Translate

Friday, July 29, 2011

PERGANTIAN KEPEMIMPINAN: LANGKAH RAPUH MEMBANGUN PROFESIONALISME TNI

Penunjukkan Panglima baru TNI Laksmana Agus Suhartono, juga dibarengi dengan pergantian sejumlah besar jajaran pimpinan TNI lainnya. Semenjak 17 November sampai 18 Oktober 2010, terdapat 17 pergantian personil TNI. Pergantian-pergantian tersebut, bagaimanapun tidak hanya menempatkan para perwira dari angkatan akademi militer tahun 1976 ke angkatan 1978 dalam jajaran kepemimpinan TNI, tetapi juga merupakan promosi yang cepat bagi angkatan 1980 ke angkatan 1982.[1]

Profesionalisme Militer

Peningkatan promosi yang cepat dari generasi 1980 adalah untuk mengatasi keterputusan pengisisan posisi jajaran elit militer dan beberapa kematrian sipil. Bandingkan dengan angkatan 1975 dengan 303 lulusan, total lulusan dari Akademi Militer dari Angkatan  1976 sampai 1978 adalah 247 perwira. Berdasarkan hal tersebut, Angkatan 1980 harus mengisi gap tersebut, terutama di tingkatan pertama dan kedua jajaran pimpinan TNI. Diantaranya adalah Pramono Edhi Wibowo (Komandan Komando Strategis Angkatan Darat, Kostrad), Moeldoko (Pangdam Jawa Barat), Lodewijk F. Paulus (Komandan Komando Pasukan Khusus, Kopassus) Wakil Laksama Marsetio (Wakil Kepala Staf Angkatan Laut).
Hal apa yang perlu dicatat dari pergantian tersebut? Para lulusan dari angkatan tersebut memiliki kesempatan yang jauh lebih besar untuk menunjukkan kapabilitas mereka kepada profesionalisme militer. Terdapat tiga alasan untuk hal tersebut.
Pertama, walaupun ukuran yang kecil dari angkatan 1980-1982, rata-rata 100 perwira per angkatan, norma-norma keprofesional seharusnya lebih diutamakan dalam penentuan jabatan dan posisi institusi militer. Berdasarkan jumlah jabatan strategis dalam jajaran kepemimpinan TNI, para perwira muda tersebut seharusnya merasa nyaman tentang karier dan bersandar pada kemampuan-kemampuan professional mereka sebagai kunci dalam penempatan jabatan militer. Jabatan-jabatan non-militer kurang menarik  dalam penilaian para perwira untuk membuktikan keprofesionalan mereka tersebut.
Kedua, dalam perencanaan yang sedang berlangsung terkait  pembentukan divisi udara di bawah Kostrad, para perwiara muda tersebut sangat berhasrat untuk menunjukkan kemampuan profesionalismenya untuk menjapai jabatan-jabatan dalam institusi militer. Sebagain besar jajaran pimpinan TNI, termasuk Panglima TNI dan tiga kepala staf akan mengalami masa pensiun pada tahun 2012 dan 2013, para perwira muda tersebut akan segera bergabung dengan teman satu angkatan mereka dalam struktur komando pusat TNI.
Ketiga, dengan perkembangan teroris dan ancaman-ancaman non-tradisional lainnya, para perwira muda tersebut akan lebih fokus memilih pada misi-misi seperti, counter-terrorrism, counter-maritime piracy, dan keamanan perbatasan, sebagai kewajiban untuk menunjukkan kemampuan-kemampuan militer dan memperoleh pengalaman lapangan. Rupanya, mereka juga akan berkomitmen  untuk melakukan operasi penjagaan perdamaian. Sejumlah karakteristik diatas tidak hanya membantu mereka meningkatkan kepercayaan terkait kemampuan militer untuk promosi pada masa yang akan datang, tetapi juga mendapatkan tambahan pendapatan (sekitar USD 1500 per bulan untuk setiap perwira).

Kemungkinan Kemunduran

Fenomena tersebut, sangat sulit untuk bertahan dalam waktu yang lama. Angkatan 1983-1991  memiliki kelompok perwira yang lebih besar dengan rata-rata 250 periwra per tahun. Para perwira tersebut mungkin akan mencari jabatan non-militer di kementrian-kementrian sipil dan lembaga-lembaga non-pertahanan. Tren tersebut kontra-produktif dalam menanamkan perilaku-perilaku keprofesionalan militer.
Tanpa perencanaan tenaga kerja komprehensif dan sistem promosi berbasiskan jasa, proses politik berkelanjutan akan mempengaruhi pengambilan keputusan institusi untuk jabatan-jabatan militer. Meskipun menekankan pada kemampuan-kemampuan profesional, faktor-faktor “parochial” seperti afiliasi politik dan ikatan primordial akan menjadi faktor-faktor kunci untuk promosi.
Seperti beberapa pertanyaan yang tidak dapat disepelehkan muncul terkait promosi Jenderal Bintang Tiga Pramono Edhie Wibowo, yang adalah saudara ipar dari Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Beberapa pengamat politik berspekulasi bahwa promosi tersebut adalah bagian dari langkah hati-hati untuk memasukkan pilihannya ke  celah kunci militer. Yang lain percaya bahwa setelah menjabat sebagai Komandan Kostrad, hal itu akan menjadi mudah bagi Pramono untuk menjadi Kepala Staf Angkatan Darat (KASAD) dan secara otomatis akan menjadi Panglima TNI.
Yang lain bagaimanapun menilai tidak mungkin. Bahkan, jika Pramono menjadi Kasad pada 2011, beliau mungkin tidak layak menjadi pengganti Laksamana Agus suhartono, yang akan pension pada Agustus 2013. Undang-Undang No.34/2004 tentang TNI mengamanatkan masa pensiun pada usia 58 tahun. Pramono akan mencapai usia tersebut pada 5 May 2013. Kemungkinan, skenario lain agar Pramono menjadi Panglima TNI adalah menunda masa pensiun beliau pada awal pergantian Panglima TNI.
Skenario tersebut tidak hanya akan menjadi kontroversi secara politik, menjelang pemilu pada 2014 mendatang tetapi jauh lebih penting akan menghambat sistem regenerasi perwira TNI. Ketika kepensiunan Jenderal Endriartono Sutarto ditunda pada 2004, keputusan ini menimbulkan kebuntuan besar bagi promosi karir, membuat frustasi para perwira TNI pada saat itu.

Kesucian Etos Profesionalisme

Untuk menjamin stabilitas nasional selama pemilu, Presiden Yudhoyono seharusnya mempertimbangkan kemapuan para perwira dari Angkatan 1980an yang akan pensiun pada 2014 untuk mengisi posisi-posisi kunci pada struktur tertinggi kepemimpinan TNI. Tidak akan yang jauh lebih penting, pergantian dari Panglima TNI era sekarang dan wakil panglima  harus memiliki kualitas komando yang solid dan visi yang inovatif. Beberapa kualifikasi yang disorot tidak hanya mempertahankan integritas institusi TNI, tetapi juga memeriksa dengan seksama seluruh infrastruktur organisasi dan sistem perencanaan personil.
Di tingkat lingkungan politik tertinggi, tantangan terbesar bagi kepemimpinan TNI adalah mengisolasi jabatan-jabatan perwira dari pengaruh-pengaruh politik dan mempertahankan kesucian sistem promosi berbasiskan jasa/rekam jejak karier. Baru-baru ini, Presiden Yudhoyono telah mengeluarkan Peraturan Pemerintah (PP) No. 39 tahun 2010 tentang administrasi dan Peraturan Presiden (Perpres) No.10/2010 tentang Struktur Organisasi TNI. Peraturan-peraturan tersebut sangat penting:peraturan-peraturan tersebut secara khusus mengatur terminology dan pendaftran peserta, sistem pendidikan dan persyaratan-persyaratannya, serta kebijakan-kebijakan promosi dan pemeringkatan, termasuk pendapatan perwira kedalam pembangunan profesionalisme militer.
Dalam keadaan tersebut, para pengambil keputusan negara dan kepemimpinan TNI harus membuat regulasi-regulasi dan menguatkan etos-etos profesionalisme: apolitis dan patuh terhdap proses pengambilan keputusan nasional. Jika etos-etos tersebut dikesampingkan dalam pelaksanaan promosi dan jabatan-jabatan militer, akan membahayakan transformasi organisasional ke dalam birokrasi nasional dan birokrasi berdasarkan hukum.

Hipolitus Wangge
Peneliti Pacivis/UI


[1] Tulisan merupakan disadur dari artikel sdr. Lisgindarsah yang dipublikasi di RSIS Commentaries S. Rajaratman School of International Studies, tertanggal 6 Januari 2011.

No comments:

Post a Comment