Translate

Tuesday, August 2, 2011

PILIHAN POLITIK AS DI ERA REFORMASI TNI

Beberapa minggu terakhir, media massa memberitakan lobi-lobi para diplomat Amerika Serikat (AS) untuk menyadingkan para purnawirawan TNI dengan mantan menteri keuangan Indonesia, Sri Mulyani Idrawati yang sekarang menjabat direktur pelaksana Bank Dunia. Beberapa kalangan purnawirawan menyebutkan upaya lobi para diplomat AS sudah berlangsung dari setahun yang lalu. Lobi yang dilakukan merupakan bagian dari penjajakan terhadap figur-figur dari kalangan militer yang kiranya mampu mendukung pilihan AS kepada Sri Mulyani.[1]
Terdapat tiga hal utama yang dapat dilihat dari penjajakan para diplomat AS, yakni dukungan AS terhadap militer, kedua pilihan AS terhadap kalangan militer, ketiga pengaruh pilihan tersebut terhadap upaya reformasi TNI.

Dukungan AS Terhadap Militer

Pengalaman sejarah nasional tidak terlepas dari keterlibatan pihak asing. Secara khusus, pihak asing memboncengi militer Indonesia untuk mewujudkan kepentingan nasionalnya. Hal ini tidak terlepas dari pandangan bahwa militer merupakan salah satu kekuatan politik yang berpengaruh  di negara ini.
 Pada tahun 1958, sekelompok perwira militer yang dipimpin Komandan Ahmad Husein dan Kolonel Maludin Simbolon menolak keberadaan PKI dan sentralisasi kekuasaan di Jawa tanpa memperhatikan kondisi di daerah, serta menolak kepemimpinan A.H Nasution di Angkatan Darat, mendirikan Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia (PRRI) di Bukittinggi, Sumatera Barat. Kondisi perpecahan ini menjadi pintu masuk bagi campur tangan AS yang sangat menginginkan kejatuhan komunis dan Soekarno. Melalui sejumlah bantuan, baik keuangan maupun peralatan militer, Pemerintah AS di bawah Presiden Eisenhower dan Menteri Luar Negeri John Foster Dulles mendukung keberadaan kelompok PRRI/Permesta untuk menggulingkan pemerintahan Soekarno dan menggantikannya dengan pemerintahan kelompok Bukitinggi tersebut.[2] Namun upaya tersebut ternyata justru menjadi bumerang, karena kekuatan TNI di bawah komando A.H Nasution mampu menghancurkan kekuatan pemerintahan revolusioner tersebut.
Peranan politik militer dalam dwifungsi yang mewarnai politik nasional pada tahun 1959 sampai tahun 1998, juga mendapat legitimasi dari pemerintahan AS melalui seminar yang disponsori RAND pada tahun 1959 di Forth Leavenworth, Kansas. Hasil seminar tersebut kemudian disunting John J. Johnson menjadi buku berjudul The Role of the Military Underdeveloped Countries.[3] Buku tersebut mengenai peranan politik tentara sebagai agen modernisasi di negara-negara berkembang. Buku tersebut bahkan menjadi bahan pelajaran pada sekolah-sekolah staf dan komando tentara Amerika di Forth Leavenworth, Kansas.[4] Hal tersebut sebenarnya mengingkari filosofi dasar hubungan sipil-militer di negara-negara Barat yang bersifat kontrol sipil objektif, dengan menempatkan militer sebagai subordinasi sipil.
Pada tahun 1965, keterlibatan AS kembali tercium dengan memberikan dukungan secara tidak langsung terhadap penghancuran kekuatan PKI yang dinilai menjadi dalang dalam upaya percobaan kudeta Gerakan 30 September. Bahkan, kejahatan kemanusiaan yang disinyalir dilakukan oleh militer Indonesia tidak mendapat sanksi internasional atau embargo oleh AS yang selalu menghormati hak asasi manusia dan demokrasi.

Pilihan Politik AS

Beberapa alasan pemerintah AS menjatuhkan pilihan terhadap kalangan militer diantaranya, pertama,militer Indonesia anti-fundamentalisme dan komunisme. Peristiwa Gestapu menjadi bukti konkret dukungan AS terhadap upaya pemberangusan PKI di Indonesia oleh militer. Di samping itu, militer Indonesia pada dekade 1950an berhasil  menghancurkan kekuatan Darul Islam di bawah pimpinan S.M Katosoewirjo. Kekuatan Islam fundamental menjadi perhatian utama dari kebijakan luar negeri AS di wilayah Asia Tenggara, yang menjadi second front kebijakan keamanan nasional negara tersebut (Rice:2006). Gerakan fundamentalis kembali menemukan momentumnya dalam satu dekade terakhir, pasca kejatuhan rezim orde baru. Berbagai tindakan kekerasan, berupa penghancuran rumah ibadat dan pengeboman yang masih terus terjadi menunjukkan gerakan fundamentalis menjadi ancaman seirus terhadap kebijakan luar negeri AS di Indonesia dan Asia Tenggara umumnya.
Kedua, sebagian perwira, baik aktif maupun purnawirawan dan kesatuan khusus militer Indonesia pernah  mendapat pendidikan di AS. Bahkan, sebagian doktrin pelaksanaan TNI diadopsi dari doktrin pelaksanaan pertahanan AS di bawah koordinasi Pentagon (Syahnakri:2011).[5] Sebagian purnawiran militer yang dijajaki pernah mengenyam pendidikan di beberapa sekolah staf komando AS, seperti di Forth Leavonworth, Kansas. Komando Pasukan Khusus (kopassus) yang merupakan salah satu kesatuan terpusat angkatan darat, pernah berlatih rutin di AS sebelum dihentikan pasca peristiwa Santa Cruz di Dili, Timor Leste pada tahun 1991. Pada tingkat taktis doktrin militer TNI masih berkiblat pada Pentagon (AS) yang mengutamakan daya tembak dalam operasi militer. Pengalaman menimba ilmu di AS  dan bantuan AS dilihat sebagai bagian dari kedekatan psikologi dan kunci untuk menyamakan persepsi menuju suksesi pemerintahan di 2014. Selain itu, kedekatan doktrin militer Indonesia dengan AS secara tidak langsung menginternalisasi nilai-nilai militer AS ke dalam panduan militer Indonesia.

Reformasi TNI

Upaya mewujudkan TNI sebagai kekuatan profesional di negeri ini, akan mengalami hambatan jika salah satu purnawirawan TNI masih memegang jabatan di pemerintahan. Sebagai purnwairawan, para mantan perwira TNI  tersebut memiliki hak politik yang sama berdasarkan konstitusi. Namun, di pihak lain dukungan tidak langsung dari TNI masih dimungkinkan terhadap purnawirawan tersebut, yang dianggap senior di kalangan militer. Walaupun berdasarkan garis komando, tentara tidak menerima perintah dari mantan perwira tinggi, namun pengaruh emosional dan kultural yang ditanamkan semasa masih aktif, masih sangat berpotensi untuk menarik simpati dan dukungan dari militer Indonesia.
            Reformasi TNI merupakan upaya penataan peranan dan fungsi  TNI sebagai komponen pertahanan utama dalam menjaga kedaulatan NKRI secara profesional dan proporsional.  Harus diingat bahwa walaupun upaya reformasi TNI (1998-2004) dikatakan berhasil, namun semangat reformasi tersebut masih terus berjalan sampai hari ini. Penghapusan dwifungsi ABRI dan  penerbitan sejumlah undang-undang seperti UU Kepolisian, UU TNI dan UU Pertahanan Nasional tidak menghentikan  upaya reformasi TNI. Masih banyak agenda reformasi TNI yang belum dilaksanakan, diantaranya penataan dan likuidasi bisnis militer, serta reformasi peradilan militer. Di tengah upaya menuntaskan reformasi TNI, intensi para diplomat AS untuk meminang para purnawirawan, secara tidak langsung menghambat semangat reformasi tersebut. Jabatan pemerintahan yang masih dipegang oleh kalangan militer, khususnya purnawirawan dalam logika reformasi TNI merupakan sebuah langkah mundur. Terbuka kemungkinan untuk menggunakan jaringan militer untuk menggalang dukungan menuju suskesi pemerintahan di tahun 2014.
Oleh karena itu, patut dilihat secara lebih menyeluruh pilihan  politik AS di tengah dinamika kehidupan berbangsa dan bernegara. Alangkah bijak, jika komponen –komponen bangsa di negeri ini menempatkan tugas dan fungsinya sesuai amanat konstitusi dan dasar negara Pancasila.
Hipolitus Wangge
Peneliti Pacivis UI

Dimuat di harian Jawa Pos, Rabu 3 Agustus 2011.


[1] Artikel ini dimuat di Harian Jawa Pos edisi Rabu, 3 Agustus 2011 di kolom Opini. berjudul Makna Lobi 2014 Amerika. Judul aslinya seperti tertera di atas dan isi lengkapnya seperti dalam blog ini.
[2] Lebih lanjut terkait dukungan AS bagi PRRI/Permesta, baca Ruth Mcavey, Politik Luar Negeri Indonesia: Keterlibatan AS Di Indonesia,” Yale University Press, 1976.
[3] Lebih lanjut mengenai dokumen Rand berjudul The Role of the Military Underdeveloped Countries di website resmi www.rand.org.
[4] Lebih lanjut baca, Salim Said, Militer Indonesia dan Politik; Dulu, Kini dan Kelak, 2001, Jakarta:Pustaka Sinar Harapan.
[5] Wawancara langsung penulisa dengan Letjen (Purn) Kiki Syahnakri untuk kebutuhan penelitian militer di Jakarta, 25 Juli 2011. Sebagian penjelasan terkait doktrin pelaksanaan TNI dapat dibaca di blog penulis www. omaana.blogpsot.com berjudul Regenerasi Kepemimpinan TNI dan Potret Aktual Bangsa.

No comments:

Post a Comment