Translate

Monday, August 29, 2011

VIETNAM: DI BAWAH PENGARUH CINA





Beberapa peniliti menganalogikan Cina seperti ayam jago, dimana Korea adalah paruhnya dan Vietnam adalah kakinya.
Analogi tersebut menggambarkan betapa pentingnya Vietnam bagi Cina, terutama dalam hal keamanan, sementara yang lain menganggap Vietnam berada di bawah pengaruh Cina.  Vietnam, oleh karena itu, dalam istilah Charles Thayer , berada  dalam “tirani geografi” dimana tidak terdapat pilihan, namun tetap mengejar kepentingan nasional bersama tetangganya Cina.
Sudah sejak lama, Cina yang kuat memiliki ancaman serius terhadap Vietnam.  Vietnam berada di bawah kekuasaan kerajaan Cina semenjak beribu-ribu tahun yang lalu sampai tahun 938 SM. Bahkan setelah kolonialisasi Perancis sampai akhir abad XIX, Cina masih terlibat di Vietnam melalui invasi dan pendudukan, seperti yang diilustrasikan  dalam “the brief yet bloody war” yang dikobarkan Cina di sepanjang perbatasan utara pada tahun 1979 dan pertempuran laut yang dimulai oleh Cina di laut Cina Selatan pada bulan Maret 1988.
Ancaman Cina dari Vietnam tidak hanya berasal dari kedekatan geografi  tetapi juga dari ukuran yang asimetrik dan perbedaan “power” di antara kedua negara.  Cina 29 kali lebih besar dari Vietnam, sementara, populasi Vitenam, meskipun berada pada urutan ke 14 jumlah penduduk terbanyak di dunia, tetapi  masih hanya seperti  jumlah penduduk salah satu provinsi di Cina.
Kekuatan ekonomi Cina yang begitu impresif sejak periode 1980an membuat perbedaan antara kedua negara begitu tinggi.  Hal ini diakibatkan oleh modernisasi ekonomi Cina yang meyebabkan jurang “power”  diantara kedua negara begitu lebar. Berdasarkan data Bank dunia, GDP Cina meningkat lebih dari 16 kali dari tahun 1985 sampai tahun 2009, 307 miliar USD sampai 4. 985 triliun USD . GDP Cina hanya meningkat 7 kali lipat pada periode yang sama, dari 16 juta USD pada tahun 1985 menjadi 97 miliar USD pada tahun 2009.
Berdasarkan perkembangan ekonomi tersebut, kekuatan militer Cina juga berkembang secara signifikan,  menunjukkan ancaman yang hebat terhadap Vietnam.  Berdasarkan pernyataan-pernyataan resmi pemerintah Cina,  anggaran pertahanan nasional sebesar  91 miliar USD, sementara Vietnam mengalokasikan anggaran pertahanan sebesar 2,6 miliar USD. Secara khusus kekhawatiran Vietnam adalah peningkatan anggaran pertahanan Cina dikonsentrasikan pada kekuatan angkatan laut dan udara, memperkuat kemampuan Cina untuk membangun kekuatan militer di Laut Cina Selatan dimana Cina dan Vietnam saling mengkalim wilayah tersebut.
Transformasi Vietnam  menuju pasar bebas juga memperkuat aspek lainnya dari  tirani geografi: peningkatkan kerentanan ekonomi.
Semenjak Vietnam kembali membuka hubungan perdagangan dengan Cina pada akhir 1980, produk domestik  negara tersebut terancam oleh barang-barang Cina , mengalir melalui jalur perdagangan legal maupun ilegal (penyelundupan).    Hal tersebut bukan hanya merupakan ekses negatif  bagi produksi nasional Vietnam, tetapi juga menempatkan masyarakat Vietnam (konsumen) pada resiko, ketika barang-barang selundupan tersebut mengandung racun dan bahan-bahan berbahaya bagi kesehatan manusia.
Kerentanan lain adalah defisit perdagangan abadi dengan Cina sebesar 5,4 miliar USD diluar total defisit negara tersebut dengan Cina yakni 7,5 miliar USD selama paruh pertama 2011.  Cina juga merupakan importir terbesar bagi Vietnam, terhitung ¾ total impor Vietnam berasal dari Cina pada tahun 2010. Vietnam sangat bergantung pada Cina terkait input bahan-bahan bagi sebagian besar industri nasional negara tersebut, sementara ekspor Vietnam ke Cina sangat kecil  jika dibandingkan dengan total impor cina.  
Seharusnya Cina tidak perlu melajutkan perdagangan dengan Vietnam dengan beberapa pertimbangan, kerusakan terhadap ekonomi Vietnam sangat besar.
Hal lain yang  juga perlu mendapat perhatian adalah penguasaan perusahaan-perusahaan Cina sebesar 90% terhadap kontrak-kontrak  EPT ( perakitan, pembelian dan konstruksi) untuk sebagian besar proyek-proyek nasional Vietnam, terutama yang berkaitan dengan  pembangkit listrik tenaga batu bara (coal-fired power plants). Kontraktor-kontraktor Cina lebih disukai karena penawaran teknologi murah dan dijanjikan untuk membantu mendapatkan pembiayaan keuangan dari bank-bank Cina.
            Walaupun proyek-proyek tersebut kelihatannya murah, tetapi dalam kenyataannya sangat mahal.  Pertama, teknologi murah biasanya sangat berpolusi. Laporan-laporan menunjukkan beberapa teknologi yang ditawarkan oleh perusahaan-perusahaan Cina tidak dilanjutkan atau dilarang oleh Pemerintah Cina sejak tahun 2005. Kedua, kemampuan-kemampuan   teknis kontraktor-kontraktor Cina terbatas, menyebabkan beberapa proyek tertunda. Bahkan, ketika proyek-proyek diselesaikan tepat waktu, konstruksi yang buruk harus ditanggung oleh pemilik proyek dengan biaya tagihan pemeliharaan yang begitu mahal. Ketiga, seperti defisit perdagangan Vietnam terhadap Cina yang melonjak, kontraktor-kontraktor Cina juga menolak menggunakan produk-produk nasional Vietnam yang tersedia, tetapi harus diimpor dari Cina.  Kontraktor-kontraktor Cina sering kali membawa para pekerja ilegal dari Cina dengan biaya sendiri dibandingkan menggunakan buruh-buruh Cina, hal tersebut memancing protes masal di Vietnam.
Disamping itu, kerentanan ekonomi yang terjadi belakangan ini adalah pembelian besar-besaran dari para pedagang Cina terhadap produk-produk pertanian Vietnam. Hal tersebut menyebabkan kenaikan harga produk-produk di Vietnam dan, meskipun usaha tak kenal lelah oleh Pemerintah Vietnam untuk menekan inflasi, harga-harga tetap meningkat sebesar 20,8 % pada Juni 2011.
Sebelumnya, Vietnam terlihat memiliki sedikit pilihan terkait kerentanan ekonomi ketika berhadapan dengan Cina. Di satu sisi, setiap  dampak ekonomi yang muncul kemungkinan  akan direspon berdasarkan aturan-aturan perdagangan  dan investasi internasional,   seperti persyaratan awal yang diterima Vietnam ketika masuk dalam keanggotaan WTO pada tahun 2007.  Di sisi lain, Vietnam berharap pertumbuhan (walaupun asimetrik)   ketergantungan  ekonomi akan menolong untuk mengurangi kemungkinan tindakan agresi militer Cina terhadap Vietnam, terumtama di Laut Cina Selatan. Meskipun hal tersebut merupakan kelemahan, pebisnis-pebisnis Vietnam tetap melihat hal tersebut jauh lebih murah dan lebih nyaman untuk bekerjasama dengan tetangga yang “menjulang” tersebut  daripada dengan pihak-pihak lainnya.
Hasilnya, Vietnam tetap melanjutkan kerjasama bisnis secara aktif dengan Cina, terutama dengan diberikan daya tarik “tetangga utara“ yang begitu meningkat performa ekonominya.  Tetapi seperti yang dikatakan para leluhur Vietnam, “madu membunuh lalat”. Pelajaran penting disini adalah Vietnam harus tetap sadar akan potensi-potensi ancaman Cina: setidaknya harus dikembangkan strategi-strategi untuk menetralkan aspek ekonomi dari tirani geografi dimana negara tersebut sangat menderita karena hal tersebut.[1]
Le Hong  Hiep adalah dosen pada Fakultas Hubungan Internasional, Jurusan Ilmu Sosial dan Kemanusiaan, Universitas Nasional Vietnam, Ho Chi Min City, dan sekarang adalah calon PhD pada NewSouth Wales, Akademi Pertahanan Australia.
Yogyakarta, 29 Agustus 2011.



[1] Artikel diatas disadur dari tulisan Le Hong Hiep di East Asia Forum, berjudul Vietnam: Under the Weight of China. Lebih jauh baca http://www.eastasiaforum.org/2011/08/27/vietnam-under-the-weight-of-china.

No comments:

Post a Comment