Translate

Friday, December 16, 2011

EFEKTIFITAS KOMANDO TERITORIAL


Pada Hut TNI ke 66, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menghimbau diefektifkan kembali komando-komando teritorial di seluruh wilayah Indonesia. Tujuannya adalah membantu pihak kepolisian mencegah dan memberangus terorisme. Himbaun tersebut memiliki sejumlah konsekuensi lanjut terhadap reformasi militer yang masih terus berjalan sejak tahun 1998 dan penguatan  pertahanan nasional berdasarkan Kekuatan Pertahanan Minimal (Minimum Essential Force/MEF).
Salah rekomendasi reformasi TNI sesuai UU No. 2 Tahun 2002 tentang pertahanan nasional adalah melikuidasi struktur komando teritorial di daerah yang tidak rawan konflik, mulai dari struktur terkecil hingga teratas (babinsa, koramil, kodim, korem, dan kodam) . Rekomendasi tersebut didasarkan pada evaluasi kinerja koter pada era orde baru.
Koter pada awalnya didesain untuk memberdayakan seluruh sumber daya dan potensi yang ada di suatu wilayah untuk digunakan demi kepentingan pertahanan nasional. Namun, pada era orde baru, koter digunakan untuk mendukung kepentingan politik rezim tersebut. Koter digunakan sebagai mobilisator dukungan pada saat  pemilu.  Koter digunakan untuk mengawasi seluruh kegiatan masyarakat, khususnya kegiatan-kegiatan masyarakat yang dinilai mengancam stabilitas nasional. Pendekatan represif menjadi salah satu ciri pelaksanaan fungsi koter di era orde baru.
            Pasca era orde baru, TNI melakukan reformasi internal. Sejumlah regulasi TNI dibuat, seperti UU No. 2 tahun 2002 tentang Pertahanan Nasional dan UU No. 32 Tahun 2004 tentang TNI, serta Buku Putih Pertahanan Indonesia tahun 2008.  Dalam regulasi-regulasi tersebut, secara tersirat mengamanatkan penataan kembali sejumlah koter di berbagai wilayah Indonesia. Namun, implementasinya sangat sulit dilakukan. Terdapat dua alasan utama.
Pertama, masih dipertahankannya doktrin pertahanan nasional, sistem pertahanan semesta (sishanta). Doktrin ini mengasumsikan seluruh komponen dan sumber daya nasional digunakan untuk mempertahankan kedaulatan NKRI. Hal tersebut membuat koter menjadi “tulang punggung” dalam memetakan dan memberdayakan seluruh komponen dan sumber daya di setiap wilayah negeri ini. Kedua, tidak terdapatnya keinginan yang kuat dari jajaran pimpinan angkatan darat untuk menata kembali seluruh koter. Koter dipandang masih perlu untuk mengamankan seluruh wilayah NKRI dari berbagai potensi ancaman yang muncul dari dalam masyarakat, termasuk terorisme.
Di era reformasi dengan pilihan demokrasi seperti sekarang, fungsi pemberdayaan wilayah mampu dijalankan oleh pemerintah daerah (pemda) setempat. Dalam kerangka otonomi, pemda setempat mampu memetakan dan memberdayakan baik komponen pendukung maupun komponen cadangan, serta seluruh sumber daya lokal untuk menunjang fungsi pertahanan. Untuk menanggulangi ancaman teror, pemda memiliki alat kemananan negara, yakni kepolisian. Dukungan seharusnya diberikan kepada pihak kepolisian untuk menangani persoalan keamanan nasional, sesuai amanat konstitusi. TNI sendiri harus mendukung peningkatan kapasitas sipil untuk melakukan fungsi pemberdayaan wilayah pertahanan.
Keberadaan koter, tidak perlu lagi digelar sampai tingkatan desa (babinsa). Fungsi teritorial, jika perlu dipertahankan, cukup sampai tingkatan kabupaten (kodim). Hal tersebut mengingat fungsi koordinasi dan mobilisasi seluruh pasukan regular di daerah, berada di bawah kewenangan komando daerah militer (kodam) dan komando resort militer (korem). Keberadaan koter cenderung untuk mempertahankan status quo militer di daerah, yang telah bertahan sejak diterapkan sitem wehrkreise (kantong-kantong pertahanan) pada zaman  revolusi.
Penolakan para petinggi angkatan darat, berbanding terbalik dengan kenyataan di daerah. Keberadaan koter di beberapa daerah tidak rawan konflik ternyata, menimbulkan keresahan, bahkan tindak pelanggaran ham terhadap masyarakat. Berdasarkan laporan Komnas Ham tahun 2010 sampai Maret 2011, terdapat 88 kasus indikasi pelanggaran ham, baik yang melibatkan personil, staf, maupun institusi teritorial di seluruh wilayah Indonesia.
Sejumlah pelanggaran ham yang diadukan diantaranya perebutan lahan, pembongkaran paksa sejumlah bangunan,  tindakan asusila, tindakan pengeroyokan, bahkan mengakibatkan kematian. Selain itu, berdasarkan laporan Human Rights Watch tahun 2009, keberadaan komando-komando teritorial di berbagai daerah berhubungan dengan keberadaan bisnis militer. Sejumlah koter digunakan untuk mempertahankan sejumlah bisnis militer yang belum dilukuidasi atau diambilalih oleh Pemerintah sesuai amanat Peraturan Pemerintah Nomor 23 tahun 2009 tentang Pengambilahan Aktivitas Bisnis Militer.
Dalam rangka membangun Kekuatan Pertahanan Minimal (MEF), keberadaan koter perlu dikaji kembali. Asumsi yang selama ini dibangun adalah dua zona pertahanan, yakni zona 1 penyangga (ZEE hingga wilayah musuh)  dan zona 2 pertahanan utama (wilayah perairan teritori Indonesia), dimana angkatan laut dan anagkatan udara menjadi aktor-aktor sentral, tidak bisa dipertahankan. Hal tersebut membuat penguatan terutama dilakukan terhadap zona 3 perlawanan (wilayah darat teritori Indonesia), dimana angkatan darat melalaui koter menjadi aktor utama pertahanan nasional. 
Padahal, agresi militer musuh akan dengan mudah memasuki dan menghancurkan zona 3 pertahanan Indonesia, jika dua zona terdepan tidak dikuatkan.  MEF berusaha merespon hal tersebut, dengan memperkuat kekuatan baik personil maupun peralatan kedua angkatan tersebut. Penguatan seharusnya dilakukan terhadap  detasemen detasemen jala mengkara (denjaka) TNI AL dan detasemen bravo-90 (denbravo-90) TNI AU, bukan lagi pada penguatan struktur teritorial, yang cenderung tidak efektif. Struktur teritorial selama ini hanya menjalankan fungsi administratif pembinaan wilayah.
Kedua satuan elit tersebut harus dilihat secara luas sebagai bagian dari penguatan dua zona pertahanan, termasuk upaya penanganan terorisme. Ditambah detasemen khusus 88, seharusnya yang dilakukan adalah koordinasi antara satuan elit yang memiliki keahlian penagangan teror, bukan pada penguatan struktur teritorial. Apalagi anggaran pertahanan nasional yang dialokasikan untuk penyelengaraan fungsi teritorial cukup besar, yakni 20,6 miliar pada tahun 2012 mendatang. Anggaran sebesar itu, akan lebih efektif jika digunakan untuk kebutuhan militer lainnya yang sangat mendesak, seperti kesejahteraan personil maupun kemampuan alat utama sistem persenjataan (alutsista).
Efektifitas komando teritorial tidak lagi relevan seperti pada era revolusi. Alasan “penghidupan” kembali koter untuk penanganan teror cenderung dipaksakan. Diperlukan kajian yang lebih komprehensif terkait penggunaan struktur teritorial dalam menghadapi terorisme.
HW
Peneliti Pacivis, Universitas Indonesia

No comments:

Post a Comment