Translate

Friday, December 16, 2011

Pendekatan Kesejahteraan versus Pendekatan Keamanan di Papua


Terbentuknya Unit Kerja Percepatan Pembangunan Papua dan Papua Barat (UP4B), pada awal Oktober  kemarin setidaknya memberikan harapan bagi penyelesaian masalah-masalah yang terjadi Papua dan Papua Barat.  Pembentukan UP4B ini merupakan pelaksanaan dari Perpres 65 Tahun 2011 tentang Percepatan Pembangunan Provinsi Papua dan Papua Barat. Sebulan setelah terbentuk, ketua UP4B, Bambang Dharmono menyatakan perlunya memberikan rasa aman bagi masyarakat Papua sebelum menjalankan pendekatan kesejahteraan bagi masyarakat di bumi Cendrawasih tersebut.
Berikutnya peringatan 50 tahun hadirnya entitas politik Papua sejak keluarnya Belanda pada tahun 1961, yang diperingati kemarin (1/12) menjadi tantangan bagi penegakkan keamanan di Papua. Dilaporkan  bahwa  telah terjadi  baku tembak antara pihak TNI-Polri dengan kelompok OPM di daerah Paniai dan meninggalnya anggota kepolisian pasca pemukulan oleh kelompok tidak dikenal. Kedua peristiwa tersebut menjadi gambaran bahwa keamanan masih menjadi titik tolak utama dalam menyelesaikan masalah di tanah Papua.
Terdapat dua hal yang bertolak belakang dari pernyataan ketua UP4B dan peritiswa peringatan 50 tahun hadirnya entitas politik Papua. Di satu sisi, pendekatan kesejahteraan dinilai tepat menjadi salah satu solusi penyelesaian masalah Papua. Strategi pembangunan daerah, melalui priorotas pembangunan infrastruktur dan pembangunan sumber daya manusia dalam bingkai otnomi khusus, dinilai menjadi kunci penyelesian masalah Papua yang berlaru-larut. Pendekatan tersebut sesuai dengan arahan presiden bahwa, pendekatan kesejahteraan harus segera dipercepat untuk menyelesaikan masalah di Papua.
Namun, di sisi lain terlihat jelas masih adanya upaya dari pihak-pihak tertentu, baik pihak yang tidak bertanggung jawab maupun pihak aparat keamanan yang tidak sesuai dengan agenda besar pendekatan kesejahteraan dengan mengedepankan rasa aman masyarakat Papua. Sealin dua contoh tindak kekerasan yang terjadi di Papua pada saat peringatan 50 tahun entitas politik Papua,  sejumlah kekerasan lain telah terjadi sebelumnya. Penganiyaan oleh 7 anggota yonif 755 Merauke terhadap 12  orang warga distrik Kurulu Kabupaten Jayawijaya,yang sedang melakukan pertemuan adat (2/11), penembakan terhadap seorang petugas keamanan di areal  PT Freeport (7/11), dan penggeledahan paksa  tanpa surat izin di asrama Papua Menteng oleh pihak kepolisian, (10/11), merupakan gambaran kontraproduktif terhadap rencana penyelesaian masalah-masalah Papua berlandaskan rasa aman masyarakat Papua. Semangat membangun berdasarkan pendekatan kesejahteraan, terkesan berjalan di tingkatan elit, tetapi tidak dilaksanakan secara efektif.
Berdasarkan fakta masa lalu, bahwa sebagian besar agenda pembangunan di Papua dinilai gagal, bukan hanya karena tidak dijalankannya kebijakan otonomi khusus di Papua, tetapi juga karena munculnya resistensi masyarakat setempat terhadap proses pembangunan tersebut. Masyarakat menolak penyelesaian masalah Papua berdasarkan paradigma Jakarta. Pendekatan kesejahteraan dibangun dengan terlebih dahulu memberikan rasa aman bagi masyarakat Papua. Rasa aman tersebut dimulai dengan mengurangi bahkan menghilangkan trauma masa lalu dan menghentikan seluruh aksi kekerasan baik penembakan tidak bertanggung jawab maupun reprsifitas aparat keamanan terhadap masyarakat Papua. Dengan munculnya rasa aman, diyakini seluruh agenda pembangunan di Papua dapat diterima dengan baik, tanpa adanya resistensi masyarakat.
Rasa aman bagi masyarakat Papua tidak hadir begitu saja tanpa menghilangkan beban dan trauma masa lalu. Sejak menjadi bagian dari NKRI, Provinsi Papua (Irian Jaya) memiliki beban sejarah terkait aksi-aksi kekerasan, khususnya yang dilakukan oleh pihak aparat keamanan masih tersimpan dalam memori kolektif masyarakat setempat.  Berbagai aksi kekerasan yang terjadi di Papua tidak pernah mendapatkan pengakuan berupa pengadilan militer bagi aparat yang melakukan tindakan-tindakan kekerasan tersebut. Salah satu agenda besar reformasi sektor keamanan, yakni reformasi peradilan militer dengan memberikan hukuman setimpal terhadap aparat yang terbukti melakukan tindakan-tindakan pelanggaran ham, ternyata tidak efektif dilaksanakan di Papua. Trauma dan beban sejarah masa lalu tersebut tidak pernah hilang, bahkan dipertegas dengan sejumlah aksi pelanggaran ham sampai dengan hari ini.
Memberikan rasa aman bagi masyarakat Papua, harus lebih diarahkan dengan menghargai keberadaan masyarakat tersebut sebagai warga negara yang memiliki hak dan kewajiban yang sama dengan semua warga negara lain di bumi pertiwi ini. Penghargaan itu dilakukan dengan terlebih dahulu mengidentifikasi beban sejarah dan trauma kolektif masyarakat setempat. Selanjutnya, mengadakan rekonsiliasi persaudaraan antara pemerintah, aparat dan masyarakat setempat. Proses rekonsiliasi dimulai dengan permintaan maaf melalui proses peradilan yang layak bagi para aparat keamanan yang terbukti melakukan tindakan melanggar ham terhadap masayarakat Papua. Hal tersebut akan dilihat sebagai bukti dan komitmen pemerintah terhadap  masyarakat Papua yang selama ini berada dalam kondisi tertekan akibat sejarah dan trauma kolektif.
Proses yang mendamaikan tersebut ditindaklajuti dengan menghilangkan stigma separatisme terhadap masyarakat Papua yang masih tertanam dalam benak pihak keamanan yang bertugas di Papua. Memberikan rasa aman bagi masyarakat di Papua tidak berarti hanya menjaga hak hidup, hak sosial, hak ekonomi, tetapi juga memberikan ruang bagi artikulasi dan  ekskpresi bagi masyarakat Papua yang selama ini diperlakukan secara tidak layak sebagai warga negara Indonesia. Rutinitas dan aktivitas masyarakat harus dipandang sebagai bagian dari dinamika kehidupan masyarakat setempat yang sama statusnya dengan aktifitas masyarakat di berbagai belahan negeri ini. Paradigma kesejahteraan dan penghargaan sebagai warga negara Indonesia harus dimiliki dan dilaksankan secara konsisten, khususnya oleh aparat keamanan di tanah Papua.
Pada akhirnya, seluruh upaya yang akan dilakukan oleh UP4B dapat menjadi jembatan bagi penyelesaian masyarakat Papua yang merindukan kedamaian dan ketentraman. Rasa aman bagi masyarakat Papua, bukan hanya pada persoalan ketiadaan ancaman, tetapi juga menghilangkan trauma kolektif yang selama ini menjadi beban bagi masyarakat setempat. Menjadikan Papua sebagai bagian dari NKRI harus dibuktikan dengan komitmen yang kuat dari Pemerintah Pusat terhadap penyelesaian berbagai masalah yang sudah mengakar sejak lama di bumi Cendrawasih. 
HW
Peneliti-Pacivis Universitas Indonesia Jakarta



No comments:

Post a Comment