Translate

Monday, August 29, 2011

PERSELISIHAN LAUT CINA SELATAN: MENGAPA CINA MENGAMBIL POSISI PRAGMATIS


Pada pertemuan 23 Juli ASEAN Regional Forum (ARF) di Bali, Cina, dan ASEAN menyetujui untuk membentuk panduan yang lebih baik untuk mengimplementasikan Deklarasi perilaku pihak-pihak  di Laut Cina Selatan (DOC). Pengaturan panduan tersebut berupaya untuk memperkecil perselisihan yang terjadi di seluruh wilayah Laut Cina Selatan.
Perkembangan pertemuan ARF dipandang sebagai langkah besar menuju penyelesaian damai perselisihan tersebut. Pengadopsian panduan-panduan tersebut akan menolong untuk mengurangi ketegangan-ketegangan dan mempromosikan pembangunan kesepahaman di antara pihak-pihak yang terlibat. Lebih khusus, panduan-panduan tersebut akan memfasilitasi kerjasama diantara Cina dan negara-negara ASEAN. Hal ini akan menempatkan seluruh pihak dalam posisi yang pragmatis.
Penerimaaan Cina terhadap panduan-panduan yang diusulkan oleh ASEAN merupakan langkah signifikan terkait pendekatan yang dipakai tanpa perubahan mendasar dari kebijakan Cina di laut Cina Selatan.
Untuk menimplementasikan DOC, Cina dan negara-negara ASEAN berjanji untuk melaksanakan sejumlah proyek-proyek kerjasama yang tertunda terkait penyelesaian akhir konflik perbatasan tersebut. Sementara negara-negara yang terlibat dalam konflik laut Cina Selatan meningkatkan upaya pencarian energi untuk menjadi bahan bakar bagi pertumbuhan ekonomi domestik  negara-negara tersebut, eksplorasi bersama minyak dan gas bumi akan membantu untuk mengurangi ketegangan dan mencapai keuntungan bersama.
Sementara itu, Cina juga akan memainkan peranan dengan menawarkan pembiayaan dan teknologi untuk mengeksplorasi minyak dan gas di wilayah laut dalam. Cina juga akan mengambil inisiatif untuk bekerjasama di bidang perlindungan wilayah kelautan,  penelitian ilmiah, keselamatan pelayaran, pencarian dan penyelamatan , demikian juga dengan upaya memerangi kejahatan-kejahatan transnasional.
Tetapi panduan-panduan tersebut masih memiliki kelemahan dalam tindakan-tindakan konkret, baik Cina maupun negara-negara ASEAN membutuhkan pertimbangan yang sangat detail dalam proses negosiasi.  Hal ini dapat mencakup langkah-langkah  seperti distribusi informasi, koordinasi proyek, pengelolaan beban dan manajemen krisis.
Dengan melakukan aktivitas-aktivitas kerjasama dan mempromosikan pembentukan kesepahaman bersama, Cina menunjukkan keinginannya untuk mengatur perselisihan dengan negara-negara ASEAN tanpa keterlibatan kekuatan-kekuatan dari luar. Asisten Menteri Luar Negeri Cina Liu Zhenmin juga berpendapat bahwa dukungan terhadap panduan tersebut seharusnya menjadi tanda kepada dunia  bahwa masa depan dari konflik laut cina selatan dapat diprediksi, dapat ditata, dan tentu saja optimis.
Tahun ini Menteri Luar Negeri Amerika Serikat Hillary Clinton juga memuji proses tersebut, menggambarkan hal tersebut sebagai langkah awal penting menuju terbentuknya kode etik- berbeda dengan komentar-komentar pedas tahun lalu pada pertemuan ARF di Vietnam.  Ia mengakui bahwa kemajuan dapat dicapai melalui dialog dan diplomasi multilateral.
Terganggunya jalur pengiriman menjadi kritikan terhadap keberlanjutan dan kemakmuran negara-negara Asia Timur. Dan pada pertemuan di ARF, Cina menunjukkan perhatian serius terkait kebebasan pelayaran di Laut Cina Selatan, dengan usulan resmi pemerintah Cina untuk menjadi tuan rumah seminar terkait topik tersebut. Cina sangat bergantung pada perdagangan ekonomi kelautan dan lebih dari 80% impor  minyak bumi melewati jalur laut Cina selatan setiap tahun.
Sangat jelas bagi Cina untuk mengadopsi panduan-panduan DOC terkait nilai-nilai Beijing dalam berhubungan dengan ASEAN. Substansi dari hubungan perdagangan dan ekonomi antara Cina dan ASEAN seharusnya dipandang sebagai salah satu faktor konstruktif  untuk mengkerangkai seluruh hubungan tersebut. Dengan pelaksanaan seluruh Perjanjian Perdagangan Bebas Cina-ASEAN (CAFTA), nilai dari kerjasama perdagangan bilateral dalam 6 bulan pertama pada tahun ini mencapai 171 miliar USD-sepersepuluh dari total perdagangan Cina selama periode tersebut.
Hal tersebut merupakan kebijakan nasional bagi negara-negara anggota ASEAN dan Cina untuk menerapkan kemauan politik yang kuat dan mengambil banyak langkah pragmatis untuk mencegah perselisihan perbatasan maritim yang dapat membahayakan kepentingan ekonomi bersama negara-negara tersebut.[1]
Yang Fang, asisten peneliti pada Program Keamanan Maritim, S. Rajaratman School of International Studies (RSIS), Nanyang Technological University, Singapura.
Yogyakarta (Monjali), 30 Agustus 2011.



[1] Artikel diatas ditulis oleh Yang Fang di bawah judul South China Sea dispute: Why China takes a Pragmatic Stance (26 Agustus 2011), East Asia Forum. Lebih lanjut lihat http://www.eastasiaforum.org/2011/08/26/south-china-sea-dispute-why-china-takes-a-pragmatic-stance/

No comments:

Post a Comment