Translate

Friday, July 29, 2011

KEWARGANEGARAAN ASEAN SEBAGAI MIMPI?


KTT ASEAN ke-14 di Bangkok Thailand pada akhir Februari 2010  merupakan sebuah pertemuan pertama tingkat kepala negara di tengah situasi global yang  tidak menentu, akibat krisis global. Pertemuan kali ini membahas sejumlah isu penting, seperti integrasi regional ASEAN 2015, pembentukan badan HAM regional, pembangunan infrastruktur demi penguatan  tiga pilar ASEAN, yakni ASEAN Economic Community (AEC), ASEAN Security Community (ASC), ASEAN Socio and Cultural Community (ASCC), usaha bersama penanganan krisis global, serta masalah etnis Rohingya. Semua isu diatas berkenaan dengan kondisi regional Asia Tenggara yang mengalami peningkatan interaksi dalam berbagai bidang.
Di samping sejumlah agenda di atas juga terdapat persoalan pokok yang cenderung diabaikan oleh para petinggi negara (baca: elite), yakni identitas ASEAN.  Uni  Eropa yang dijadikan referensi utama dalam mengkonsepkan ASEAN Community 2015 dibangun atas homogennitas sejarah,latar belakang budaya,bentuk pemerintahan serta tingkat kesejahteraan yang ekuivalen di hampir seluruh negara Eropa (baca: Eropa Barat). Namun, di hampir seluruh negara ASEAN terdapat begitu banyak perbedaan yang kemudian berpotensi untuk menumbuhkan kluster-kluster tertentu. Persamaan sejarah selalu dijadikan dasar pengakuan kesamaan masyarakat ASEAN, tetapi dilihat lebih jauh, ternyata masih terdapat begitu banyak perbedaan yang selama ini cenderung diabaikan. Perbedaan latar belakang sejarah budaya, bentuk pemerintahan yang bermuara pada tersendatnya distribusi nilai-nilai demokrasi yang merupakan jiwa komunitas ASEAN 2015, konflik perbatasan, sampai  perbedaan tingkat kesejahteraan.
Identitas merupakan hasil proses identifikasi dan distinction  yang membantu kelompok sosial membangun kohesinya dan menetapkan posisinya berhadapan dengan bangsa lain. Maka keyakinan,loyalitas,solidaritas anggota-anggotanya terwujud bila masyarakat saling mengakui hak dan kewajibannya karena status mereka sama                       (E Gellner,1983:7). Identitas masyarakat ASEAN mengalami distorsi akibat munculnya sejumlah perbedaan mendasar yang belum banyak digali dalam pertemuan-pertemuan ASEAN. Latar belakang sejarah kolonial yang berbeda. Kawasan Indocina                (Vietnam, Kamboja, dan Laos) yang dijajah oleh Prancis, Filiphina yang dijajah Spanyol,tetapi “dikawal ketat oleh” Amerika Serikat, Inggris menjadi “induk semang”  Malaysia dan Singapura serta Indonesia yang selama lebih dari tiga setengah abad dininabobokan oleh Belanada. Warisan kolonial kemudian mempertegas perbedaan kohesi diantara negara-negara tersebut, berupa bentuk pemerintahan. Kawasan Indocina cenderung berorientasi komunis sebagai akibat persaingan ideologi perang dingin. Brunei yang masih memegang teguh pada sistem pemerintahan monarki konstitusional, Malaysia dan Thailand yang bersifat semi-demokratis akibat masih bercokol feodalisme. Singapura yang melanggengkan oligarkhi politik, dengan munculnya budaya patronase dengan menampilkan sosok tertentu sebagai ‘raja”. Myanmmar yang masih berkutat dengan status quo yang dimiliki oleh junta militer. Hanya Indonesia dan Filiphina yang cenderung menampilkan sistem pemerintahan demokrasi liberal, tetapi dengan catatan masih terdapat sejumlah potensi konflik internal akibat warisan kolonial. Ketika identitas ASEAN didengungkan, sejumlah bangsa di Asia Tenggara mulai memunculkan sejumlah sentimen kebangsaan akibat perbedaan pemahaman atas komunitas bersama (imagined community). Malaysia mulai mengklaim berbagai warisan budaya Indonesia sebagai komoditas yang memiliki nilai komersil tertentu. Akibatnya muncul slogan ganyang Malaysia ala 1950-an di beberapa daerah. Belum lagi persoalan perairan Ambalat yang masih diperdebatkan kepemilikannya oleh kedua negara yang memiliki akar rumput sama. Persoalan lintas batas antara Indonesia-Filiphina sebagai dampak gerakan separatis di Filiphina Selatan. Konflik perbatasan antara Kamboja-Thailand yang sempat memanas, sampai persoalan etnis Rohingya yang melibatkan tiga negara ASEAN, yakni Myanmmar-Thailand-Indonesia. Permasalahan HAM antar negara ASEAN juga mendapat perhatian. Konsep pembentukan badan HAM regional hanya sampai pada tingkat promosi, tetapi pada tahap implementasi selalu mental. Hal ini dikarenakan prinsip non-intervention melalui mekanisme aturan dan hukum nasional dijadikan dasar utama penerapan konsep ham regional.
Sejumlah permasalahan diatas merupakan pekerjaan rumah yang membutuhkan konsentrasi lebih dari seluruh stakeholders ASEAN. Identitas ASEAN dibentuk atas dasar solidaritas dan loyalitas seluruh masyarakat ASEAN terhadap kohesi yang dimiliki sebagai satu komunitas bersama yang menganggap yang lain sebagai saudara bukan “musuh”. Tanpa adanya kesadaran bersama atas konsep komunitas  ASEAN,maka impian akan terwujudnya suatu komunitas yang lebih dari sekedar integrasi regional hanyalah mimpi. Kesadaran bersama itu dapat dimulai dengan membangun pemahaman bersama melalui interaksi berkelanjutan antara seluruh elemen ASEAN, mulai dari pemuda sampai kaum intelektual, bukan hanya dinikmati oleh segelintir  elit. Mengutip perkataan teman saya dari Papua, ASEAN dibentuk dari dan untuk elit, hendaknya dijadikan refleksi bagi  kita semua.


Selasa 10 Maret 2009
Hipolitus Y.R Wangge
Anggota Forum Academia NTT

No comments:

Post a Comment