Translate

Wednesday, September 28, 2011

UU INTELIJEN, BUKAN INTERNAL SECURITY ACT (ISA)


Meledaknya bom di Solo pada hari Minggu, 25 September 2011 di Gereja Bethel Injil Sepenuh dan terror bom di Gereja Maranata Ambon, menampar kinerja lembaga intilijen Indonesia yang dinilai lambat dan tidak mampu memberikan pendeteksian dan peringatan dini (early warning). Kendala utama yang disampaikan kepala BIN adalah tidak tersedianya perangkat hukum bagi aparat intilijen untuk mendeteksi sedini mungkin informasi yang bisa dijadikan alat bukti sebelum dilakukan penindakan. 

Pada tanggal 16 September 2011, Perdana Menteri Malaysia Datuk Najib abdul Razak mengumunkan pencabutan dua undang-undang kontroversial, yakni Undang-Undang Keamanan dalam Negeri (Internal Security Act/ISA) dan Undang-Undang Keadaan Darurat (Emergency Ordinace). 

Pasca pengumuman tersebut, khususnya pencabutan ISA, muncul beragam tanggapan masyarakat Malaysia. Kelompok pertama mengganggap dicabutnya undang-undang tersebut akan meningkatkan kegiatan dan ancaman teroris serta berbagai tindakan kriminal di Malaysia. Hal tersebut mengingat keberadaan ISA mampu mencegah dan meredam tindak-tindakan anarkis dan perkembangan kelompok teroris di Malaysia. Kelompok kedua, melihat langkah politik yang diambil PM Abdul Razak tidak lebih dari sekedar mencari dukungan  menjelang pemilu Malaysia pada tahun 2013. Sedangkan, salah satu warisan konflik yang belum diselesaikan yakni  persoalan diskirimasi antar etnis, khususnya Cina dan India, tidak menjadi salah satu substansi utama dari rencana pencabutan ISA tersebut.

Namun, bagi kelompok ketiga, pengumuman tersebut merupakan momentum perubahan Malaysia menuju negara yang demokratis dan menghargai hak-hak asasi manusia. Betapa tidak, sejak diberlakukan pertama kali pada tahun 1960, sebagian besar masyarakat Malaysia yang kritis dan berhaluan oposisi dipenjarakan tanpa proses peradilan. Penyadapan dan penangkapan paksa membuat masyarakat Malaysia berada dalam suasana mencekam dan penuh ketakutan. Keadaan inilah yang mendesak Perdana Menteri Abdul Razak melakukan koreksi berupa pencabutan undang-undang tersebut.

Pada awalnya ISA merupakan produk undang-undang kolonial yang dihasilkan Inggris pada tahun 1947. Tujuan pemberlakuan undang-undang tersebut adalah memberangus perkembangan Partai Komunis Malaysia dan mengawasi dan menindak tegas jaringan dan pergerakan kelompok-kelompok radikal yang berpotensi melakukan tindakan teror terhadap masyarakat Malaysia.

Seiring perjalanan waktu, undang-undang tersebut digunakan oleh pemerintah Malaysia untuk mengekang kebebasan sipil dan menghentikan kelompok-kelompok oposisi yang kerap kali mengganggu kinerja pemerintah. Salah satu bentuk penyelewengan utama pemerintahan Malaysia sebelumnya adalah pengawasan ketat, penangkapan, dan penahanan tanpa proses peradilan yang dijalankan selama lebih dari 50 tahun terhadap lawan-lawan politik. Namun, harus diingat fungsi utama ISA tetap dijalankan, yakni pengawasan ketat terhadap kelompok-kelompok radikal yang berkeinginan mengganggu stabilitas domestik. Pasca peledakan di gedung kembar World Trade Center di New York pada 11 September 2001 dan serangkaian bom meledak di Indonesia dalam kurun waktu 2000 sampai 2011, Malaysia justru tidak mengalami satu pun peledakan berskala masif. Hal tersebut menjadi bukti efektifitas penerapan ISA di Malaysia.

Sedangkan di Singapura sendiri, pemerintahan setempat masih menilai perlunya undang-undang kemanan dalam negeri guna mencegah meningkatnya tindakan-tindakan kriminal, kekerasan berbau SARA, dan tindakan-tindakan subversif yang dapat mengganggu stabilitas pemerintahan. Namun, seperti disampaikan Menteri Dalam Negeri Singapura, Teo Chee Hean, pada masa mendatang perlu dikaji kembali pentingnya keberadaan undang-undang keamanan dalam negeri Singapura di tengah semangat perubahan dunia dewasa ini.

Bagi Indonesia sendiri, semangat perubahan politik yang digaungkan oleh perdana menteri Tun Abdul Razak membangkitkan “kewaspadaan nasional”. Seperti yang diketahui, salah satu produk-produk undang-undang yang sebentar lagi akan disahkan adalah undang-undang intilijen negara. Sejauh ini, rancangan undang-undang tersebut belum disahkan karena tekanan masyarakat sipil, khususnya kelompok pro demokrasi dan hak-hak asasi manusia. Isu utama yang menjadi pokok permasalahan adalah kewenangan yang diberikan kepada  aktor-aktor intilijen untuk menangkap dan menahan tanpa izin dan proses peradilan. Tindakan-tindakan tersebut bertentangan dengan nilai-nilai hak asasi manusia, karena tindakan-tindakan tersebut akan menimbulkan ketakutan di masyarakat dan mencabut kebebasan masyarakat dalam menyuarakan pendapatnya. Selain itu, tindakan-tindakan tersebut rawan untuk diselewengakan oleh para penguasa untuk kepentingan tertentu. RUU intilijen dikhawatirkan akan mengembalikan situasi Indonesia kembali ke era orde baru. 

Pada era orde baru, pemerintah pada saat itu sangat menekankan pentingnnya stabilitas nasional guna mendukung pembangunan. Undang-undang Subeversi tahun 1963 menjadi cara paling efektif untuk memberangus kebebasan sipil dan memperkuat posisi pemerintah sebagai pemegang kekuasaan tertinggi yang memiliki logika otoriterianisme. Namun, pada tahun 1998, seiring dengan gelombang reformasi, undang-undang tersebut dicabut.

Berdasarkan gelombang perubahan yang menjadi trandmark masyarakat dunia dewasa ini, dapat diprediksi pemerintah belum akan mengesahkan RUU intilijen. Pengalaman masyarakat Malaysia selama 5 dekade belakangan ini, dibatasi bahkan dihilangkan hak-hak sipilnya akan menjadi peringatan dini (early warning) bagi pemerintah Indonesia yang sebelumnya pernah mengalami situasi serupa pada era orde baru. Di tengah semangat keterbukaan dan kebebasan sipil, munculnya kecenderungan pembatasan hak-hak sipil akan mengundang resistensi dan antipati terhadap rezim yang berkuasa.

Namun yang harus diingat bahwa kebutuhan atas tercapainya kemanan nasional  (national security) juga menjadi perhatian serius bagi bangsa ini. Malaysia sendiri tidak hanya mencabut ISA, namun menggantinya dengan produk undang-undang yang disesuaikan dengan nilai-nilai demokratis, hak-hak asasi manusia, dan keamanan nasional. Ketakutan munculnya gerakan-gerakan fundamentalis agama yang berujung pada aksi-aksi terorisme, aksi-aksi anarkis dan kejahatan terorganisir membuat pemerintah Malaysia sadar akan pentingnya harmonisasi kepentingan masyarakat sipil dan kepentingan nasional. Indonesia juga patut menyadari ha-hal tersebut.

Peledakan bom di Solo dan ancaman-ancaman teror di Ambon menunjukkan dibutuhkan perangkat hukum yang bisa mendeteksi dini dan memberikan penanganan yang professional dan proporsional. Adanya upaya kelompok-kelompok tertentu untuk mengembalikan kondisi bangsa ini seperti pada era transisi, dimana banyak terjadi konflik SARA, membuat pemerintah perlu mencari format kebijakan yang mampu mencegah dan menangani gelaja-gejala perpecahan bangsa ini.  

Negara merupakan aktor utama yang memiliki kewenangan sesuai konstitusi untuk melakukan tindak kekerasan. Intilijen merupakan salah satu alat negara yang dipakai untuk menjalankan kewenangan tersebut. Intilijen merupakan lembaga di bawah eksekutif yang bertugas menjalankan fungsi pendeteksian dan penindakan dini sesuai koridor dan pengawasan lembaga legislatif, yudikatif dan kelompok masyarakat sipil. Intilijen merupakan alat negara yang sama kedudukannya dengan kepolisian dan TNI di negara ini yang berfungsi memberikan rasa aman dan stabilitas keamanan dalam negeri. Oleh karena itu, jika kepolisian dan TNI sudah memiliki undang-undang tersendiri, maka sudah sepantasnya initilijen juga harus memiliki aturan hukum yang melegitimasi peran dan fungsi alat negara tersebut.

Oleh karena itu, RUU Intilijen dapat menjadi salah satu solusi dengan catatan, perlunya mengharmonisasikan nilai-nilai demokratis dan hak asasi manusia dengan keamanan nasional. Selain itu, aktor-aktor intilijen juga harus menjaga integritas sebagai pengabdi bangsa dan negara sehingga dalam melaksanakan tugas tidak melakukan tindakan-tindakan penyelewengan. Kewenangan yang diberikan kepada aparat intilijen harus diamalkan berdasarkan amanat konstitusi negara ini.

Mengharmoniskan kepentingan masyarakat sipil dan kepentingan nasional merupakan kunci dalam pembuatan berbagai produk undang-undang di era reformasi seperti sekarang. Kesepakatan antara DPR dan Pemerintah terkait pengesahan RUU intilijen merupakan langkah positif, setelah dilakukan penyesuaian terkait kewenangan-kewenangan dari lembaga intilijen. 

Kejadian di Solo dan Ambon menjadi cermin terkait pentingnya perangkat hukum yang menjadi dasar untuk melegitimasi tugas dan peran lembaga intilijen untuk memberikan rasa aman dan tenteram bagi seluruh masyarakat Indonesia.

Hipolitus Wangge
Peneliti Pacivis-Universitas Indonesia, Jakarta

Dimuat di Harian Jawa Pos, 28 September 2011

No comments:

Post a Comment