denbravo-90) TNI AU, bukan lagi pada penguatan struktur teritorial, yang cenderung tidak efektif. Struktur teritorial selama ini hanya menjalankan fungsi administratif pembinaan wilayah.
Kedua satuan elit tersebut harus dilihat secara luas sebagai bagian dari penguatan dua zona pertahanan, termasuk upaya penanganan terorisme. Ditambah detasemen khusus 88, seharusnya yang dilakukan adalah koordinasi antara satuan elit yang memiliki keahlian penagangan teror, bukan pada penguatan struktur teritorial. Apalagi anggaran pertahanan nasional yang dialokasikan untuk penyelengaraan fungsi teritorial cukup besar, yakni 20,6 miliar pada tahun 2012 mendatang. Anggaran sebesar itu, akan lebih efektif jika digunakan untuk kebutuhan militer lainnya yang sangat mendesak, seperti kesejahteraan personil maupun kemampuan alat utama sistem persenjataan (alutsista).
Efektifitas komando teritorial tidak lagi relevan seperti pada era revolusi. Alasan “penghidupan” kembali koter untuk penanganan teror cenderung dipaksakan. Diperlukan kajian yang lebih komprehensif terkait penggunaan struktur teritorial dalam menghadapi terorisme.
HW
Peneliti Pacivis, Universitas Indonesia

Pendekatan Kesejahteraan versus Pendekatan Keamanan di Papua


Terbentuknya Unit Kerja Percepatan Pembangunan Papua dan Papua Barat (UP4B), pada awal Oktober  kemarin setidaknya memberikan harapan bagi penyelesaian masalah-masalah yang terjadi Papua dan Papua Barat.  Pembentukan UP4B ini merupakan pelaksanaan dari Perpres 65 Tahun 2011 tentang Percepatan Pembangunan Provinsi Papua dan Papua Barat. Sebulan setelah terbentuk, ketua UP4B, Bambang Dharmono menyatakan perlunya memberikan rasa aman bagi masyarakat Papua sebelum menjalankan pendekatan kesejahteraan bagi masyarakat di bumi Cendrawasih tersebut.
Berikutnya peringatan 50 tahun hadirnya entitas politik Papua sejak keluarnya Belanda pada tahun 1961, yang diperingati kemarin (1/12) menjadi tantangan bagi penegakkan keamanan di Papua. Dilaporkan  bahwa  telah terjadi  baku tembak antara pihak TNI-Polri dengan kelompok OPM di daerah Paniai dan meninggalnya anggota kepolisian pasca pemukulan oleh kelompok tidak dikenal. Kedua peristiwa tersebut menjadi gambaran bahwa keamanan masih menjadi titik tolak utama dalam menyelesaikan masalah di tanah Papua.
Terdapat dua hal yang bertolak belakang dari pernyataan ketua UP4B dan peritiswa peringatan 50 tahun hadirnya entitas politik Papua. Di satu sisi, pendekatan kesejahteraan dinilai tepat menjadi salah satu solusi penyelesaian masalah Papua. Strategi pembangunan daerah, melalui priorotas pembangunan infrastruktur dan pembangunan sumber daya manusia dalam bingkai otnomi khusus, dinilai menjadi kunci penyelesian masalah Papua yang berlaru-larut. Pendekatan tersebut sesuai dengan arahan presiden bahwa, pendekatan kesejahteraan harus segera dipercepat untuk menyelesaikan masalah di Papua.
Namun, di sisi lain terlihat jelas masih adanya upaya dari pihak-pihak tertentu, baik pihak yang tidak bertanggung jawab maupun pihak aparat keamanan yang tidak sesuai dengan agenda besar pendekatan kesejahteraan dengan mengedepankan rasa aman masyarakat Papua. Sealin dua contoh tindak kekerasan yang terjadi di Papua pada saat peringatan 50 tahun entitas politik Papua,  sejumlah kekerasan lain telah terjadi sebelumnya. Penganiyaan oleh 7 anggota yonif 755 Merauke terhadap 12  orang warga distrik Kurulu Kabupaten Jayawijaya,yang sedang melakukan pertemuan adat (2/11), penembakan terhadap seorang petugas keamanan di areal  PT Freeport (7/11), dan penggeledahan paksa  tanpa surat izin di asrama Papua Menteng oleh pihak kepolisian, (10/11), merupakan gambaran kontraproduktif terhadap rencana penyelesaian masalah-masalah Papua berlandaskan rasa aman masyarakat Papua. Semangat membangun berdasarkan pendekatan kesejahteraan, terkesan berjalan di tingkatan elit, tetapi tidak dilaksanakan secara efektif.
Berdasarkan fakta masa lalu, bahwa sebagian besar agenda pembangunan di Papua dinilai gagal, bukan hanya karena tidak dijalankannya kebijakan otonomi khusus di Papua, tetapi juga karena munculnya resistensi masyarakat setempat terhadap proses pembangunan tersebut. Masyarakat menolak penyelesaian masalah Papua berdasarkan paradigma Jakarta. Pendekatan kesejahteraan dibangun dengan terlebih dahulu memberikan rasa aman bagi masyarakat Papua. Rasa aman tersebut dimulai dengan mengurangi bahkan menghilangkan trauma masa lalu dan menghentikan seluruh aksi kekerasan baik penembakan tidak bertanggung jawab maupun reprsifitas aparat keamanan terhadap masyarakat Papua. Dengan munculnya rasa aman, diyakini seluruh agenda pembangunan di Papua dapat diterima dengan baik, tanpa adanya resistensi masyarakat.
Rasa aman bagi masyarakat Papua tidak hadir begitu saja tanpa menghilangkan beban dan trauma masa lalu. Sejak menjadi bagian dari NKRI, Provinsi Papua (Irian Jaya) memiliki beban sejarah terkait aksi-aksi kekerasan, khususnya yang dilakukan oleh pihak aparat keamanan masih tersimpan dalam memori kolektif masyarakat setempat.  Berbagai aksi kekerasan yang terjadi di Papua tidak pernah mendapatkan pengakuan berupa pengadilan militer bagi aparat yang melakukan tindakan-tindakan kekerasan tersebut. Salah satu agenda besar reformasi sektor keamanan, yakni reformasi peradilan militer dengan memberikan hukuman setimpal terhadap aparat yang terbukti melakukan tindakan-tindakan pelanggaran ham, ternyata tidak efektif dilaksanakan di Papua. Trauma dan beban sejarah masa lalu tersebut tidak pernah hilang, bahkan dipertegas dengan sejumlah aksi pelanggaran ham sampai dengan hari ini.
Memberikan rasa aman bagi masyarakat Papua, harus lebih diarahkan dengan menghargai keberadaan masyarakat tersebut sebagai warga negara yang memiliki hak dan kewajiban yang sama dengan semua warga negara lain di bumi pertiwi ini. Penghargaan itu dilakukan dengan terlebih dahulu mengidentifikasi beban sejarah dan trauma kolektif masyarakat setempat. Selanjutnya, mengadakan rekonsiliasi persaudaraan antara pemerintah, aparat dan masyarakat setempat. Proses rekonsiliasi dimulai dengan permintaan maaf melalui proses peradilan yang layak bagi para aparat keamanan yang terbukti melakukan tindakan melanggar ham terhadap masayarakat Papua. Hal tersebut akan dilihat sebagai bukti dan komitmen pemerintah terhadap  masyarakat Papua yang selama ini berada dalam kondisi tertekan akibat sejarah dan trauma kolektif.
Proses yang mendamaikan tersebut ditindaklajuti dengan menghilangkan stigma separatisme terhadap masyarakat Papua yang masih tertanam dalam benak pihak keamanan yang bertugas di Papua. Memberikan rasa aman bagi masyarakat di Papua tidak berarti hanya menjaga hak hidup, hak sosial, hak ekonomi, tetapi juga memberikan ruang bagi artikulasi dan  ekskpresi bagi masyarakat Papua yang selama ini diperlakukan secara tidak layak sebagai warga negara Indonesia. Rutinitas dan aktivitas masyarakat harus dipandang sebagai bagian dari dinamika kehidupan masyarakat setempat yang sama statusnya dengan aktifitas masyarakat di berbagai belahan negeri ini. Paradigma kesejahteraan dan penghargaan sebagai warga negara Indonesia harus dimiliki dan dilaksankan secara konsisten, khususnya oleh aparat keamanan di tanah Papua.
Pada akhirnya, seluruh upaya yang akan dilakukan oleh UP4B dapat menjadi jembatan bagi penyelesaian masyarakat Papua yang merindukan kedamaian dan ketentraman. Rasa aman bagi masyarakat Papua, bukan hanya pada persoalan ketiadaan ancaman, tetapi juga menghilangkan trauma kolektif yang selama ini menjadi beban bagi masyarakat setempat. Menjadikan Papua sebagai bagian dari NKRI harus dibuktikan dengan komitmen yang kuat dari Pemerintah Pusat terhadap penyelesaian berbagai masalah yang sudah mengakar sejak lama di bumi Cendrawasih. 
HW
Peneliti-Pacivis Universitas Indonesia Jakarta



TERPILIHNYA SANG JENDERAL


Terpilihnya Jenderal  (Purn) Endiarto Sutarto sebagai ketua Tim Analisis dan Advokasi KPK menimbulkan pertanyaan besar terkait hubungan sipil militer di tengah pilihan demokrasi bagi negara ini. Seperti yang diketahui, beberapa hari yang lalu, KPK membentuk Tim Analisis Advokasi  (TAA) KPK, yang diketuai mantan panglima TNI tersebut didampingi 9 anggota dari kelompok masyarakat sipil. Tugas yang diemban tim “dadakan” tersebut adalah mencounter upaya-upaya pelemahan peran KPK dalam upaya memberantas tindakan-tindakan korupsi di negeri ini. Spontan tugas yang diembang sang mantan panglima menimbulkan rekasi baik yang rpo dan kontra.
Jenderal (Purn) Endiarto Sutarto merupakan mantan perwira tinggi militer yang menduduki jabatan terakhir sebagai Panglima TNI sejak 2002, sebelum diserahterimakan kepada Marsekal Joko Suyanto pada tahun 2006. Kiprah sang jenderal semasa aktif tergolong sangat memuaskan. Setelah menyelesaikan pendidikan militer , alumnus Akabri angkatan 1972 tersebut mulai berkiprah sebagai. Jabatan terakhir sebagai panglima TNI di bawah kepemimpinan Presiden Abdurahman Wahid
Selama menjabat sebagai panglima TNI, Endiarto Sutarto berada dalam situasi Indonesia yang tergolong mencekam. Berbagai konflik sosial, seperti Ambon, Poso, Aceh dan Papua terjadi di era kepemimpinan beliau. Selian itu, era kepemimpinan  sang jenderal juga ditandai dengan kasus bom bali yang menyita perhatian dunia internasional sampai saat ini. Hal-hal tersebut kemudian menjadi sasaran tembak kelompok pembela hak asasi manusia, karena sang jenderal dinilai gagal dalam mencegah dan menyelesaikan berbagai konflik dan aksi-aksi terorisme di bumi pertiwi.
Setelah pensiun dari jabatan panglima TNI, kiprah sang jenderal tidak pernah dilepaskan dari persoalan kebangsaan. Salah satu kiprah yang dinilai positif, adalah penarikan diri sang jenderal dari jabatan komisaris utama PT. Pertamina pada tahun 2007. Alasan utamanya adalah ketidaksetujuan beliau terhadap rencana pemerintah menaikkan harga BBM, di tengah keadaan  masyarakat Indonesia yang masih terbelenggu kemiskinan. Tindakan tersebut kemudian diikuti dengan suara-suara kritis sang jenderal terhadap kepemimpinan rezim yang berkuasa sampai hari ini.
Kepemimpinan rezim yang berkuasa hari ini, dinilai oleh sang jenderal adalah rezim yang tidak memihak kepada rakyat Indonesia. Bahkan sang jenderal termasuk dalam kelompok purnawirawan yang cenderung bersikap kritis terhadap kinerja kepemimpinan pemeritahan sekarang, yang ironisnya juga berada di bawah kepemimpinan mantan purnawirawan TNI. Pandangan tersebut mengundang simpati kelompok-kelompok masyarakat sipil untuk menggandeng sang jenderal dalam berbagai kegiatan baik sosial maupun politik.
Sebelum terlibat dalam TAA KPK, keterlibatan sang jenderal juga terlihat dalam kasus cicak versus buaya, yang melibatkan dua orang pimpinan KPK Bibit Samad Riato dan Chandra M. Hamzah. Jend. (Purn) Endiarto Sutarto. Pada saat itu, muncul anggapan keberadaan sang jenderal untuk memback-up KPK. Bahkan, keberadaan sang jenderal dianggap mampu menarik dukungan dari kelompok militer untuk berdiri menghadapi  upaya pelemahan institusi pemberantasan korupsi tersebut.
 Hal ini sebenarnya merupakan bentuk inferior complex (Muna:2002), yakni keadaan rendah diri sipil terhadap militer yang memiliki sejarah dominasi yang kuat di negeri ini.  Kondisi tersebut berawal dari rasa ketidakmampuan sipil berhadapan dengan kelompok militer dalam menghadapi dan menyelesaikan persoalan-persoalan kebangsaan. Anggapan bahwa kalangan purnawirawan dapat memback-up institusi tertentu, merupakan ssalah satu bentuk inferior complex. Ketika sejumlah kalangan masyarakat sipil merangkul sang jenderal dalam barisan penyelamat KPK, baik ketika membela kriminalisasi para pimpinan KPK maupun dalam kelompok TAA, menunjukkan ketidakmampuan sipil untuk menghadapi dan mneyelesaikan persoalan bangsa secara mandiri.
Masih berpengaruhnya wibawa militer dan pengaruh yang ditanamkan oleh beberapa mantan perwira tinggi selama aktif di institsui militer, membuat kelompok sipil masih menempatkan kelompok militer, termasuk para purnawirawan sebagai pendukung utama dalam mencapai kepentingan-kepentingan tertentu.
            Pasca lobi  diplomat AS, kelompok purnawiran kembali menata dan memposisikan diri sebagai salah satu kekuatan politik yang masih sangat berpengaruh di negeri ini. Penilaian AS bukan mustahil dilihat dari besarnya pengaruh kekuatan militer, bukan hanya sebagai penjaga kedaulatan NKRI, melainkan juga sebagai kekuatan sosial politik yang bisa menentukan arah pembangunan bangsa ini. Melihat potensi tersebut, tidak mengehrankan jika berbagai kelompok sipil dan institusi pemerintahan berusaha merangkul kalangan tersebut untuk menjadi pendukung utama.
Kekuatan militer, melalui pengaruh para purnawirawan masih sangat kuat tertanam dalam dinamika masyarakat Indonesia. Satu hal yang perlu diperhatikan, sejauh pengaruh para purnawirawan tersebut masih mampu memobilisasi dukungan dari institusi militer, maka masa depan demokrasi Indonesia berada dalam bahaya, karena kontrol demokratik sipil terhadap militer akan tereduksi dengan hegemonitas kalangan purnawirawan.                                                                                                                                   HW-Peneliti Pacivis

MILITARY REFORM DOESN’T ALWAYS MEAN IT WOULD ADVANCE TO FRONTLINE


Several violence cases only just happened in this country. Starting from bomb explosion cases, whether in Cirebon, Solo; up to chain of hostilities in Papua. One thing that is interesting, there is a tendency to strengthen the role of the military. The trend can be seen from statements by President Susilo Bambang Yudhoyono and TNI Commander Admiral Agus Suhartono.

On the 66th anniversary of the TNI, President Susilo Bambang Yudhoyono called again on strengthening territorial commands in all parts of Indonesia. A reason behind that statement is each military command has intelligent function. It could be used to oversee the activities of the community, escepecially those categorized as potential terrorism and also to help the police prevent and suppress terrorism. Next on coping with terror military exercise-Police (27/10), Armed Forces Commander Admiral Agus Suhartono declared the military would improve early detection (early advice) in tackling terrorism in all parts of Indonesia. This appeal has some further consequences of the military reform,  that is still prolonged since 1998, as well as the strengthening of national defense based on Minimum Defense Strength (Minimum Essential Force / MEF).

The recommendation in accordance with Law No. 2 of 2002, TNI reform on national defense is to liquidate the territorial command structure in vicinities that are not prone to conflict, ranging from the smallest to the top of the structure. The structure consists of Babinsa, military command (milcom), district military command (Kodim), Resort Military Command (Korem), and Region Military Command (kodam). The recommendation is based on an evaluation of the new order era over the effectiveness of the milcom.

            Milcom was originally designed to empower all resources and potential that exists in an area to be used in the interest of national defense. However, on the New Order era, milcom was used to support the regime's political interests. Milcom used as a mobilizer of support at the time of election. Milcom was also used to oversee all community activities, especially to assess the threat potentials to national stability. Repressive approach to be one characteristic execution milcom function in the era of the new order.

            Post-New Order era, the TNI arranged internal regulatory reform. It produced such as Law. 2 of 2002 on National Defence and Law. 32 of 2004 on the TNI, and the Indonesia Defence White Paper in 2008. In these regulations, the mandated realignment of a number of milcom in various parts of Indonesia was implicit. However, its implementation is very difficult to accomplish. There are two main reasons.
           
            First, it still retained the doctrine of national defense, the defense system of the universe (sishanta). This doctrine assumes all components and national resources are used to maintain the sovereignty of the country. That makes milcom a "backbone" in the map and empower all components and resources in every region of this country. Second, the absence of a strong desire from the ranks of the army leadership to restructure the entire milcom. Milcom was still deemed necessary to secure the entire area of ​​Homeland from a variety of potential threats arising from within the community, including terrorism.

In the era of democratic reform with more open options such as now, the function can be run by the empowerment of local government. Within the framework of autonomy, local governments were able to map and empower both supporting components and reserve components, as well as all local resources to support the defense function. To cope with the threat of terror, the state government has a security tool, namely the police. Support should be given to the police to handle national security issues, as mandated by the constitution. TNI itself must support increased empowerment of civil capacity to perform the function of the defense area.

Milcom existence, was no longer held up to the village level (Babinsa). Territorial function, if need be maintained, moderately to the level of counties (Kodim). It is given the function of coordination and mobilization of all forces in the area of ​​organic, under the authority of regional military command (kodcam) and military resort command (Korem). The milcom’s existence tends to maintain the military status quo in the region, which has persisted since the implemented Wehrkreise system (zone of defense) in the time of the revolution.

Rejection of the top brass of the army, is inversely proportional to the reality in the region. Milcom existence in some areas turns out directly related to conflict, to ignite  unrest, and even involved in some acts of human rights violations against the community. Based on reports of Commision Of Human Rights (Komnas Ham) in 2010 - March 2011, there were 88 cases of human rights violations are indications, both involving personnel, staff, or territorial institutions in all parts of Indonesia.

Numerous human rights complaints including the seizure of land, forced demolition of some buildings, immoral acts, acts beatings, and even lead to death. In addition, according to Human Rights Watch report in 2008, the existence of territorial commands in various areas related to the presence of military business. Some milcom used to maintain a number of military businesses that had not liquidated or taken over by the Government as mandated by Government Regulation No. 23 of 2009 on Acquisition of Military Business Activities.

In order to establish minimum Defence Forces (MEF), the existence of the milcom need to be reassessed. The assumption is based on a two zone defense, which is the buffer zone (EEZ up to the enemy's territory) and the main defensive zone 2 (the territorial waters of Indonesia territory).The naval and air force become central actors there, and they are not easy to deal with. This is mainly done to make the strengthening of the resistance zone 3 (mainland territory of Indonesia), where the army through milcom has become a major actor of national defense.

In fact, the enemy military aggression will easily enter and destroy Indonesia's defense zone 3, if two zones are not reinforced on its leading edge. MEF tried to respond to this, by strengthening the power of both personnel and equipment on both the navy and air force. Reinforcement should be made to the detachment of the interconnected mengkara (denjaka) Navy and detachment bravo-90 (denbravo-90) Air Force, for not enduring on the strengthening of territorial structures, which tend to be ineffective. Territorial structures would have only run the administrative functions of coaching area, and not empowering the soldiers’ capacity of the frontline battles.

Both of these elite units should be viewed broadly as part of strengthening the two zone defense, including efforts to address terrorism. Plus a special detachment of 88, should have done is coordination among the elite unit who has the expertise on handling terror, rather than on strengthening the territorial structure. Moreover, the national defense budget had allocated some cash for the provision of substantial territorial function, namely 20.6 billion in 2012. Budget for it, would be more effective if used for other military needs which are very imperative, such as welfare of the personnel and the ability of the main tools of weapons systems (defense equipment).

Effectiveness of the territorial command is no longer relevant if applied as in the era of revolution. Reason of the "livelihood" has backed milcom for handling terror forcefully. It still requires more comprehensive study related to the use of territorial structure in the face of terrorism.


HW 
Writter is a research fellow at Center for Global Society Studies (Pacivis)