Translate

Monday, August 8, 2011

MENGKAJI PERGELARAN PASUKAN TNI DI NTT PADA TAHUN 2024 (2-HABIS)


Pergelaran pasukan di NTT sampai tahun 2024 merupakan bagian dari pembangunan postur pertahanan TNI 2024. Postur pertahanan TNI terdiri atas tiga komponen utama. Pertama, pembangunan kekuatan yang terdiri dari satuan-satuan tempur seperti batalyon infanteri, batalyon kavaleri dan zeni tempur. Kedua, pembangunan kemampuan. Pembangunan kemampuan ditujukkan bagi prajurit-prajurit TNI dalam menjalankan tugas pertahanan negara. Kemampuan yang ditingkatkan adalah daya tembak dan dan daya gerak. Daya tembak berkaitan dengan kemampuan persejantaan dan teknologi militer, sedangkan daya gerak merupakan kemampuan prajurit dalam melakukan operasional taktis melalui mobilisasi. Ketiga adalah pergelaran. Pergelaran terdiri dari pembangunan komando-komando teritorial dan markas brigade. Kedua bentuk pergelaran tersebut menjalankan fungsi koordinasi terhadap satuan-satuan tempur yang ditempatkan di wilayah-wilayah NKRI.
Berdasarkan postur pertahanan tersebut menempatkan NTT sebagai bagian dari wilayah terdepan yang diproyeksikan sebagai daerah pertahanan utama, mengingat perbatasan NTT dengan kedua negara, yakni Republik Demokratik Timor Leste (RDTL) dan Australia. Namun, dalam pelaksanaan di lapangan terdapat banyak penyimpangan khususnya dalam tata hubungan sipil dan militer, serta karakteristik pasukan yang berada di wilayah seperti NTT tidak sesuai dengan arah pembangunan daerah tersebut.

Hak Asasi Manusia

Berdasarkan laporan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas Ham) dari tahun        Januari 2009 sampai tahun Maret 2011, terdapat 11 kasus pelanggaran ham yang terjadi di NTT. Semua kasus tersebut melibatkan baik anggota maupun lembaga pemberdayaan wilayah TNI terhadap pelanggaran hak-hak asasi manusia masyarakat sipil. Kasus-kasus tersebut diringkas menjadi kasus pelanggaran hak kebebasan pribadi, hak kesejahteraan hidup, hak kesusilaan dan hak atas hidup. Salah satu pelanggaran ham yang masih diproses adalah kematian Charles Mali (21 tahun) di Atambua oleh sembilan anggota  Yonif 744/Satya Yudha Bakti. Belum lagi indikasi perlindungan TNI terhadap perusahaan-perusahaan pertambangan yang melakukan eksplorasi di daerah-daerah yang kaya mangan, emas, biji besi, maupun tenaga geothermal.
 Berdasarkan laporan tersebut dapat dijelaskan bahwa keberadaan TNI yang begitu banyak, terutama di NTT sampai tahun 2024 akan menimbulkan gesekan dan ketegangan antara militer dan sipil, sehingga pada akhirnya akan menimbulkan konflik sipil dengan militer.
Penolakan warga masyarakat di Ende, Nangapenda,dan Maumere terhadap pembangunan Korem beberapa tahun lalu. Penolakan terhadap pembangunan markas brigade infanteri di Camplong, serta konflik lahan milik Petrus Tilis dengan TNI untuk kebutuhan pembangunan markas teritorial pada tahun 2009, merupakan bentuk-bentuk kesadaran dan kewaspadaan warga terhadap pentingnya tata kelola hubungan sipil dan militer berdasarkan penghargaan atas hak asasi warga negara. Hak asasi manusia merupakan bagian integral dalam sistem demokrasi yang dipilih oleh bangsa ini, sehingga seluruh komponen bangsa harus menginternailisasi nilai-nilai demokrasi ke dalam praktek tugas kelembagaan, termasuk TNI.
Idealnya hubungan sipil dengan militer (Huntington:1957) adalah kontrol sipil objektif. Pola hubungan sipil dengan militer dalam kontrol sipil objektif adalah militer merupakan subordinasi sipil dan menjadi alat pertahanan negara yang tunduk pada supremasi sipil. Model ini menuntut kepatuhan dan kesadaran militer untuk meneirma pilihan demokrasi yang dipilih oleh  masyarakat. Namun, dengan catatan sipil harus menghormati otoritas internal militer dalam membangun seluruh struktur dan mekanisme kelembagaannya.  Model ini sangat berbeda dengan kontrol sipil subjektif yang menempatkan militer sebagai alat kekuasaan atau partai tertentu. Model tersebut pernah dilakukan ketika era orde baru.
Berdasarkan kontrol sipil objektif, TNI harus tunduk terhadap otoritas sipil dalam mengatur pemberdayaan wilayah suatu daerah di masa damai. Pembanguan berbagai komando teritorial di  NTT oleh TNI seharusnya mendapat persejutuan dan konsensus sipil, baik pemerintah daerah maupun masyarakat sekitar. TNI tidak memiliki payung hukum legal untuk membangun sejumlah komando teritorial dan satuan-satuan tempur. Tanpa adanya persetujuan dari masyarakat maupun pemerintah daerah NTT, sejumlah besar proyek pengembangan markas-markas komando teritorial dan satuan tempur  harus dihentikan atau ditinjau kembali. Pemaksaaan terhadap pembangunan komando-komando teritorial maupun satuan-satuan tempur merupakan bentuk penyimpangan yang dikategorikan dalam ranah demokrasi sebagai pelanggaran hak asasi manusia.
Dampak pelanggaran ham seperti diatas dapat dieliminasi dengan pemetaan pembangunan kekuatan militer TNI secara proposional. Pembangunan pangkalan-pangkalan TNI dan keberadaan komando-komando teritorial, serta satuan-satuan tempur di NTT harus ditempatkan di wilayah terluar pulau dan bukan ditempatkan di tengah-tengah wilayah padat penduduk. Selanjutnya para prajurit yang ditempatkan di wilayah-wilayah terdepan, harus dibekali dengan kemampuan ham yang memadai, baik sebelum penempatan, penempatan dan pasca penempatan. Kemampuan seperti ini harus terus dievaluasi dengan memberikan penghargaan dan hukuman yang layak.

Karakteristik Pasukan

Berdasarkan SK KASAD NO. 36/X/2006, pergelaran satuan-satuan tempur di wilayah NTT berkarteristik ofensif. Karakterristik ini dapat dilihat dari jumlah kesatuan infanteri, kavaleri maupun zeni yang ditempatkan, baik di wilayah perbatasan (Timor Barat)  maupun wilayah lain seperti Flores dan Sumba. Satuan-satuan tempur yang direncanakan untuk dibangun adalah  1 batalyon infanteri (Yonif) diperkuat dari Yonif 744 yang akan ditempatkan di Atambua,  2 yonif di Maumere dan Kefamenanu, serta 1 detasemen zeni tempur (Denzipur) di Kupang. Sedangkan berdasarkan pernyataan Komandan Korem 161/Wirasakti, Kol. I Dewa Ketut Siangan akan ditambahkan 1 batalyon artileri udara (Yonarhanud) di Soe, 1 batalyon kavaleri (Yonkav) di Atambua, dan 1 batalyon artileri medan (Yonarmed) di Kefamenanu.
Sedangkan unsur-unsur administrasi yang sebenarnya cocok dengan arah pembangunan daerah, seperti batalyon kesehatan (yonkes), batalyon perbekalan dan angkutan (Yonbekang) tidak dinyakatakan dalam surat keputusan tersebut maupun dalam pernyataan komandan Korem 161. Melihat kebutuhan masyarakat NTT, seperti di wilayah perbatasan batalyon kesehatan dapat didayagunakan untuk membantu masyarakat sipil, bukan batalyon tempur.
Karateristik dari empat unsur tempur yakni, infanteri, artileri, kavaleri dan zeni adalah ofensif. Hal tersebut mengidikasikan perbatasan RI-RDTL berada dalam tingkat kerawanan militer, bahkan kerawanan perang. Unsur infanteri dan kavaleri bertugas menghancurkan barikade pertahanan musuh. Unsur kavaleri bertugas mendukung kekuatan infanteri dan artileri untuk menghancurkan kekuatan utama musuh.  Kavaleri dipersenjatai dengan panser dan tank sebagai kekuatan utama. Unsur perbantuan yakni zeni yang terdiri dari tenaga ahli dan logistik. Berdasarkan karakteristik tersebut, pergelaran pasukan TNI di wilayah NTT cenderung mengedepankan pertempuran fisik di wilayah yang dinilai rawan konflik. Padahal, wilayah NTT jauh dari kriteria rawan konflik, sehingga pergelaran pasukan tersebut cenderung dipaksakan.
Berdasarkan Surat Keputusan tersebut, pemetaan atas permasalahan di NTT, khususnya di wilayah perbatasan adalah permasalahan non-tradisional. Permasalahan non-tradisional berdasarkan surat keputusan tersebut adalah lintas batas ilegal, penyeludupan kebutuhan pokok dan tapal batas yang masih terus dibahas oleh pemerintah RI dan RDTL. Selain masalah-masalah tersebut, berdasarkan temuan di lapangan, permasalahan non-tradisional lainnya adalah penangkapan ikan ilegal dan  penyelundupan kayu ilegal, serta penggarapan kebun secara ilegal. Berdasarkan ancaman-ancaman non-tradisional tersebut, seharusnya otoritas sipil seperti dinas imigrasi, dinas bea dan cukai, serta polisi setempat yang menangani dan menyelesaikan, bukan TNI. TNI hanya ditempatkan sebatas menjalankan fungsi pertahanan, yakni menjaga wilayah perbatasan dengan jumlah yang proporsional dan mengedepankan profesionalitas militer.
Pergelaran pasukan TNI harus dikaji secara komprehensif. NTT adalah wilayah dengan karakteristik tersendiri sebagai wilayah kepulauan dengan tingkat pembangunan minimal. Penambahan pasukan yang begitu banyak hanya akan menimbulkan efek yang tidak sesuai dengan kebutuhan daerah setempat.
Markas Besar TNI perlu meninjau kembali pergelaran pasukan yang sangat masif di wilayah kepulauan , seperti NTT. Idealnya dengan jumlah anggaran pertahanan yang mencapai 0,75% (2010) dari pendapatan nasional, seharusnya pergelaran pasukan perlu ditinjau kembali. Hal tersebut mengingat kebutuhan paling mendesak adalah penguatan alat utama sistem pertahanan TNI yang jauh dari standar memadai untuk menjaga kedaulatan nasional. Selain itu pemerintah daerah sebagai pemegang otoritas dan supremasi sipil harus terus memantau rencana pergelaran pasukan yang sangat berpotensi meningkatkan ketegangan dengan masyarakat sipil. Kelopok masyarakat maupun lembaga keagamaan yang menjadi panutan masyarakat harus terus mendorong upaya peninjauan kembali pergelaran pasukan TNI, khususnya matra darat.
NTT adalah wilayah terdepan yang perlu mengedepankan persepektif pembangunan berbasis kearifan lokal. Menjadi tanggungjawab seluruh komponen masyarakat NTT untuk memetakkan prioritas pemberdayaan wilayah untuk kesejateraan masyarakat seluruhnya. Oleh karena itu, hendaknya pendekatan militeristik tidak perlu mencampuri bahkan menghambat proses pembanguan NTT. Proyeksi pergelaran pasukan TNI di NTT harus ditinjau kembali, karena sangat tidak sesuai dengan proses pembangunan daerah yang terus dilakukan.


Dimuat di harian Pos Kupang, edisi Sabtu 6 Agustus 2011

Oleh:   Hipolitus Y. R Wangge
Peneliti Pacivis/UI

Kedua artikel  diatas merupakan ringkasan dari hasil riset awal dengan judul yang sama yang dilakukan oleh peneliti di bawah supervisi PACIVIS/UI.



No comments:

Post a Comment