Translate

Wednesday, September 21, 2011

MAKNA PERTEMUAN PARA JENDRAL

 
         







           
            
               Pada awal bulan Agustus lalu, salah satu media nasional memuat berita terkait kunjungan para purnawirawan TNI-AD yang tergabung dalam Persatuan Purnawirawan Angkatan Darat (PPAD) ke kantor salah satu partai terbesar di negeri ini. Menurut pernyataan salah satu petinggi partai tersebut, kunjungan tersebut didorong oleh kesamaan visi kebangsaan yang berlandaskan nasionalisme. 

Pasca lobi  diplomat AS, kelompok purnawiran kembali menata dan memposisikan diri sebagai salah satu kekuatan politik yang masih sangat berpengaruh di negeri ini. Berdasarkan potensi tersebut, maka sangat wajar jika partai-partai politik tertarik untuk mendekati kelompok potensial dari kalangan militer tersebut. 

Terdapat  beberapa hal penting yang patut disimak. Pertama, partai-partai politik masih membutuhkan pihak militer. Kedua, lobi militer kepada partai-partai politik. Ketiga membangun profesionalisme militer menuju pambangunan strategi pertahanan minimal (minimum essential force) .

Partai-partai politik masih merasa dukungan pihak militer sebagai kunci keberhasilan agenda partai tersebut di tingkat nasional. Bahkan beberapa organisasi masyarakat radikal meminta dukungan sebagian purnawirawan untuk mendukung agenda politik tertentu. Hal ini sebenarnya merupakan bentuk inferior complex (Muna:2002), yakni keadaan rendah diri sipil terhadap militer yang memiliki sejarah dominasi yang kuat di negeri ini.  Indikator lain dari inferior complex adalah masih ditempatkannya para purnawirawan dalam jabatan-jabatan strategis, baik sipil maupun pemerintah, seperti komisaris bank-bank swasta, kepala bidang penelitian, duta besar dan berbagai posisi strategis lainnya. Hal tersebut menandakan masih berpengaruhnya wibawa militer untuk mengamankan kepentingan-kepentingan tertentu para pemimpin sipil di negeri ini. Indikator selanjutnya adalah korupsi di tubuh militer. Selama  KPK berdiri, belum pernah muncul satu kasus korupsi  yang terjadi di Markas Besar TNI dan Kementrian Pertahanan RI. Pertanyaannya adalah apakah benar kedua lembaga tersebut tidak pernah menyelewengkan penggunaan dana pertahanan nasional ataukah KPK sendiri yang tidak berani untuk mengusut indikasi korupsi di kedua lembaga tersebut. Alasan kedua dinilai menjadi alasan terbesar mengapa sampai hari ini kedua lembaga tersebut belum pernah tersentuh atau masuk dalam radar investigasi KPK.

Pertemuan para purnawirawan dengan para pemimpin partai dalam beberapa minggu belakangan ini didasarkan pada penilaian kegagalan kepemimpinan di Indonesia saat ini.  Kegagalan sipil menjadi pintu masuk bagi keterlibatan militer dalam ranah masyarakat sipil (Honowitz: 1962). Peristiwa 17 Oktober 1952 menjadi cikal bakal peranan politik militer dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Beberapa mantan perwira merasa kecewa dengan kepemimpinan yang berkuasa saat ini. Padahal, pemerintahan sekarang berada di bawah kepemimpinan mantan perwira tinggi TNI. 

Beberapa kalangan purnawirawan bergabung dengan kelompok-kelompok masyarakat sipil untuk menyuarakan berbagai persoalan bangsa dewasa ini. Berbagai pertemuan rutin mingguan  dilakukan di Jakarta dengan melibatkan para purnawirawan untuk membedah dan mencari solusi permasalahan bangsa ini. Sebagian besar purnawirawan  yang tergabung dalam PPAD maupun dalam berbagai kelompok masyarakat sipil menyuarakan hal yang sama yakni kegagalan rezim berkuasa, sehingga perlu dikoreksi. Militer Indonesia merupakan contoh militer yang tidak hanya ditempatkan sebagai“pemadam kebakaran” (Finer:1967). Perselisihan diantara berbagai partai politik, korupsi yang merajalela, dan kelakuan para politisi dan elit yang tidak mencerminkan jati diri bangsa, mendorong pihak militer terpanggil untuk menyelesaikan permasalahan-permasalahan tersebut. 

Oleh karena itu, para purnawirawan perlu mendekati partai-partai politik tertentu untuk mendesak perlunya perubahan di negeri ini. Namun, pertemuan-pertemuan tersebut perlu dilihat sebagai intensi politik pihak militer untuk mendapatkan posisi strategis pasca transisi pemerintahan 2014. Tujuan utama lobi politik 2014 AS adalah menempatkan “teman lama” di jajaran puncak pemerintahan negeri ini, atau setidaknya untuk menjaga kepentingan AS di Indonesia.

Pertemuan para purnawirawan tidak hanya terhadap satu partai poltik atau satu kelompok masyarakat, tetapi menyebar ke hampir semua partai politik nasional dan kelompok-kelompok masyarakat sosial. Hal tersebut mengindikasikan keinginan para purnawirawan untuk tidak ditinggalkan oleh kelompok sipil yang akan berkuasa pada tahun 2014.  Selain itu,konsolidasi militer-sipil menandakkan pihak militer masih berkeinginan untuk terus terlibat dalam menentukan arah pembangunan bangsa ini. 
Pembangunan postur pertahanan TNI dalam 15 tahun kedepan adalah mencapai kekuatan pertahanan minimal (Minimum Essential Forces/MEF) pada tahun 2024. Pada tahun  tersebut, TNI diharapkan menjadi kekuatan profesional yang mampu berhadapan dengan kekuatan militer negara lain. MEF didasarkan pada ketersediaan anggaran dan pembangunan kekuatan alat utama sistem pertahanan yang memadai. Dalam RAPBN 2012, anggaran pertahanan naik 35, 7 persen dari tahun sebelumnya. Kementrian pertahanan mendapatkan anggaran 64, 4 triliun. 

Kenaikan tersebut merupakan momentum yang tepat dalam rangka penguatan sistem pertahanan Indonesia menuju rencana besar MEF 2024. Berdasarkan perencanaan besar tersebut, seharusnya para purnawirawan dilibatkan untuk memikirkan konsep pembangunan pertahanan nasional Indonesia pada masa yang akan datang. Pernyatan Mayjen (Purn) Kiki Syahnakri patut disimak. Menurut beliau pembangunan kekuatan TNI ke depan, harus ditekankan pada pembaharuan seluruh doktrin pertahanan nasional yang sudah tidak sesuai lagi dengan tantangan dan potensi ancaman dewasa ini. Berdasarkan pernyataan tersebut, alangkah lebih bijak jika para purnawirawan dan perwira aktif lebih berkosentrasi pada pembangunan postur pertahanan TNI  pada masa yang akan datang. 

Keterlibatan militer dalam ranah sipil di era demokrasi justru akan menganggu konsolidasi demokrasi di Indonesia yang baru berjalan 13 tahun. Walaupun hanya sebagai purnawirawan, namun semangat korps militer mampu menarik simpati dan dukungan institusi militer untuk juga terlibat dalam urusan sosial politik masyarakat Indonesia, seperti yang terjadi pada era orde baru. Masih terbuka kemungkinan penggunaan jaringan militer untuk mendulang suara pada pemilu mendatan.

Keterlibatan institusi militer dalam ranah sipil, dapat berakibat menurunnya kemampuan tempur militer Indonesia di tengah modernisasi militer negara-negara lain di sekitar kita. Keterlibatan komponen-komponen militer dalam urusan-urusan sipil, hanya akan memperlemah semangat profesionalisme  menuju kekuatan militer Indonesia yang tangguh dan disegani..

Oleh
Hipolitus Wangge
Peneliti  Global Civil Society Studies (Pacivis) Universitas Indonesia.

Dimuat di Harian Kompas, 21 September 2011


No comments:

Post a Comment