Translate

Saturday, June 9, 2012

Masa Depan Timor Leste Pasca Horta


Timor Leste akan memasuki babak baru pemerintahan, pasca kemunculan dua calon pemimpin yang diprediksikan mengisi jabatan presiden pada Juli 2012. Berdasarkan perhitungan sementara yang dikeluarkan kantor berita Associated Press (19/03) menempatkan pemimpin partai Fretilin, Francisco Gutteres dan mantan pemimpin pasukan gerilyawan, Taur  Matan Ruak yang didukung Partai Konggres Pembangunan Kembali Timor Leste (CNRT), sebagai dua calon presiden yang akan bertarung pada putaran kedua pada bulan April mendatang.

Kemunculan Gutteres dan Matan Ruak mengeliminasi 10 calon lainnya, termasuk Presiden Jose Ramos Horta. Kinerja Horta sejak menjadi presiden pada tahun 2007, dinilai belum maksimal, bahkan justru menimbulkan friksi internal dengan sejumlah elit, termasuk Xanana Gusmao. Di satu sisi,  kemampuan diplomasi luar negeri Horta yang handal mampu mendatangkan sejumlah investasi luar negeri untuk pembangunan nasional. Namun, di sisi lain, kemampuan diplomasi tersebut justru menimbulkan pertentangan dari dalam negeri, khususnya terkait dua kebijakan yang dinilai merugikan masyarakat Timor Leste, yakni pembangunan tempat penampungan pencari suaka Australia di Dili dan proyek gas alam cair (liquified natural gas/LNG) Woodside Petroleum dengan Australia.

Kinerja yang tidak maksimal dari Horta membuat sebagian besar masyarakat Timor Leste mengalihkan kepemimpinan terhadap tokoh-tokoh baru. Terdapat tiga tantangan yang harus diselesaikan oleh para calon presiden, yakni proses konsolidasi demokrasi di negara pasca konflik, meningkatkan kesejahteraan rakyat dan menjadikan Timor Leste sebagai negara yang berdaulat terhadap keamanan nasionalnya.

Sejak menjadi negara berdaulat pada tahun 2002, Timor Leste menghadapi persoalan konsolidasi demokrasi, khususnya perpecahan di antara para elit nasional yang berimbas pada ketidakpuasan sejumlah lembaga negara. Pasca peristiwa perpecahan tentara dan kepolisian pada tahun 2006, Timor Leste dirundung sejumlah aksi kekerasan yang berpuncak pada penembakan Presiden Ramos Horta pada tahun 2008.  Krisis tersebut menyebabkan jatuhnya pemerintahan  Perdana Menteri Mari Alkatiri.  Sejauh ini peta kepemimpinan masih berada di tangan kekuatan-kekuatan tradisional yang berperan dalam proses kemerdekaan Timor Leste.

 Ironisnya, sumber konflik justru berasal dari perpecahan di antara para elit nasional tersebut. Oleh karena itu, tugas pertama adalah membentuk pemerintahan yang mampu mengakomodir kepentingan berbagai elemen nasional. Pembentukan pemerintahan yang kuat  menjadi kunci awal pembangunan Timor Leste, pasca friksi internal selama kepemimpinan Horta.

Akibat perpecahan elit tersebut, kondisi masyarakat semakin memprihatinkan. Timor Leste menjadi negara dengan index pembangunan manusia terendah di kawasan Asia Pasifik. Tingkat pengangguran mencapai 600.000 ribu orang sejak tahun 2009, dari total penduduk Timor Leste yang mencapai 1,1 juta jiwa.  Tingkat kemiskinan mencapai 60-70 persen pada tahun 2011. Dengan potensi sumber daya alam yang terbatas, yakni minyak dan gas alam, maka pemerintahan terpilih harus berusaha keras mendistribusikan hasil dari kekayaan alam tersebut bagi masayarakat setempat.

 Ketergantungan terhadap ekspor sumber daya alam harus segera dikonversi kepada pembentukan basis-basis ekonomi kerakyatan, seperti pertanian non-subsisten dan perikanan. Selain itu, investasi asing langsung ke Timor Leste selama ini hanya dititikberatkan pada pembangunan infrastruktur, namun tidak diikuiti dengan pemberdayaan masyarakat setempat. Akibatnya lebih dari 50% penduduk Timor Leste masih berada di bawah garis kemiskinan. Ketimpangan tersebut harus segera diatasi dengan memberikan alokasi anggaran yang besar dalam peningkatan sumber daya masyarakat setempat.

Proses pemilu yang aman, tanpa menimbulkan konflik akan menjadi kunci bagi stabilitas nasional pada masa mendatang. Hal tersebut juga akan mempercepat transisi keamanan nasional yang selama ini berada di bawah kewenangan Pasukan Stabilitas  Internasional yang dipimpin Australia.  Sejauh ini Australia sudah berkomitmen untuk meninggalkan Timor Leste pada akhir tahun ini. Namun, hal tersebut akan sangat bergantung dari proses pemilihan umum baik presiden maupun parlemen yang akan berlangsung pada pertengahan tahun ini. Transisi keamanan dari pasukan internasional kepada otoritas keamanan lokal menjadi faktor yang sangat penting terhadap seluruh proses pembangunan di Timor Leste. Krisis 2006 telah menunjukkan bagaimana instabilitas nasional menganggu seluruh proses pembangunan negara termuda tersebut.

Bagi Indonesia sendiri transisi kepemimpinan di Timor Leste akan sangat membantu dalam  menjaga stabilitas regional Asia Tenggara maupun domestik, dimana Indonesia memiliki batas teritorial darat dan laut dengan negara tersebut. Stabilitas di Timor Leste pasca pemilu tahun ini, akan menentukan dalam proses bergabungnya Timor Leste sebagai anggota ASEAN, dimana Indonesia adalah promotor utamanya. Pemilu Timor Leste yang damai tanpa menimbulkan gejolak juga  akan sangat berpengaruh terhadap stabilitas perbatasan kedua negara. Apalagi sampai sekarang, belum terdapat perjanjian perbatasan resmi di antara kedua negara, sehingga pergantian kepemimpinan di Timor Leste akan sangat menentukkan dalam perundingan perbatasan kedua negara pada masa mendatang.

Hipolitus Wangge
Peneliti Pacivis, Universitas Indonesia


No comments:

Post a Comment