Translate

Saturday, August 27, 2011

REFORMASI PERADILAN MILITER DI INDONESIA

Reformasi peradilan militer di Indonesia merupakan bagian dari reformasi sektor keamanan nasional. Sebagai bagian dari reformasi sektor keamanan, reformasi peradilan militer menjadi bagian dari upaya penataan kembali fungsi, struktur dan kultur institusi penanggungjawab keamanan yang sesuai dengan tata nilai demokrasi dan hak asasi manusia. Aspek keadilan dalam sistem peradilan militer selama ini menjadi sorotan utama, semenjak dimulainya reformasi sektor keamanan pada tahun 1998. Selain pemisahan institusi TNI-POLRI pada tahun 2000 dan penghapusan dwifungsi ABRI pada tahun 2004, agenda reformasi berikut adalah reformasi peradilan militer Indonesia yang berada dalam payung hukum Undang-Undang Nomor 31 tahun 1997 tentang Peradilan Militer.
Agenda diatas menjadi sebuah keharusan melihat beberapa kasus kekerasan militer oleh anggota TNI yang masih terus terjadi, cenderung masih menunjukkan status quo TNI yang kebal terhadap pemberlakuan logika keadilan masayarakt. Salah satu kasus yang menjadi sorotan adalah peradilan militer terhadap 9 orang anggota Yonif 744/Satya Yuda Bhakti yang melakukan penganiayaan hingga mengakibatkan kematian terhadap warga di Atambua, Kabupaten Belu, Nusa Tenggara Timur pada 11 Maret 2011.
Pasca putusan Majelis Hakim Peradilan Militer terhadap 9 anggota batalyon infanteri (yonif) 744/Satya Yuda Bhakti, sorotan masyarakat NTT tertuju pada sistem peradilan militer Indonesia, khususnya tergambar dari proses pengadilan militer yang terjadi di Kupang, pada Selasa, 21 Juli 2011.  Paling tidak, keluarga Charels Mali (21 tahun) merasa putusan majelis hakim jauh dari asas keadilan dan perlakuan yang sama di mata hukum. Kelompok-kelompok masyarakat pro demokrasi dan peduli ham melakukan respon dengan menyatakan penolakan terhadap hasil putusan majelis hakim Pengadilan Militer Kupang.
Berdasarkan putusan majelis hakim kesembilan anggota Yonif 744 rata-rata mendapat hukuman di bawah 1 tahun penjara dipotong masa tahanan dan hanya satu anggota yang dinonaktifkan dari dinas kemiliteran Angkatan Darat. Putusan tersebut didasarkan fakta persidangan bahwa telah terjadi kelalaian yang dilakukan oleh 9 prajurit Yonif 744/SYB dalam melakukan tugas dan mencederai institusi sipil dengan menganiaya sehingga mengakibatkan kematian (vivanews.com).
Tergambar jelas betapa peradilan militer Indonesia tidak ubahnya peradilan umum di negeri ini yang masih jauh dari azaz keadilan dan persamaan di mata hukum. Putusan tersebut sangat melukai nurani masyarakat, terutama  keluarga korban. Dalam proses peradilan militer yang tergambar di Kupang menyisakan pertanyaan utama, apakah peradilan militer di Indonesia akan terus dibiarkan mencederai hari nurani masyarakat sipil.
            Beberapa alasan reformasi peradilan militer di Indonesia adalah peradilan militer di Indonesia merupakan bagian dari permasalahan dalam upaya penegakkan hukum, peradilan militer merupakan tempat mengamankan para prajurit militer yang melakukan tindakan criminal, termasuk pelanggaran hak asasi manusia, serta UU No. 31 tahun 1997 sebagai dasar hukum putusan peradilan militer sangat tidak konstekstual.
Permasalahan Penegakkan Hukum Militer
Peradilan militer di Indonesia masih merupakan masalah dari sistem penegakkan hukum di Indonesia. Indikator utama dari masalah tersebut adalah proses pengambilan keputusan dan vonis akhir yang dibacakan majelis hakim militer tidak sesuai dengan prinsip demokrasi dan hak-hak asasi manusia. Selama orde baru seluruh proses peradilan militer, mulai dari penyidikan sampai penuntutan oleh oditur militer sangat tertutup. Pada era reformasi, ketertutupan pengadilan militer juga masih terjadi. Perbedaan lain yang masih mencederai keadilan masyarakat adalah dalam era reformasi proses pengadilan militer lebih mengutamakan garis komando institusi bukan hati nurani masyarakat yang menjadi petimbangan utama dalam proses tersebut.  Hal ini bermuara pada pembacaan putusan oleh majelis hakim.
Putusan yang disampaikan majelis hakim kemarin cenderung berdasarkan garis komando institusi TNI bukan berdasarkan petimbangan Mahkamah Agung sebagai pemegang kekuasaan kehakiman tertinggi di negeri ini. Kekuasaan kehakiman tertinggi di peradilan militer yang dipegang Mahkamah Agung  berdasarkan penyerahan kekuasaan kehakiman peradilan militer oleh Panglima TNI pada September 2004 dan Keputusan Presiden No. 56 Tahun 2004, serta amanat Undang-Undang Nomor 49 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman. Berdasarkan tiga aturan hukum tersebut, pengawasan proses peradilan militer berada di bawah Mahkamah agung, sedangkan pembinaan disiplin dan karier seharusnya diserahkan kepada Departemen Pertahanan.
Berdasarkan kewenangan pengawasan Mahkamah Agung, seharusnya putusan akhir proses pengadilan militer harus berdasarkan pertimbangan pidana umum, bukan garis komando. Pembinaan Korps Hukum Militer yang dilakukan oleh Mabes TNI melalui Badan Pembinaan Hukum (Babinkum) TNI terkait dengan karier personil militer di lingkungan Peradilan Militer cenderung dipengaruhi komando dalam penegakkan hukum dan keadilan di lingkungan militer. Pengaruh komando tersebut terjadi ketika otoritas militer mempengaruhi, menghalangi atau sengaja mengarahkan kepada hal yang salah administrasi peradilan.   Pengaruh komando militer tidak hanya terjadi di lingkungan peradilan militer, namun terdapat pada oditur militer yang secara organisasi dan administrasi merupakan bagian dari Babinkum TNI yang berkedudukan di Mabes TNI.
Hal diatas  terlihat dalam  hampir semua putusan pengadilan militer sejak tahun 2004 masih didasarkan pada pengaruh komando (command influence) di bawah Mabes TNI. Obejektifitas putusan penagadilan militer cenderung tersandera oleh komando otoritas  militer. Salah satu diantaranya terlihat dari pertimbangan majelis hakim yang dipimpin Kol. Ckh Sugeng Sutrisno yang menyatakan bahwa para terdakwa masih aktif sebagai anggota TNI dan usia mereka masih muda sehingga masih dapat dibina di kesatuan TNI (Thejakartapost.com). Pernyataan tersebut tidak mempertimbangakan nilai-nilai hak asasi manusia yang telah dilanggar oleh kesembilan anggota yonif 744 tersebut.
Kecenderungan intervensi otoritas militer dapat dieliminasi dengan melakukan pemindahan pembinaan dari Mabes TNI kepada Departemen Pertahanan. Pemindahan tersebut tidak hanya pada personil peradilan militer namun untuk semua personil oditurat militer. Pemilihan Departemen Pertahanan sebagai pembina bagi para personil TNI dan memiliki wewenang dalam promosi serta jenjang kepangkatan dari para personil TNI dalam lingkup penegakkan hukum militer, merupakan simbol supremasi sipil terhadap militer dalam negara demokratis, seperti di Indonesia.
Safe Heaven
Berdasarkan laporan studi kebijakan di Indonesia yang dilakukan oleh Imparsial, selama tahun 2001-2006 terdapat 46 kasus pelanggaran ham yang dilakukan oleh aparat militer dan polisi dengan rata-rata hukuman di bawah 4 tahun penjara. Sedangkan laporan Komnas Ham, kekrasan yang dilakukan TNI terhadap warga sipil di NTT dari tahun 2009 sampai awal 2011 mencapai 11 kasus, baru 5 diantaranya yang diproses di pengadilan militer.
Berdasarkan kedua laporan tersebut terlihat bahwa signifikansi perdailan militer terhadap tindakan kriminal para prajurit militer masih jauh dari harapan. Peradilan militer dijadikan safe heaven bagi penyelesaian kasus kriminal yang dilakukan oleh para anggota militer tersebut. Hukuman yang diberikan oleh majelis hakim peradilan militer sangat rendah jika dibandingkan dengan tindakan pidana yang dilakukan oleh anggota militer tersebut, bahkan sampai mengakibatkan kematian. Putusan hukuman yang sama diberikan kepada anggota TNI, baik dalam kapasitas menjalankan tugas institusi maupun diluar tugas institusi. Putusan hukuman yang diberikan tersebut otomatis tidak memberikan efek jera kepada para prajurit yang melakukan tindakan kriminal tersebut. Padahal, efek jera merupakan salah satu tujuan dari peradilan di negara demokratis. Hal tersebut berefek domino terhadap munculnya berbagai tindakan-tindakan kriminal lainnya, seperti yang dialami Charles Mali dan rekan-rekannya, bahkan sangat terbuka kemungkinan pada masa mendatang akan terjadi kekerasan ham lainnya yang menimpa masyarakat sipil, khususnya di wilayah NTT.
Kredibilitas peradilan militer tercoreng di mata masyarakat, karena dalam beberapa kasus, termasuk dalam kasus kematian Charles Mali belum mampu menangkap rasa keadilan rakyat dan menuangkannya dalam putusan hakim.
Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1997
Salah satu dasar hukum utama peradilan militer di Indonesia adalah Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1997, selain Undang-Undang Nomor 49 tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman. Undang-undang peradilan militer tersebut seharusnya sudah harus dirubah, karena aturan hukum tersebut merupakan produk rezim yang dibangun oleh dominasi militer. Pada era orde baru, peradilan militer merupakan bagian dari hegemoni militer di berbagai bidang kehidupan masyarakat Indonesia.
Pada periode awal reformasi sektor keamanan, berbagai produk hukum orde baru yang didominasi oleh militer dirubah. Munculnya TAP MPR-RI Nomor: VI/MPR/2000 tentang Pemisahan TNI dan POLRI, Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2002 tentang TNI dan Undang-Undang Nomor 34 tentang Pertahanan Nasional merupakan upaya mengatur tata kelola  lembaga-lembaga militer, termasuk peradilan militer agar sesuai dengan semangat reformasi dan demokrasi. Amanat melakukan perubahan terhadap peradilan militer tercermin dalam TAP MPR No. VII Tahun 2000 tentang Peran TNI dan Peran Polisi. Dalam pasal 3(4)(a)  menyatakan Prajurit Tentara Nasional Indonesia tunduk kepada kekuasaan peradilan militer dalam hal pelanggaran hukum militer dan tunduk kepada kekuasaan peradilan umum dalam hal pelanggaran hukum pidana umum. Namun, sampai hari ini upaya untuk merubah Undang-Undang Peradilan Militer masih terus menemui hambatan. Salah satu hambatan utama adalah masih kuatnya keinginan TNI untuk membedakan personil militer dengan warga sipil. Bahkan, RUU Peradilan Militer yang dibahas sampai tahun 2007 masih terbentur dengan kuatnya status quo logika  militer  di tengah arus utama demokrasi yang mengutamakan supremasi sipil dan penghormatan terhadap hak-hak asasi manusia.
Melihat putusan pengadilan militer di Kupang terhadap 9 anggota Yonif 744 mendorong upaya masyarakat untuk kembali menghidupkan semangat perubahan Undang-Undang Nomor 31 tahun 1997 tersebut. Tindak pidana umum yang dilakukan aparat militer tersebut seharusnya menggunakan logika pidana sipil dengan menempatkan aparat militer sebagai warga negara biasa yang memiliki kedudukan sama di mata hukum (equality before the law). Aparat militer merupakan bagian dari warga negara biasa yang memiliki status yang sama di mata hukum. Oleh karena itu, seharusnya dalam melakukan tindak pidana umum, seperti penganiayaan yang menyebabkan kematian, vonis yang diberikan didasarkan pada logika pidana umum.
Proses peradilan militer terhadap kesembilan anggota Yonif 744 dan hukuman yang dijatuhkan, mendorong diadakannya koreksi terhadap peradilan militer di Indonesia. Berbagai pertimbangan diatas adalah pertimbangan-pertimbangan sederhana yang diharapkan dapat menggugah nurani seluruh komponen bangsa, khususnya masyarakat NTT untuk mendorong upaya penegakkan hukum yang adil dan sesuai nilai-nilai demokrasi serta hak-hak asasi manusia.
Oleh     : Hipolitus Wangge
 Peneliti Pacivis/UI
            Anggota Forum Academia NTT
Artikel diatas merupakan bentuk keprihatinan penulis dan teman-teman Kelompok Studi Timor Barat (KSTB) terhadap putusan pengadilan militer terhadap kesembilan anggota yonif 744/SYB.

Dimuat di Harian Pos Kupang, 27 Agustus 2011

No comments:

Post a Comment