Translate

Tuesday, August 2, 2011

REGENARASI KEPEMIMPINAN TNI DAN TANTANGAN AKTUAL BANGSA


Oleh : Kiki Syahnakri[1]

Pendahuluan
[2]Pertama-tama saya ingin mengucapkan terima kasih kepada komandan Sesko TNI, khususnya kepala Departemen Kejuanagn (Kadep Juang) sebagai penyelenggara seminar yang telah member kepercayaan kepada saya turut serta berkontribusi dalam seminar sekolah yang saya pandang amat penting dan strategis ini. Kesempatan untuk ikut aktif berbagi dengan para siswa Sesko TNI ini merupakan yang pertama kalinya, sehingga hal ini menjadi suatu kebahagiaan, kebanggan dan sekaligus bagi saya sebagai purnawirawan TNI.
Sesuai dengan Term of Reference (TOR) yang saya terima, seminar ini mengambil tema besar Regenarasi Kepemimpinan TNI secara Konsisten Melahirkan Kepemimpinan yang Profesional”. Dalam persperktif saya, kata kunci pertama dari tema besar ini adalah “Regenarasi Kepemimpinan TNI”—suatu topik yang dalam kekinian terasa amat penting untuk dibicarakan karena bersifat kritis, strategis, dan visioner. Regenarasi kepemimpinan dalam segala bentuk dan level organisasi termasuk di lingkungan TNI adalah suatu proses berkesinambungan yang harus selalu dijamin agar kualitasnya tetap terjaga sedemikian rupa sehingga organisasi tersebut akan selalu eksis dan bahkan berkembang dinamis.
Kata kunci kedua dalam TOR sekaligus diharapkan sebagai output dari proses regenarasi TNI adalah “Kepemimpinan TNI yang Profesional”. Dalam hal ini kiranya saya terlupakan, yaitu “Jatidiri TNI” yang seharusnya menjadi muatan penting dari output yang diharapkan. Seperti yang kita ketahui bahwa pasal 2 UU. NO. 34 Tahun 2004 tentang TNI menyebutkan jatidiri TNI adalagh tentara rakyat, Tentara Pejuang, Tentara Nasional, dan Tentara Profesional”. Dengan demikian hal yang fundamental dan elementer dalam regenerasi kepemimpinan TNI adalah tetap terpeliharanya nilai yang terkandung dalam jatidiri TNI tersebut. Oleh karenanya pencantuman elemen jatidiri TNI secara lengkap dan utuh sangatlah penting agar tidak tergiring  pada pemahaman yang rancu dan orientasi kepemimpinan TNI ke depan tidak bias. Dalam hal ini, kita perlu waspada akan adanya invisible hand yang tidak menghendaki TNI kuat, sebaliknya mengenginkan peran TNI makin terbatas atau “terkerangkeng” dalam kehidupan berbangsa dan bernegara agar tujuan hegemoninya tidak terhalangi. TNI yang professional saja dapat diartikan sebagai TNI yang hanya berperan untuk menghadapi musuh dari luar.
Hal penting lainnya yang harus menjadi bahan petimbangan , khususnya untuk menentukan langkah atau cara bertindak dalam proses regenrasi kepemimpinan TNI adalah “kondisi faktual bangsa” yang dalam kondisi kekinian sangat memprihatinkan.  Kini nilai-nilai keindonesiaan yang terpatisarikan dalam Pancasila seperti kekeluargaan, gotong-royong, musyawarah-mufakat, toleransi dan sebagainya telah tereduksi bahkan tersisihkan oleh nilai-nilai asing terutama individualism, materialism, hedonisme yang merupakan buah pahit dari Neolib/kapitalisme. Akibatnya kini nasionalisme, rasa cinta tanah air, patriotism atau semangat bela negara telah menjadi barang langka. Sebaliknya bangsa Indonesia yang tadinya hidup rukun, damai, penuh keramah-tamahan telah berubah drastic dalam waktu yang relative singkat menjadi penuh konfik, anarki, tawuran, amuk massa dan sebagainya yang dapat kita saksikan hamper setiap hari di layar televise atau mass media lainnya.
Sesuai dengan  paradigma diatas, maka tulisan ini diawali dengan ulasan singkat tentang evaluasi peran TNI dalam kehidupan berbagsa dan bernegara, problematika dan orientasi pembangunan kekuatan TNI, kepemimpinan (umum) dan kepemimpinan TNI, disusul dengan potret actual bangsa sebagai tantangan dalam proses regenarasi TNI. Di bagian akhir, tulisan ini ditutup dengan beberapa rekomendasi.

Evaluasi Peran TNI dalam Kehidupan Berbangsa dan Bernegara

Peran utama militer secara ideal dan universal adalah sebagai “Bhayangkari Negara dan Bangsa serta Pengawal Kepentingan Nasional.” Elliot E. Cohen pun mengatakan, peran militer antara lain melindungi orde politik dan sosial tanpa melibatkan diri dalam politik praktis (day-to-day politics), peran ideal militer adalah sebagai “professional guardian of the nation”. Namun, militer dimanapun pasti akan terpanggil masuk ke ranah politik (negara) manakala eksistensi bangsa-negara telah menjadi taruhan dalam pertentangan politik ideologis atau perseteruan antar kelompok. Pertentangan ideologis atau “perang politik” yang sudah amat membahayakan bangsa negara akan selalu merangsang militer untuk keluar dari serang profesionalismenya yang seharusnya berada dalam ranah pertahanan. Itulah patisari makna politik negara.
Masalah yang biasanya timbul dalam hubungan sipil-militer, terutama di negara berkembang termasuk pengalaman Indonesia sendiri- adalah seringkali pihak militer tergoda untuk menerobos ranah politik praktis, atau sebalinya pihak sipil pun kerapkali tidak percaya diri sehingga menarik-narik militer untuk menjadi pendukung politiknya. Samuel Finer (The Man on Horseback: The role of  the Military in Politics) mengatakan, yang membuat militer berbeda (dari institusi lain) adalah militer tidak hanya institusi yang sangat otokratik, yang menuntut loyalitas dan komitmen secara penuh, tetapi juga suatu organisasi yang didesain sebagai kekuatan yang kokoh untuk bekerja seefisien mungkin kapan saja negara membutuhkannya, karena militer  memiliki organisasi yang solid dan unggul. Oleh karena kapasitasnya, militer tidak jarang digunakan/disalahgunakan demi interest tertentu dari kelompok tertentu untuk tujuan tertentu pula. Oleh karena itu, masalah utama pembangunan sistem demokrasi adalah bagaimana memaksimalkan peran dan kemampuan militer, dan pada saat yang sama meminimalkan bahaya alienasi dan penyalahgunaan kekuatannya.
Dalam kaitan ini mungkin relevan mengutip pendapat Samuel P. Huntington (1953) yang menagngkat formula kontrol sipil objektif (objective civilian control). Terminology ini mengandung makna: pertama, profesionalisme militer yang tinggi dan pengakuan dari pejabat militer akan batas profesionalisme yang menjadi bidangnya. Kedua, subordinasi yang efektif dari militer kepada pemimpin politik yang membuat keputusan pokok tentang kebijakan luar negeri dan militer. Ketiga, pengakuan dan persetujuan dari pemimpin politik atas kewenangan professional dan otonomi bagi militer. Keempat, minimilisasi intervensi militer dalam politik serta minimilisasi intervensi politik dalam militer. Akan tetapi, pendapat Hungtinton tersebut perlu diuraikan lebih lanjut. Hemay saya efektifitas hubungan sipil-militer pada umumnya lebih tergantung pada kemampuan pemimpin sipil dalam menyelenggarakan pemerintahan. Dalam kerangka kehidupan berbangsa dan bernegara sebetulnya militer tidak akan mencampuri urusan sipil (baca:politik praktis) manakala pemerintahan sipil mampu melaksanakan perannya dengan baik. dalam konteks ini berlaku “hukum logika” universal: “peran militer akan meningkat jika peran pemerintah sipil rapuh atau merosot. Sebaliknya, jika peran pemerintahan sipil teraplikasi baik apalagi optimal, maka peran militer akan menurun bahkan berada pada titik minimal.
Tentang peran TNI dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, Sapta Marga pertama sampai dengan keempat serta poin pertama dari sumpah prajurit menegaskan bahwa TNI sangat terikat dengan pancasila (ideology negara), yang berarti pula memiliki komitmen dan turut bertanggungjawab dalam hal implementasi kehidupan bermasyarakat, pemerintahan dan kenegaraan. Terlebih lagi menurut Undang-Undang 1945 secara spesifik TNI berjatidiri sebagai tentara rakyat, tentara pejuang dan tentara nasional. Jatidiri ini mengamanatkan dan menegaskan bahwa TNI bukanlah sekedar tentara yang berperan sebagai pemadam kebakaran semata, melainkan pada upaya pencapaian Tujuan Nasional (tunas) serta berkewajiban mengawal Kepentingan Nasional (kepnas). UU pertahanan kita pun dengan gambling menegaskan bahwa tugas pokok (Tupok) TNI adalah menegakkan kedaulatan negara, menjaga keutuhan wilayah serta melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia.
Sejarah TNI telah memberikan pelajaran yang amat berharga bagi bangsa Indonesia, terutama bagi TNI sendiri. Jenderal besar Sudirman memberikan keteladanan yang sangat bernilai dalam mengaplikasikan peran dan jatidiri TNI. Ketika para pemimpin nasional (sipil) ditangkap Belanda sehingga dengan sendirinya terjadi kekosongan pemeritahan di Indonesia, Pak Dirman sesungguhnya dalam keadaan sakit yang amat serius lebih memilih pergi ke pedalaman untuk memimpin perang gerilya ketimbang memenuhi ajakan Bung Karno untuk sama-sama menyerah dan ditangkap Belanda. Di Medan Gerilya beliau mendirikan pemerintahan darurat, membentuk kantong-kantong perlawanan berikut pemerintahan gerilyanya yang pada saat itu disebut sebagai “wehrkreise” dan melakukan berbagai tindakan militer, diantaranya Serangan Umum 1 Maret 1949. Langka ini membuat eksistensi pemerintahan RI dapat dipertahankan dan dengan bantuan India dapat disiarkan ke seluruh dunia. Namun, ketika para pemimpin sipil kembali dari tahanan Belanda, Pak dirman tidak memiliki ambisi untuk bertahan sebagai pucuk pemimpin pemerintahan, beliau tidak hanya menyerahkan  kembali kepemimpinan nasional kepada Bung Karno dan Bung Hatta, melainkan juga melakukan pengawalan agar roda pemerintahan dapat berjalan secara efektif.
Pelajaran berharga lainnya terjadi pada kurun waktu 1950-1965 di mana terjadi campur tangan sipil dalam upaya merasionalisasi dan memodernisasi TNI sehingga memicu terjadinya peristiwa 17 Oktober 1952. Sebaliknya TNI pun beberapa kali melakukan intervensi ketika pemerintahan sipil tidak mampu melaksanakan perannya dengan baik, terutama ketika pamor demokrasi Parlementer merosoto dengan tajam dan konstituante gagal melahirkan UUD sehingga dinilai menjerumuskan Indonesia ke dalam krisis konstitusi dan kekosongan pemerintahan. Dalam kurun waktu itu, khususnya pasca pemilu 1955 juga terjadi perang politik antara kelompok Nasionalis-Agama-Komunis dengan tingkat kesengitan yang eskalatif, kekuatan dan pengaruh PKI kian hari kian meningkat sehingga mengancam Pancasila. Oleh karenanya TNI secara otomatis terpanggil untuk terlibat dalam pertarungan ini. sebagaimana kita ketahui perang politik ini berakhir dengan terjadinya pemberontakan G-30S/PKI (1965).
Dalam sejarahnya sampai dengan 1965, TNI masih mampu menjalankan perannya dalam koridor politik negara. Namun dalam periode 1965-1998 terjadi sejarah kelam dalam pemeranan TNI yang membawanya ke dalam pusaran politik kekuasaan/politik praktis dalam kurun waktu yang terlalu lama. TNI telah meninggalkan Sapta Marga dan jatidirinya sebagai tentara rakyat, tentara pejuang dan tentara nasional yang seharusnya berjuang demi kepentingan rakyat dan kepentingan nasional. namun, kala itu TNI justru berperan sebagai tentara golongan, menjadi bagian dari Golkar demi kelanggengan kekuasaan, dengan kata lain hanya memperjuangkan kepentingan golongan bahkan individu. Sesungguhnya TNI AD bersama Fosko (kelompok purnawirawan yang menjadi penasehat/staf khusus Kasad) telah melemparkan saran kepada Kepala Negara (lewat seskoad paper dan widodo paper) agar TNI dikembalikan jatidirinya, namun saran itu kandas dan akibatnya Fosko dibubarkan serta Jenderal Widodo (kasad saat itu) diganti. Pada akhirnya kita semua mengalami dan merasakan bagaimana buah pahit dari melodrama pemeranan TNI yang keluar dari Sapta Marga dan jatidirinya tersebut. Sejak 1998 TNI dihujat luar biasa serta secara legal formal dialinasikan, hingga kini pun belum terhapuskan secara tuntas.
Sejarah TNI maupun ada yang dikatakan Samuel Finer diatas, telah memberikan pelajaran berharga kepada kita bahwa pengalinasian militer sama bahanya-bahkan bisa lebih berbahaya-dibanding pelibatnnya dalam politik praktis. Oleh karena itu, hendaknya para politisi dan para Perwira TNI mewaspadai hal ini.

Problematika dan Orientasi Pembangunan Kekuatan TNI

Wilayah seluas Indonesia dengan gradasi kerawanan dan potensi ancaman di bidang pertahanan yang tinggi-termasuk potensi konflik internal dan di daerah-daerah perbatasan-sesungguhnya memerlukan postur TNI yang tangguh dengan kuantitas dan kualitas (kekuatan dan kemampuan) yang memadai. Di sisi lain, harus diakui dalam kedua hal tersebut terutama secara kualitatif profesionalisme TNI sudah lama mengalami penurunan/kemunduran. Terdapat dua penyebab utama kemudnduran tersebut, yakni terlalu lamanya TNI tercebur dalam kolam politik praktis sehingga menumpulkan profesionalisme (military professionalism)-nya yang secara langsung menggerus keterampilan militer (military skills) serta menggerogoti karakter keprajuritan (military character) yang sejati. Kedua, sudah terlalu lama pula TNI harus berjalan dengan anggaran yang jauh dari memadai sehingga anggaran di bidang pendidikan dan latihan yang hakikatnya berfungsi untuk memelihara dan meningkatkan kemampuan keprajuritan pun jauh di bawah kebutuhan minimal.
            Problem berikutnya adalah ketidaksesuain doktrin pelaksanaan atau lebih tepatnya level Petunjuk Oprasi dan Petunjuk Lapangan—yang sudah lama dianut TNI (khususnya TNI-AD) baik dengan filosofi pertahanan dan doktrin dasar kita, maupun dengan kemampuan sumber dana yang ada. Contoh konkritnya, pada tingkat taktis doktrin militer kita selama ini merujuk/berkiblat pada Pentagon (AS), sehingga buku-buku petunjuk lapangan pun telah kita adopsi dari pentagon sejak awal 1950-an. Padahal kita tahu bahwa Pentagon selain lebih berorientasi keluar (sesuai kebijakan politik luar negerinya) juga ditunjang oleh kemampuan anggaran yang besar dan teknologi tinggi yang selalu diperbaharui. Sehingga aplikasi doktrin Pentagon mensyaratkan tersedianya keunggulan Daya Tembak dengan sokongan piranti teknologi yang sangat canggih. Dengan kata lain, Daya Tempur militernya (Daya Tempur terdiri dari daya gerak dan daya tembak) dibangun dengan bertitik berat pada keunggulan daya tembak. Orientasi doktriner-militer tersebut secara factual dan prinsipil jells tidak sesuai dengan filosofi, doktrin dasar dan kebijakan pertahanan kita yang lebih bersifat defensif-aktif maupun dengan kemampuan anggaran kita. Akan lebih tepat jika orietasi doktrin kita berkiblat pada Inggris misalnya yang dikenal sangat efisien. Mereka mengembangkan daya tempur pasukannya dengan betitik tumpu pada keunggulan daya gerak. Sebagai contoh, pada saat menyerbu Malvinas Pasukan Para Inggris diterjunkan beberapa kilometer dari titik sasaran, kemudian dengan kemampuan daya gerak yang tinggi mereka memperoleh “pendadakan” dan berhasil merebut sasaran yang ditentukan. Bandingkan dengan Pasukan Linud TNI pada waktu perebutan Dili yang langsung diterjunkan di sasaran dengan dukungan bantuan tembakan minim. Jauh dari mampu untuk mendisorganisir musuh, yang ada sebaliknya malah membuat musuh menjadi alert sehingga kita kehilangan aspek pendadakan yang sesungguhnya merupakan faktor penting dalam serangan, akhirnya menimbulkan korban yang cukup besar di pihak TNI.
Selanjutnya, berkaitan dengan problem ketersediaan anggaran, maka untuk sementara (terutama bagi TNI AD) sebaiknya uang/anggran yang tersedia lebih diprioritaskan untuk pemeliharaan dan peningkatan aspek kualitas/kemampuan militer ketimbang pengembangan kekuatan secara kuantitatif. Pemeliharaan dan peningkatan kualitas tersebut dapat diimplementasikan  antara lain dengan cara: pertama, secara sistemik memperbaiki software (terutama melakukan perubahan/penyesuaian orientasi doktriner-militer): kedua, pembenahan brainware/manware (khususnya peningkatan kemampuan dan jumlah pelatihan yang memadai). Dengan demikian, kita terlebih dahulu memfokuskan perhatian dan dana pada upaya pemeliharaan/peningkatan kualitas. Kalau anggaran sudah memadai, barulah dilakukan pengembangan kekuatan secara kuantitatif.
Dengan keterbatasan anggaran tersebut, musykil bagi TNI untuk mengembangkan kekuatan pertahanan secara kualitatif dan kuantitif sekaligus, meskipun  itulah yang ideal sebenarnya. Keterbatasan tersebut memberikan kita hanya dua kemungkinan pilihan dan penekanan: kualitatif dan kuantitatif. Secara rasional dan realistis, tentu memelihra dan meningkatkan kekuatan secara besar kalau mutunya di bawah standar? Melakukan ekspansi atau ekstensifikasi kekuatan secara kuantitatif semata tanpa diimbangi peningkatan kualitas bukan cuma tidak tepat melainkan juga berbahaya. Bayangkan kalau kita memiliki pasukan dalam jumlah besar tetapi dengan mutu dan kesejahteraan yang rendah sehingga sudah pasti tingkat disiplinnya pun akan rendah pula. Benar-benar membahayakan!
Agar TNI dapat menjalankan perannya dengan baik dan proses regenarasi kepemimpinan dapat berjalan sesuai dengan kebutuhan maupun realitas yang ada, maka seyogianya setiap perwira TNI harus benar-benar menghayati problematika actual yang sedang dihadapi bangsa maupun TNI, antara lain menyangkut potret actual bangsa dan negara, problematika pembangunan postur TNI termasuk permasalahan doktrin yang berfungsi sebagai pedoman dalam menjalankan peran serta tugas pokoknya. Spectrum doktrin dimaksud meliputi doktrin dasar sampai dengan petunjuk lapangan dan petunjuk teknis. Bagi militer di manapun selalu dibutuhkan doktrin yang benar-benar sesuai dengan realitas tantangan dan ancaman actual maupun potensial yang dihadapi, serta sesuai pula dengan kondisi lingkungan bangsa-negara termasuk falsafah yang dianutnya.

Kepemimpinan Nasional

            Dihadapkan pada situasi bangsa-negara yang masih sangat problematic, dilanda krisis multidimensi, maka negara kita sungguh membutuhkan pemimpin yang berkarakter, berani dan tidak ragu dalam bersikpa, memiliki komitmen tinggi, cerdas dan memiliki kompetensi, serta konsisten. Kepemimpinan akan berlangsung efektif manakala pemimpin memiliki karakter dan kompetensi yang patut diteladani, serta seperti dikatakan T. Richard Casey,” If a leader demonstrates competence, genuine concern for others and admirable character, people will follow”.  John C. Maxweel (The Power of Leadership) memperkuat pendapat Casey dan menegaskan,” The most effective leadership is by example, not edict”. Menurut dia, 90% manusia belajar secara visual, 9% secara verbal. Sisanya 1% dengan indra lainnya. Orang belajar dan mengikuti dari apa yang dilihatnya sehingga kata Maxweel,” A leader’s credibility and his right to be followed are based on his life”. Pakar kepemimpinannya lainnya akan mengatakan: karakter merupakanfaktor utama dalamm kepemimpinan, Joseph W. Sitwell menggambarkan bahwa kepeimpinan itu 80% ditentukan oleh watak kepribadian, 10% oleh kemapuannya untuk mengambil keputusan, 5% oleh masalah teknis, 5% ditentukan oleh yang lain-lain. Ia pun menadaskan, setiap orang adalah pemimpin bagi dirinya sendiri. Napoleon Banaparte menyatakan bahwa seorang pemimpin militer harus memiliki karakter dan kecerdasan yang seimbang. Edgar F. Puryear Jr. dalam bukunya”Nineteen Stars” maupun American Generalship” menyimpulkan bahwa dalam kepemimpinan “Character is everything”.
Denga Berbagai pendapat pakar kepemimpinan di atas, menegaskan bahwa “karakter, kompetensi dan keteladanan” merupakan unsure utama dan terpenting dalam kepemimpinan. Oleh karena itu seorang pemimpin mutlak harus memiliki karkater yang baik dan kuat. Seorang pemimpin yang berkarakter berate memiliki prinsip hidup yang amat kuat, ia mampu mengatakan yang salah adalah salah dan yang benara adalah benar” serta berani mengatakan :tidak” bagi sesuatu yang dipandangnya salah meskipun dengan resiko yang amat berat, sperti kehilangan jabatan atau bahkan nyawa sekalipun. Seorang pemimpin yang berkarakter dapat saja menjadi tidak popular di kalangan bawahannya atau masyarakat, namu dengan karakter yang kuat ia tidak akan goyah atau berubah sikap karenanya. Kompetensi adalah syarat mutlak lainnya bagi seorang pemimpin, memadainya pengetahuan dan ketrampilan pemimpin merupakan jaminan bagi diperolehnya keputusan yang tepat sehingga menjadi penuntun menuju sukes bagi organisasi yang dipimpinnya. Keteladanan merupakan metode paling efektif dalam kepemimpinan, dan suatu hal yang pasti seorang pemimpin yang berkarakater akan mampu menjadi teladan dan panutan bagi bawahan atau masyarakat yang dipimpinya. Dengan demikian, seorang pemimpin-terlebih lagi pada tingkat nasional-senantiasa dituntut untuk mampu mewujudkan, memelihar dan meningkatkan keseimbangan dari aspek terpenting dan menjadi unsur utama bagi seorang pemimpin yakni karakter yang terpuji, kualitas intelektual yang tinggi serta didukung kualitas fisik yang prima, sehingga dia akan mampu menjadi teladan bagi masyarakat atau bawahannya.
Para founding fathers/mothers secara sangat cerdas, arif, visioner telah memformulasikan Pancasila dengan merujuk pada realistik Keindonesiaan, nilai-nilai kearifan lokal serta nilai-nilai yang berkembang secara global-universal. Dapat dikatakan Pancasila adalah buah perkawinan antara lokalitas dan universalitas” yang sangat tepat, berakar dan bersumber pada ranah Keinndonesiaa, ideal secara realistis, bernilai amat strategis-visioner, sehingga sangat relevan untuk digunakan sebagai pandangan hidup bangsa, Prof. Syafii Maarif mengapresiasinya sebagai “masterpiece” (karya agung) anak bangsa dan Jacob Oetama menyebutnya sebagai hasil dan pemikiran cerdas yang mendahului zaman.
Oleh karena itu karakter kepemimpinan Nasional Indonesia harus berciri atau bernafaskan Pancasila, apabila menggunakan karakter lain niscaya kepemimpinan tersebut akan mengalami kesulitan bahkan kegagalan karena pada hakikatnya mengingkari realistic Keindonesiaan serta tidak sesuia dengan ciri budaya masyarakat. Apabila dipaksakan penerapan suatu karakter kepemimpinan di luar kerangka Pacasila maka yang akan terjadi adalah distorsi dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara sebagaimana yang sedang terjadi sekarang.

Kepemimpinan TNI

Sesuai dengan jatidirinya serta sistem pertahanan-keamanan rakyat semesta (Sishankamrata), TNI selain dituntut untuk memiliki kemampuan kepemimpinan militer yang kuat, juga diharuskan memiliki kemampuan “kepemimpinan sosial” yang handal untuk digunakan dalam berhubungan dengan masyarakat. Secara prinsip sebenarnya tidak banyak perbedaan antara kepemimpinan militer dengan kepemimpinan pada umumnya, letak perbedaannya adalah pada penekanan tentang disiplin, hirarki, sistem komando serta tuntutan dimilikinya karakter dan jiwa keteladanan dengan gardasi lebih tinggi daripada kepemimpinan di institusi lainnya. Karenanya dalam kepemimpinan militer secara universal terdapat filosofi “fllow me” yang berarti menuntut sang komandan untuk selalu bersikap benar serta mampu menjadi contoh/teladan bagi anak buahnya.
Secara lebih khusus dalam hal kepemimpinan sosial TNI, oleh karena yang dihadapi adalah masyarakat umum, maka “prinsip demokrasi” harus lebih dikedepankan. Untuk itu selain teori komunikasi dan kepemimpinan sosial TNI (dulu KKS ABRI), kita dapat pula mengacu pada apa yang disampaikan Prof. Dr. Veitzhal Rival, MBA (dalam bukunya “Kiat Memimpin dalam Abad XXI). Dia mengatakan ada beberapa prinsip yang harus diindahkan setiap pemimpin di era demokrasi ini agar kepemimpinannya efektif sebagai berikut:
Ø  Prinsip Partisipasi. Pemimpin yang baik akan memberikan kesempatan kepada bawahan/anggota masyarakat untuk ikut terlibat atau berpartisipasi dalam menetukan tujuan/sasaran yang ingin dicapai serta cara untuk mencapainya.
Ø  Prinsip komunikasi. Pemimpin seyogianya memberikan informasi yang perlu tentang segala hal yang berkaitan dengan usaha dan proses pencapaian tujuan, dan sebaliknya bagaiman mendapatkan info seluas-luasnya dari lingkungan kerja. Komunikasi juga merupakan cara yang efektif untuk emnumbuhkan motivasi atau mengatasi suatu masalah yang menyangkut kepemimpinan, bahkan komunikasi merupakan alat utama dalam seni kepemimpinan
Ø  Prinsip Mengakui Andil Bawahan. Cara lain untuk mengangkat motivasi kerja bawahan adalah mengakui bahwa bawahan/anggota kelompok-sekcil apapun fungsi, tugas atau perannya-mempunyai andil dalam usaha pencapaian sasaran. Perlu disadari bahwa dalam suatu organisasi di bidang apapun, keberhasilan dalam mencapai tujuan tidak pernah diakibatkan oleh peran orang perorang melainkan selalu merupakan konsekuensi/hasil dari efektifnya suatu teamwork.
Ø  Prinsip Delegasi Wewenang. Pemimpin harus tahu kapan dan di mana harus memberikan otoritas kepada bawahannya untuk memutuskan sesuatu yang mempengaruhi kinerja dan hasil kerja. Dengan demikian bawahan akan terlibat secara emosional dengan tujuan yang akan dicapai.
Ø  Prinsip memberikan timbale balik. Selain menuntut perhatian dan dukungan dari bawahan/masyarakat, seyogianya pemimpin menaruh perhatian pada apa yang diinginkan oleh mereka. Dengan menunjukkan perhatian yang tulus terhadap minat dan tujuan yang diinginkannya, berarti kita telah  berusaha menaikkan hasrat dan semangat mereka untuk menunjukkan pula perhatiannya dapat membantu kita mencapai tujuan.
Sebagaimana kepemimpinan pada umumnya, kepemimpinan TNI membutuhkan kehadiran karakter, kompetensi dan keteladanan dengan gradasi yang lebih tinggi. Oleh karena itu pemebentukan/ pembangunan karakter dalam proses pendidikan maupun dalam pengembangannya itu kesatuan, bagi para perwira TNI merupakan hal yang mutlak. Selanjutnya dalam proses “kepemimpinan sosial” sudah barang tentu faktor “karakter, kompetensi dan keteladanan” akan lebih menentukan lagi. Kehandalan dalam kepemimpinan sosial sangat dibutuhkan TNI untuk terjalinnya kemanunggalan TNI-Rakyat dalam Sishankamrata.

Potret Aktual Bangsa

Jenderal TNI (Purn) Surhadi Soedirja, dalam makalahnya yang disampaikan di Sesko TNI beberapa waktu lalu, telah menggambarkan secara rinci potret actual dari kehidupan berbangsa-bernegara. Pada intinya, akibat faham individualism-liberalisme yang telah merasuk masuk ke dalam semua aspek dari sistem nasional (sistem, politik/demokrasi, ekonomi, hukum, budaya dan pertahanan), maka terjadi kerusakan sistem nilai yang sangat memprihatinkan dan potensial untuk menggiring Indonesia ke dalam disintigrasi bangsa-negara. Dalam makalah ini saya hanya akan mengelaborasi tentang apa yang terjadi dalam aspek pertahanan-keamanan.
Menilik sejarah pasca-reformasi di Indonesia, terutama setelah  keluarnya TAP MPR No. VI dan VII, amandemen UUD 1945 serta revisi sejumlah peraturan perundang-undangan termasuk UU No. 34/2004 tentang TNI, peran TNI justru dikebiri sehingga tidak dapat berbuat banyak dalam mengimplementasikannya, kendati hal itu merupakan peran universal. Padahal, realitas yang dihadapi bangsa dan negara Indonesia secara alamiah-kodrati sudah sangat sarat dengan kerawanan, terlebih lagi bila memperhitungkan keadaan actual yang bergerak dinamis-eskalatif bahkan terkadang unpredictable, masalah keamanan dapat bergerak secara cepat dan secara tiba-tiba mengancam keselamatan bangsa/keamanan negara. Oleh karenanya kehidupan berbagsa-bernegara ini benar-benar membutuhkan pengawalan TNI.
Dalam UU No. 3/2002 tentang pertahanan, Sishankamrata juga telah dibiaskan dengan menghilangkan kata “rakyat”  sehingga menjadi “sishanta” dengan alasan bahwa penggunaan kata rakyat berkonotasi semua rakyat Indonesia dan dianggap sebagai kombatan. Alasan ini sangat naïf, karena pertahanan tidak identik dengan konflik bersenjata ataupun perang. Spectrum pertahanan meliputi penyiapan, pengolahan sumberdaya, penyusunan potensi dan seterusnya untuk kepentingan pertahanan, sehingga menuntut kewajiban dan tanggungjawab  serta pelibatan seluruh rakyat. Sedangkan untuk keperluan perang dan konflik bersenjata, hanya dikerahkan mereka yang berkategori kombatan, dan untuk menjadi kombatan terdapat persyaratan yang harus diatur oleh UU. Dengan demikian, penghilangan kata rakyat telah mengaburkan makna dan hakekat Sishankamrata. Kata rakyat (bukan warga negara) juga berate “spirit/semangat” untuk melakukan tindakan bela negara dalam semua aspek, tidak hanya aspek pertahanan militer semata.
Tap MPR No. VI serta UUD (hasil amamdemen) pasal 30 telah memisahkan fungsi pertahanan dan keamanan secara mutlak-diametral. Fungsi keamanan secara mutlak diemban oleh Polri dengan perannya amat luas, sedangkan TNI hanya mengemban fungsi Pertahanan (dengan penekanan untuk menghadapi serangan dari luar), walaupun ada yang disebut sebagai tugas pokok  dalam operasi militer selain perang (OMSP) yang membolehkan TNI memasuki ranah keamanan, namun untuk pelaksanaannya dipagari oleh aturan yang sangat rumit dan sulit. Padahal secara umum kedua fungsi tersebut bersifat overlapping, masalah keamanan dapat berkembang askalatif secara cepat dan masuk ranah pertahanan karena telah mengancam kedaulatan. Kondisi ini sering terjadi di Indoensia khusunya setelah reformasi yang menggiring kita menjadi penganut liberalisme dengan keterbukaan dan kebebasan luas nyaris tanpa batas.
Pasal 30 UUD hasil perubahan telah mengganti kata “Usaha Pembelaan Negara” dengan kata “Usaha Pertahanan dan Keamanan Negara”. Pengganti istilah ini telah mempersempit makna bela negara, karena pada hakekatnya bela negara jauh lebih luas dari makna pertahanan-keamanan. Akibatnya bela negara yang seharusnya menjadi hak dan kewajiban setiap warga negara kurang disadari secara luas, bahkan tidak lagi mengikat. Sebaliknya muncul dan meluas anggapan bahwa pertahanan-keamanan semata-mata hanya menjadi tugas dan kewajiban TNI/Polri.
Beberapa perubahan mendasar diatas secara doktriner telah membuat pergesaran, arah perjuangan, peran dan fungsi bangsa tentang perang, doktrin dasar hankam kita dan nilai-nilai dasar perjuangan TNI sendiri.
Rekomendasi
Oleh karenanya, masalah fundamental-esensial dalam proses regenerasi kepemimpinan TNI adalah terpeliharanya kesinambungan dari nilai-nilai luhur bangsa dan negara yang terpatisarikan dalam Pancasila dan UUD 1945 (baca: semangat/nilai dari Pembukaannya) serta jatidir dan nilai-nilai kejuangan TNi sendiri sesuai jiwa Sapta Marga  dan Sumpah Prajurit, serta doktrin dasar Hankam kita yaitu “Sishankamrata”. Oleh sebab itu pembentukan/pengembangan karakter, kompetensi militer dan jiwa keteladanan dalam proses pendidikan pada setiap strata maupun dalam pengembangannya di kesatuan/institusi menjadi amat penting.
Namun dalam kekinian, realitas yang sedang dihadapi oleh bangsa-negara kita adalah bayangan ancaman perpecahan akibat transpalansi sistem/nilai individualism-liberalisme yang dipaksakan terhadap kehidupan berbangsa-bernegara yang sejatinya telah memiliki kultur kolektivisme (ala Indonesia) yang telah hidup berabad-abad serta pekat diwarnai oleh nilai-nilai kebersamaa, kekeluargaan, gotong-royong, musyawarah mufakat, toleransi tinggi dan sebagainya. Akibatnya, muncul wabah distorsi sosial yang cukup luas (termasuk dalam pemeranan TNI) dan potensial bermuara dan disintegrasi.
Oleh karena itu, urgen bagi bangsa Indonesia agar secepatnya melakukan perubahan menyeluruh dalamrangka memperbaiki sistem kehidupan nasional, termasuk penataan ulang pengaturan fungsi Hankam serta pemeranan TNI/Polri. Dalam rangkaian regenarasi kepemimpinan TNI sendiri, sekain harus dijamin adanya pewarisan nilai dasar yang bersifat filosofis di atas, juga diperlukan upaya pelurusan kembali atau lebih tepat dikatakan penyesuain doktrin operasionalnya. Berkaitan dengan itu, saya sampaikan rekomendasi berikut:
Ø  Pada tataran nasional.  Melakukan kaji ulang terhadap UUD hasil perubahan, serta melakukan revisi terhadap peraturan perundang-undangan terkait pelaksanaan fungsi Hankam, untuk didapatkan formula peran yang lebih flexsible, namun juga lebih measurable, controllable dan responsible, terkadang unpredictable. Prinsip utama dalam upaya ini adalah menghadirkan kembali “roh sejati”nya TNI, guna memberikan landasan yang kokoh serta ruang yang memadai kepada TNI untuk berperan di bidang Hankam sesuai amanat Pembukaan UUD. Tentu yang dimaksud bukan memberikan kembali perannya seperti era Orde Baru, melainkan untuk diselaraskan dengan spirit pembukaan UUD 1945 dan disesuaikan dengan perkembangan actual kehidupan berbangsa-bernegara.

Ø  Internal TNI
v  Membangun “meritokrasi” secara konsekuen. Langkah ini sangat penting karena langsung berkaitan dengan peningkatan karakter dan profesionalisme keprajuritan. Merit system harus ditegakkan serta rekrutmen hingga promosi perwira. Soal rekrutmen misalnya, hingga kini disinyalir masih berlangsung praktek “bayar-membayar”, yang selain meresahkan masyarakat (terutama yang sangat berminat menjadi tentara), juga terutama-merusak sistem dan nilai keprajuritan. Jika benar seseorang masuk tentara karena “uang”, maka uang pula yang akan dikejarnya setelah menjadi tentara. Merit system mesti diberlakukan dengan ketat dan konsisten pula dalam promosi keprajuritan. Seorang perwira dipromosikan bukan karena “like and dislike” atau “siapa dekat siapa”, melainkan murni berpegang pada parameter profesionalisme: kualitas diri, karakter (kepribadian dan kepemimpinan), prestasi dan reputasi di lapangan.
v  Jauhi permainan politik praktis, hanya berperan dalam “politik negara” . kita belajar banyak dari pengalaman masa lalu, ketika TNI disalahgunakan demi kepentingan kekuasaan yang mengakibatkan pudarnya jatidiri TNI dan runtuhnya martabat serta kehormatan TNI di mata masyarakat. Di saat yang sama, profesionalisme militer pun terpolusi dan tergerus oleh poltisasi, karena diceburkan ke dalam kolam politik.  Pelajaran sejarah ini sangat mahal dan hendaknya selalu diingat oleh generasi TNI saat ini maupun di masa datang. Implementasi dari masalah ini sungguh membutuhkan para pemimpin TNI/komandan satuan yang memiliki karakter prima, yang mampu dan berani mengatakan “tidak” terhadap setiap ajakan, himbauan bahkan perintah untuk berkecimpung dalam politik praktis dari manapun datangnya.
v  Implementasikan folosofi bangsa tentang perang dan doktrin dasar Hankam secara konsisten, serta tinjau kembali “doktrin tingkat operasional” (Buku Petunjuk Operasi, Buku Petunjuk Lapangan Bawah), untuk disesuaikan dengan hal fundamental tadi, kemampuan anggran serta ancaman yang dihadapi. Buku petunjuk operasi militer dan buku petunjuk lapangan yang berlaku saat ini sebagian besar diadopsi dari Pentagon yang faktor lingkungan, ancaman serta doktrinnya jauh berbeda dengan kita, orientasi daya yempurnya mengutamakan daya tembak, sehingga tidak cocok untuk diterapkan di Indonesia oleh TNI. Akan lebih tepat apabila doktrin operasional TNI berkiblat pada militer Inggris yang orientasi daya tempurnya lebih mengutamakan kemampuan daya gerak daripada daya tembak.
v  Peningkatan fungsi Diklat. Untuk dapat menjadi seorang perwira yang berkarakter dan berkompetensi sehingga menjadi teladan di lingkungan /satuannya, diperlukan proses pendidikan dan latihan (Diklat) yang serius, sistematis, kontinyu dan seimbang (teori dan praktek). Dalam proses inilah prajurit dibentuk jatidirinya, diterpa mentalitasnya, diperkuat karakternya, dan ditingkatkan kompetensi teknisnya. Problem umum TNI adalah kendala anggaran yang tidak memadai, pada sisi lain secara bersamaan dituntut untuk meningkatkan kekuatan dan kemampuan. Menghadapi kendala tersebut seyogyanya pilihan diarahkan pada aspek kemampuan. Dalam konteks ini penggunaan anggaran Diklat sebaiknya diprioritaskan pada peningkatan kualitas dan kuantitasnya, tenaga pendidik/pelatih, sarana/prasaran pendidikan, modul/bahan ajaran, khususnya yang berkaitan dengan upaya regenerasi pemimpin TNI yang berkualitas.
v  Revitaslisai Peran Koter. Upaya ini diarahkan untuk menghidupkan kembali fungsi Komando Teritorial (Koter). Di masa lalu-sesuai pelajaran sekolah-Koter memiliki dua fungsi Pembinaan Teritorial (Binter) untuk kepentingan pertahanan serta fungsi Pembinaan Keamanan Wilayah (Binkanwil) untuk kepentingan keamanan. Setahu saya, secara formal kedua fungsi tersebut belum dicabut. Untuk itu fokus upayanya adalah menghidupkan kembali fungsi Bikanwil yang selama ini mati suri, karena “keamanan” secara mutlak menjadi miliknya Polri. Padahal Bikanwil lebih diarahkan kepda upaya “preventif” lewat kegiatan upaya pengumpulan data, pemetaan situasi (termasuk peta sumber dan potensi konflik), komunikasi sosial serta deteksi dini. Dalam hal ini yang perlu dikoreksi adalah masuknya koter ke wilayah penindakan hukum (menangkap, memeriksa dsb) seperti pada masa orba. Apabila dikaitkan dengan tugas operasi militer selain perang pun kedua fungsi tersebut sangat berkaitan sehingga relevan untuk dihidupkan kembali.
Penutup
Kehidupan berbangsa-bernegara kita perlu dikaji dan ditata ulang, termasuk pemeranan TNI/Polri dalam melaksanakan fungsi pertahanan-keamanan. Pada hakikatnya penataan ulang ini bersifat urgen sehingga perlu dilakukan sesegra mungkin, karena keterlambatan akan mengakibatkan penyesalan mendalam bagi kita dikemudian hari, ketika melihat Indonesia terlanjur pecah. Regenerasi kepemimpinan TNI harus diletakkan dalam pigura permasalahan bangsa serta permasalahan internal TNI tersebut.
Jakarta, 2 Agustus 2011.









[1] Letnan Jenderal TNI (pun), Ketua Dewan Pengkajian PPAD, disampaikan dalam seminar Siswa Sesko TNI 13/06/2011, di Bandung
[2] Makalah didapat langsung dalam wawancara  dengan penulis di Jakarta.

No comments:

Post a Comment