Translate

Friday, July 29, 2011

TROWULAN: PERADAPAN YANG HILANG?



Hampir 200 tahun (1293-1521) sebuah kerajaan besar berdiri di ujung timur pulau Jawa. Kerajaan yang kemudian dikenal sebagai kerajaan Majapahit, memiliki arti yang begitu  penting bagi perkembangan bangsa Indonesia. Melalui salah satu sumpah terkenal, Amukti Palapa (Sumpah Palapa) , sang Jenderal besar pada masa itu, Gadjah Mada mendeklarasikan konsep nasionalisme nusantara. Sebuah konsep nasionalisme yang lebih dahulu menggema dibandingkan konsep nasionalisme Hatta dan kawan-kawan di Belanda, pada 1920. Selain itu, pada masa Majapahit, kitab Sutasoma karangan Mpu Prapanca ditulis. Di dalam kitab ini, ditemukan istilah Bhinneka Tunggal Ika dan kemudian dijadikan semboyan negara kita. Kerajaan Majapahit juga merupakan salah satu Kerajaan terbesar di Asia Tenggara pada abad ke-XIII. Hal ini dibuktikan dengan luasnya daerah jajahan Majapahit, mulai dari sebagian Semenanjung Malaka sampai Ambon.  Bahkan untuk mengenang kebesaran kerajaan ini, sastrawan handal, Pramoedya Ananta Toer menulis salah satu buku fenomenal, Arus Balik.
Memasuki 2009, gaung Majapahit kembali diperdengarkan. Bukan karena kebesarannya tetapi mengenai pembangunan  proyek megah milik pemerintah, yakni Pusat Informasi Majapahit (PIM). Proyek yang menurut rencana akan menghabiskan dana sebesar 25 miliar, berlokasi di ibukota kerajaan Majapahit pada masa lalu, yakni Trowulan, Kabupaten Mojokerto, Jawa Timur. Proyek megah ini mengundang kontroversi. Proyek ini dibangun di atas sisa kerajaan Majapahit. Beberapa fondasi awal proyek, ternyata menghancurkan situs-situs Majapahit, seperti kanal, situs tempat pemakaman, situs agama, dan beberapa situs lainnya. Proyek ambisius ini sendiri telah melanggar standar prosedural arkeologi dan Undang-Undang nomor 5 tahun 1992 mengenai cagar budaya. Dari segi arkeologi, pembangunan PIM sangat jelas menggambarkan rendahnya penghargaan bangsa ini terhadap peninggalan sisa-sisa peradapan bangsa dan dunia. Ketika Yunani masih memiliki dan menjaga sisa-sisa Acropolis di Athena, Italia menyimpan reruntuhan  Pompeii, Kamboja melestarikan Angkor Wat, dan Peru masih terus menjaga Machu Pichu, serta Meksiko dengan Aztecnya, bangsa kita sebenarnya harus berbangga dengan Majapahit dan situs-situsnya (Kompas, 13/1/2009). Situs-situs yang dirusak oleh adanya proyek ini memberikan dampak bagi usaha rekonstruksi arkeologi mengenai peradapan bangsa Indonesia sekitar abad XIII-XV. Rekonstruksi yang dimaksud adalah melihat kembali bagaimana kehidupan masyarakat Indonesia pada masa tersebut, khususnya tata kota dan pola urbanisasi setempat. Para arkeolog  menyesalkan program pembagunan PIM yang cenderung bersifat destruktif. Padahal usaha para arkeolog untuk terus menggali sisa-sisa Kerajaan Majapahit telah berlangsung semenjak masa penjajahan, yakni tahun 1815 oleh Wardenaar, seorang bawahan Raffles. Kemudian penelitian dan penggalian terus dilakukan sampai sekarang. Namun, usaha yang sudah digagas ratusan tahun lalu akan hancur begitu saja, jika pembangunan PIM terus dilakukan di atas situs Trowulan.  Produk hukum, berupa UU nomor 5 tahun 1992 ternyata juga tidak mampu memberikan perlindungan dan pengekangan terhadap program ambisius pemerintah ini. Secara jelas disebutkan bahwa pelestarian benda-benda cagar budaya harus dijaga dan dilestarikan oleh seluruh elemen bangsa, termasuk pemerintah. Namun, usaha pelestarian ini justru dirusak sendiri oleh pemerintah dengan tetap membangun proyek ini.
Masyarakat di sekitar situs Trowulan sendiri juga turut memberikan kontribusi terhadap usaha perusakan situs bersejarah ini. Kerusakan situs Trowulan disinyalir sudah dimulai pada tahun 1990. Masyarakat di sekitar situs tersebut menjadikan sisa-sisa peninggalan Majapahit, seperti sisa batu bata, sisa keramik dan mata uang, bahkan emas sebagai mata pencaharian utama dan sampingan mereka. Menurut laporan Pusat Penelitian dan Pengembangan Budaya Departemen Kebudayaan dan Pariwisata, sedikitnya 5000 keluarga memiliki mata pencaharian utama dari industri batu bata yang materialnya berasal dari galian tanah di sekitar situs Majapahit tersebut. Belum lagi beberapa laporan yang menyebutkan beberapa peninggalan Majapahit berupa perhiasan emas kerajaan yang diperjualbelikan warga untuk menunjang kehidupannya. Hal ini merupakan sebuah paradoks.  Di satu sisi, penjarahan dan pengrusakan oleh warga setempat merupakan altenatif utama meningkatkan taraf hidup mereka. Kondisi wilayah trowulan yang memperkuat hal ini. Namun, di sisi lain problem ini merupakan  pertanyaan serius bagi pemerintah, mengenai peranan pemerintah dalam meningkatkan kondisi kesejahteraan masyarakat di sekitar situs-situs Majapahit.
Berdasarkan dua hal diatas, sebenarnya terdapat satu argumen tunggal, yakni  bangsa kita  belum memiliki rasa kepemilikan (sense of belonging) terhadap sejarah dan perkembangan kebudayaan Indonesia. Ketika kita berusaha melancarkan sejumlah protes terhadap pematenan yang dilakukan oleh sejumlah negara terhadap hasil-hasil budaya kita, tetapi di pihak lain, peninggalan sejarah yang begitu berharga nilainya ditelantarkan. Padahal melalui peninggalan itu, bangsa kita dapat menafsirkan kembali perdapan kita di masa lalu dan dapat berbangga bahwa peradapan Indonesia memiliki satu ciri khas yang bisa dibandingkan dengan peradapan-peradapan dunia lainnya. Tingkat arsitektur maupun perkembangan penulisan sastra yang begitu pesat pada zaman Majapahit serta penghargaan yang begitu besar terhadap multikulturalisme merupakan aset-aset peradapan yang tidak kalah dengan sejumlah peradapan fenomenal seperti Aztec di Meksiko atau Mohenjadaro di kawasan Timur Tengah. Kontribusi Majapahit bagi Indonesia sangat besar, tetapi ambisi besar pemerintah untuk mendirikan sebuah megaproyek akan menjadi sebuah bumerang tersendiri untuk merekonstruksi ulang sejarah peradapan dan kebudayaan Indonesia. 
Menjadi sebuah bangsa besar bukanlah sekedar menciptakan sejumlah inovasi dan teknologi dalam persaingan global seperti yang dikumandangkan pemerintah selama ini. Namun, bagaimana bangsa ini memiliki sebuah kepekaan dan kepeduliaan dalam melestarikan dan menjaga sisa-sisa peninggalan sejarah kebudayaan sendiri. Serta, implementasi hasil inovasi dan teknologi yang ada terhadap pelestarian sisa-sisa kebudayan bangsa kita.

Hipolitus Wangge
Peneliti Pacivis UI
Anggota Forum Academia NTT
Tulisan Tahun 2009

No comments:

Post a Comment