Translate

Saturday, July 30, 2011

RESTRUKTURISASI KOMANDO TERITORIAL: SUATU KAJIAN POLITIK

[1]Pembinaan teritorial yang dikenal di Indonesia sekarang ini adalah pelaksanaan Doktrin Pertahanan Rakyat Semesta (Hankamrata) yang pada dasarnya merupakan doktrin pertahanan yang diwarisi dan dikembangkan dari pengalaman pada perang kemerdekaan di zaman revolusi dahulu. Almarhum Jenderal Besar A.H Nasution berkali-kali menegaskan bahwa perang rakyat semesta adalah alternarif yang tidak bisa dihindari oleh negara miskin yang bertempur melawan tentara negera kaya yang berperang dengan dasar doktrin perang konvensional.
Perang rakyat semesta mensyaratkan peranan penting rakyat, dengan tentara profesional sebagai inti kekuatan pertahanan. Dalam rangka pelaksanaan Doktrin Hankamrata inilah diperlukan aparat teritorial untuk mempersiapkan wilayah-wilayah Indonesia berperang dengan kekuatan gabungan rakyat dan tentara pada saat datangnya musuh. Wilayah Indonesia dibagi ke dalam wilayah-wilayah teritorial (Kodam) yang masing-masing dipimpin oleh seorang panglima atau komandan. Tugas kodam adalah mempersiapkan wilayah masing-masing untuk melakukan perang rakyat semesta pada saat negara diserang oleh kekuatan luar.
Dalam kenyataannya, aparat teritorial pada masa orde baru digunakan atau disalahgunakan untuk tujuan-tujuan politik penguasa dengan mengangkat Panglima Kodam menjadi aparat pelaksana Komkamtib dari Pembina Golkar. Kedudukan sebagai Pembina Laksus (pelaksana khusus) Komkamtib inilah terutama yang menjauhkan rakyat dari aparat teritorial  tersebut, karena pada akhirnya aparat teritorial menjadi alat untuk menggiring dan mengontrol rakyat bagi suksesnya program politik dan ekonomi penguasa. Dan karena selama ini tentara mempunyai peran sosial-politik yang dikenal sebagai doktrin Dwifungsi, maka tidak mengherankan jika masyarakat melihat kehadiran Kodam dan aparat teritorial di bawahnya sebagai bagian dari perangkat pelaksana Dwifungsi. Jelas sekali pandangan masyarakat yang keliru ini bersumber pada penyalahgunaan aparat teritorial oleh pemerintah Orde Baru yang didukung oleh tentara.
Bagaimana hari depan aparat teritorial, dan pembinaan teritorial di Indonesia? Jawaban terhadap pertanyaan ini terpulang pada pilihan kita kepda macam atau jenis doktrin pertahanan yang kita gunakan dengan konsekuensi masing-masing. Kalau kita mimilih doktrin perang konvensional, maka kita tidak perlu aparat teritorial. Dengan tidak adanya aparat teritorial ini, tidak berarti kita tidak lagi menganut doktrin perang semesta, sebab di zaman modern ini tidak ada lagi perang yang tidak semesta. Dan jika kita berbicara tentang perang semesta, maka sebaiknya kita jangan hanya merujuk kepada perang gerilya yang dilakukan pada zaman revokusi dahulu. Pengalaman kita itu hanya satu dari banyak kemungkinan perwujutan perang rakyat semesta.
Jika seandainya perang kita adalah perang konvensional, suatu pilihan yang mungkin sulit dihindari kelak, maka pilihan tersebut mensyaratkan biaya yang tinggi bagi pembiayaan tentara dan peralatannya.
Pilihan terhadap jenis doktrin pertahanan macama apapun yang diinginkan, merupakan urusan yang terlalu penting untuk diputuskan hanya oleh tentara sendiri, menginat ini menyangkut bukan soal teknis semata. Pilihan tersebut haruslah merupakan keputusan politik yang dilakukan oleh rakyat lewat wakil-wakil mereka di DPR/MPR.

Pilihan Jangka Pendek
Dalam berbagai kesempatan, Letnan Jenderal TNI Agus Widjojo, Kepala Staf Teritorial (kaster)[2] TNI, berbicara mengenai tiga pilihan pelaksanaan struktural Doktrin Pertahanan Rakyat Semesta itu. Pilihan Pertama, mempertahankan seperti yang ada sekarang: pilihan kedua, seperti yang ada sekarang, minus jangkauannya ke dalam masyarakat, sedang pilihan ketiga, menghapuskan Koter, dan tentara disusun dalam divisi-divisi saja.
Saya mendapat kesan bahwa Agus Widjojo pada khususnya dan TNI pada umumnya, lebih cenderung pada pilihan kedua, artinya koter masih seperti sekarang, tetapi fungsi pembinaannya dilakukan lewat pemerintah daerah sebagai aparat yang betul-betul mengetahui daerahnya yang para pemimpinnya dipilih oleh rakyat secara demokratis. Karena aparat teritorial tidak lagi menjangkau ke dalam masyarakat, maka aparat teritorial yang selama ini selalu bersentuhan dengan masyarakat, Komando Distrik Militer (Kodim), Kmando Rayon Militer (Koramil), Bintar Pembina Desa (Babinsa, dengan sendirinya akan hilang. Selain itu, untuk menghindari campur tangan tentara ke urusan-urusan pemerintahan atau kemasyarakatan, maka markas Kodam sebaiknya tidak diletakkan di kota yang sama dengan kantor Gubernur.
Untuk waktu dekat ini pilihan Agus Widjojo dan TNI itu agaknya merupakan pilihan yang paling realistis. Sebagai konsekuensinya, TNI memang akan lebih tampil sebagai alat pertahanan negara. Dalam hal ini barangkali ada baiknya jika posisinya sebagai alat negara yang strukturnya diperkuat. Sehubungan itu saya ingin mengusulkan agar setiap Kodam bertanggungjawab untuk mempertahankan wilayahnya, tetapi dilakukan dalam payung pertahanan bersama wilayah tertentu yang berada di bawah pimpinan seorang Panglima Mandala yang bersifat gabungan. Karena bersifat gabungan, maka kodam-kodam itu nantinya bersifat gabungan sesuai dengan corak daerah yang menjadi tanggungjawabnya. Daerah maritim coraknya maritim, daerah Angkatan Udara bercorak dirgantara, daerah darat bercorak Angkatan Darat.
Komando Mandala bukan aparat teritorial, tetapi tugasnya adalah bertanggung jawab mempertahankan mandalanya secara mobile dan teritorial dengan bertumpu pada kodam-kodam yang dibawahinya. Berapa mandala yang diperlukan Indonesia? Mungkin dua, mungkin tiga.

Pilihan Jangka Panjang
Entah untuk waktu berapa lama kita bertahan dengan pilihan jangka pendek tersebut. Perkembangan cara berperang, alat perang, perkembangan masyarakat kita sendiri, semua akan memaksa kita perkembangan masyarakat kita sendiri, semua akan memaksa kita untuk tidak bisa tetap bertahan dengan pilihan jangka pendek ini. Pada tingkat tertentu perkembangan-perkembangan yang disebutkan tadi, maka pengorganisasian tentara juga harus berubah. Perang, persenjataan, tingkat perkembangan masyarakat, bentuk hubungan politik antarnegara, semua secara bersama mempengaruhi dinamika pertahanan negara di semua penjuru dunia. Pada tingkat tertentu perkembangan masyarakat kita tidak akan memerlukan pembinaan lagi, pada tingkat tertentu perekonomian dan peradaban kita, perang gerilya hanya akan menjadi cerita romantic bagi anak cucu kita. Pada saat itu Doktrin Pembinaan Wilayah dan aparat koter hanya akan menjadi benda-benda yang menarik sebagai koleksi museum sejarah kita.
Ada pun sekarang, ketika polisi baru mulai belajar kembali menjadi polisi setelah lebih dari 32 tahun termiliterkan, ketika ancaman disitegrasi mengintai di berbagai oenjuru, tatkal konflik horizontal setiap saat bisa terjadi di mana saja, kapan saja, dan dengan alasan apa saja, keberadaan koter di berbagai tempat untuk sementara haruslah diterima.
Cuma saja haruslah selalu diingat bahwa Koter nanti janganlah berpretensi sebagai Big Brothers yang serba tahu seperti di masa lalu. Sejarah Koter adalah sejarah yang sarat dengan sikap dan mental Big Brothers, yang bersumber pada apa yang di mata tentara dianggap sebagai “kegagalan sipil”. Tetapi pengalaman Orde Baru selama 32 tahun mengajarkan kita semua bahwa TNI juga tidak berhasil mengatasi persoalan-persoalan yang dihadapi di Indonesia. Banyak bahkan persolan rumit yang kita hadapi sekarang ini dapat dilihat sebagai akibat kegagalan TNI sebagai tulang punggung utama orde baru. Mungkin tidak berlebihan untuk mengatakan bahwa pasca Orde Baru adalah suatu masa di mana “kerja sama” anatara kaum sipil dan militer dibangun berdasarkan aturan-aturan konstitusional yang konsekuensinya adalah ‘politik negara adalah politik tentara’.

Teritiorial dan Politik
Kritik terhadap aparat teritorial yang muncul menyertai serangan terhadap dwifungsi, adalah sesuatu yang salah kaprah. Aparat teritorial dilihat oleh para pengkritiknya sebagai alat politik tentara untuk melaksanakan program politik militer. Kritik mereka didasarkan pada pengalaman orde baru ketika Koter berperan sebagai laksus kopkamtib dan para panglima menjadi pembina golkar. Tapi persoalannya koter itu tidak pernah menjadi alat politik.
Sejarah koter tidak bisa dipisahkan dari perang gerilya yang kita alami di zaman revolusi dahulu, serta perang antigerilya yang dilakukan TNI terhadap DI/TII serta sisa-sisa pemberontakan PRRI/Permesta. Pengalaman Indonesia, dan pengalaman dunia menunjukkan bahwa perang gerilya tidak pernah bebas politik. Inilah dasar mengapa anggota TNI di masa revolusi menyebut diri mereka pejuang kemerdekaan (freedom fighter) lebih dari sekedar hanya anggota tentara. Ideology dan politik gerilya di zaman revolusi adalah kemerdekaan dari penjajah Belanda. Ideologi politik tentara dan teritorium di tahun lima puluhan adalah menjaga integritas Negara Kesatuan Indonesia. Adapun ideology dan politik Koter dan di zaman menjelanghingga zaman demokrasi terpimpinadalah mencegah Republik Indonesia jatuh ke tangan komunis. Sementara politikm koter di zaman Orde Baru, paling tidak pada paruh kedua perjalanan Orde Baru, adalah politik dan ideologi untuk memperpanjang dan mempertahankan kekuasaan penguasa Orde Baru. Maka ketika Orde Baru terpuruk, selain Dwifungsi, koter juga jadi sasaran pembubaran. Bisa dibayangkan bahwa seandainya PKI dulu menang, terhadap koter pilihan mereka hanya dua, membubarkan atau justru memanfaatkan Koter untuk melindaslawan-lawan politik PKI, sebagaimana yang kemudian dilakukan oleh Orde Baru. Dari pengalaman ini, satu pelajaran penting yang kita peroleh yakni Koter akan memusuhi dan dimusuhi rakyat jika tentara mempunyai program politiknya sendiri lepas dari politik negara yang dirumuskan dan diputuskan oleh wakil rakyat dan pemerintah yang dipilih rakyat secara demokratis.
Atas dasar pengalaman dan pertimbangan inilah maka pembicaraan mengenai fungsi dan struktur teritorial jangan sampai hanya dianggap sebagai pembicaraan teknis belaka. Kontroversi di sekitar fungsi dan struktur teritorial ini adalah soal politik. Yang menyangkut  jarak alokasi kekuasaan negara dengan tentara, penggunaan kekuasaan tersebut, persiapan serta pengelolaannya. Oleh sebab itu, persoalan ini dalam bentuk Undang-Undang Pokok Pertahanan serta Undang-Undang yang mengelaborasinya-adalah domain para politisi terpilih.


Makalah untuk semiloka teritorial TNI, diadakan oleh Mabes TNI, Jakarta 24-25 Januari 2001

Salim Said
Pengamat Politik Militer/Guru Besar Ilmu Politik Universitas Muhammadyah Malang
Pengajar di beberapa Universitas di Indonesia, seperti Universitas Indonesia, Universitas Pertahanan Nasional, Universitas Muhammadyah Malang, Lemhanas, Seskoad, dan beberapa universitas lainnya.



[1] Artikel ini disadur dari buku Militer Indonesia dan Politik: Dulu, Kini dan Kelak, Salim Said, (Jakarta: Sinar Harapan), 2001
[2] Jabatan kaster sudah dihapuskan dalam struktur militer sebagai bagian dari upaya reformasi militer (1998-2004).

No comments:

Post a Comment