Translate

Friday, December 16, 2011

TERPILIHNYA SANG JENDERAL


Terpilihnya Jenderal  (Purn) Endiarto Sutarto sebagai ketua Tim Analisis dan Advokasi KPK menimbulkan pertanyaan besar terkait hubungan sipil militer di tengah pilihan demokrasi bagi negara ini. Seperti yang diketahui, beberapa hari yang lalu, KPK membentuk Tim Analisis Advokasi  (TAA) KPK, yang diketuai mantan panglima TNI tersebut didampingi 9 anggota dari kelompok masyarakat sipil. Tugas yang diemban tim “dadakan” tersebut adalah mencounter upaya-upaya pelemahan peran KPK dalam upaya memberantas tindakan-tindakan korupsi di negeri ini. Spontan tugas yang diembang sang mantan panglima menimbulkan rekasi baik yang rpo dan kontra.
Jenderal (Purn) Endiarto Sutarto merupakan mantan perwira tinggi militer yang menduduki jabatan terakhir sebagai Panglima TNI sejak 2002, sebelum diserahterimakan kepada Marsekal Joko Suyanto pada tahun 2006. Kiprah sang jenderal semasa aktif tergolong sangat memuaskan. Setelah menyelesaikan pendidikan militer , alumnus Akabri angkatan 1972 tersebut mulai berkiprah sebagai. Jabatan terakhir sebagai panglima TNI di bawah kepemimpinan Presiden Abdurahman Wahid
Selama menjabat sebagai panglima TNI, Endiarto Sutarto berada dalam situasi Indonesia yang tergolong mencekam. Berbagai konflik sosial, seperti Ambon, Poso, Aceh dan Papua terjadi di era kepemimpinan beliau. Selian itu, era kepemimpinan  sang jenderal juga ditandai dengan kasus bom bali yang menyita perhatian dunia internasional sampai saat ini. Hal-hal tersebut kemudian menjadi sasaran tembak kelompok pembela hak asasi manusia, karena sang jenderal dinilai gagal dalam mencegah dan menyelesaikan berbagai konflik dan aksi-aksi terorisme di bumi pertiwi.
Setelah pensiun dari jabatan panglima TNI, kiprah sang jenderal tidak pernah dilepaskan dari persoalan kebangsaan. Salah satu kiprah yang dinilai positif, adalah penarikan diri sang jenderal dari jabatan komisaris utama PT. Pertamina pada tahun 2007. Alasan utamanya adalah ketidaksetujuan beliau terhadap rencana pemerintah menaikkan harga BBM, di tengah keadaan  masyarakat Indonesia yang masih terbelenggu kemiskinan. Tindakan tersebut kemudian diikuti dengan suara-suara kritis sang jenderal terhadap kepemimpinan rezim yang berkuasa sampai hari ini.
Kepemimpinan rezim yang berkuasa hari ini, dinilai oleh sang jenderal adalah rezim yang tidak memihak kepada rakyat Indonesia. Bahkan sang jenderal termasuk dalam kelompok purnawirawan yang cenderung bersikap kritis terhadap kinerja kepemimpinan pemeritahan sekarang, yang ironisnya juga berada di bawah kepemimpinan mantan purnawirawan TNI. Pandangan tersebut mengundang simpati kelompok-kelompok masyarakat sipil untuk menggandeng sang jenderal dalam berbagai kegiatan baik sosial maupun politik.
Sebelum terlibat dalam TAA KPK, keterlibatan sang jenderal juga terlihat dalam kasus cicak versus buaya, yang melibatkan dua orang pimpinan KPK Bibit Samad Riato dan Chandra M. Hamzah. Jend. (Purn) Endiarto Sutarto. Pada saat itu, muncul anggapan keberadaan sang jenderal untuk memback-up KPK. Bahkan, keberadaan sang jenderal dianggap mampu menarik dukungan dari kelompok militer untuk berdiri menghadapi  upaya pelemahan institusi pemberantasan korupsi tersebut.
 Hal ini sebenarnya merupakan bentuk inferior complex (Muna:2002), yakni keadaan rendah diri sipil terhadap militer yang memiliki sejarah dominasi yang kuat di negeri ini.  Kondisi tersebut berawal dari rasa ketidakmampuan sipil berhadapan dengan kelompok militer dalam menghadapi dan menyelesaikan persoalan-persoalan kebangsaan. Anggapan bahwa kalangan purnawirawan dapat memback-up institusi tertentu, merupakan ssalah satu bentuk inferior complex. Ketika sejumlah kalangan masyarakat sipil merangkul sang jenderal dalam barisan penyelamat KPK, baik ketika membela kriminalisasi para pimpinan KPK maupun dalam kelompok TAA, menunjukkan ketidakmampuan sipil untuk menghadapi dan mneyelesaikan persoalan bangsa secara mandiri.
Masih berpengaruhnya wibawa militer dan pengaruh yang ditanamkan oleh beberapa mantan perwira tinggi selama aktif di institsui militer, membuat kelompok sipil masih menempatkan kelompok militer, termasuk para purnawirawan sebagai pendukung utama dalam mencapai kepentingan-kepentingan tertentu.
            Pasca lobi  diplomat AS, kelompok purnawiran kembali menata dan memposisikan diri sebagai salah satu kekuatan politik yang masih sangat berpengaruh di negeri ini. Penilaian AS bukan mustahil dilihat dari besarnya pengaruh kekuatan militer, bukan hanya sebagai penjaga kedaulatan NKRI, melainkan juga sebagai kekuatan sosial politik yang bisa menentukan arah pembangunan bangsa ini. Melihat potensi tersebut, tidak mengehrankan jika berbagai kelompok sipil dan institusi pemerintahan berusaha merangkul kalangan tersebut untuk menjadi pendukung utama.
Kekuatan militer, melalui pengaruh para purnawirawan masih sangat kuat tertanam dalam dinamika masyarakat Indonesia. Satu hal yang perlu diperhatikan, sejauh pengaruh para purnawirawan tersebut masih mampu memobilisasi dukungan dari institusi militer, maka masa depan demokrasi Indonesia berada dalam bahaya, karena kontrol demokratik sipil terhadap militer akan tereduksi dengan hegemonitas kalangan purnawirawan.                                                                                                                                   HW-Peneliti Pacivis

No comments:

Post a Comment