Translate

Monday, August 29, 2011

PERSELISIHAN LAUT CINA SELATAN: MENGAPA CINA MENGAMBIL POSISI PRAGMATIS


Pada pertemuan 23 Juli ASEAN Regional Forum (ARF) di Bali, Cina, dan ASEAN menyetujui untuk membentuk panduan yang lebih baik untuk mengimplementasikan Deklarasi perilaku pihak-pihak  di Laut Cina Selatan (DOC). Pengaturan panduan tersebut berupaya untuk memperkecil perselisihan yang terjadi di seluruh wilayah Laut Cina Selatan.
Perkembangan pertemuan ARF dipandang sebagai langkah besar menuju penyelesaian damai perselisihan tersebut. Pengadopsian panduan-panduan tersebut akan menolong untuk mengurangi ketegangan-ketegangan dan mempromosikan pembangunan kesepahaman di antara pihak-pihak yang terlibat. Lebih khusus, panduan-panduan tersebut akan memfasilitasi kerjasama diantara Cina dan negara-negara ASEAN. Hal ini akan menempatkan seluruh pihak dalam posisi yang pragmatis.
Penerimaaan Cina terhadap panduan-panduan yang diusulkan oleh ASEAN merupakan langkah signifikan terkait pendekatan yang dipakai tanpa perubahan mendasar dari kebijakan Cina di laut Cina Selatan.
Untuk menimplementasikan DOC, Cina dan negara-negara ASEAN berjanji untuk melaksanakan sejumlah proyek-proyek kerjasama yang tertunda terkait penyelesaian akhir konflik perbatasan tersebut. Sementara negara-negara yang terlibat dalam konflik laut Cina Selatan meningkatkan upaya pencarian energi untuk menjadi bahan bakar bagi pertumbuhan ekonomi domestik  negara-negara tersebut, eksplorasi bersama minyak dan gas bumi akan membantu untuk mengurangi ketegangan dan mencapai keuntungan bersama.
Sementara itu, Cina juga akan memainkan peranan dengan menawarkan pembiayaan dan teknologi untuk mengeksplorasi minyak dan gas di wilayah laut dalam. Cina juga akan mengambil inisiatif untuk bekerjasama di bidang perlindungan wilayah kelautan,  penelitian ilmiah, keselamatan pelayaran, pencarian dan penyelamatan , demikian juga dengan upaya memerangi kejahatan-kejahatan transnasional.
Tetapi panduan-panduan tersebut masih memiliki kelemahan dalam tindakan-tindakan konkret, baik Cina maupun negara-negara ASEAN membutuhkan pertimbangan yang sangat detail dalam proses negosiasi.  Hal ini dapat mencakup langkah-langkah  seperti distribusi informasi, koordinasi proyek, pengelolaan beban dan manajemen krisis.
Dengan melakukan aktivitas-aktivitas kerjasama dan mempromosikan pembentukan kesepahaman bersama, Cina menunjukkan keinginannya untuk mengatur perselisihan dengan negara-negara ASEAN tanpa keterlibatan kekuatan-kekuatan dari luar. Asisten Menteri Luar Negeri Cina Liu Zhenmin juga berpendapat bahwa dukungan terhadap panduan tersebut seharusnya menjadi tanda kepada dunia  bahwa masa depan dari konflik laut cina selatan dapat diprediksi, dapat ditata, dan tentu saja optimis.
Tahun ini Menteri Luar Negeri Amerika Serikat Hillary Clinton juga memuji proses tersebut, menggambarkan hal tersebut sebagai langkah awal penting menuju terbentuknya kode etik- berbeda dengan komentar-komentar pedas tahun lalu pada pertemuan ARF di Vietnam.  Ia mengakui bahwa kemajuan dapat dicapai melalui dialog dan diplomasi multilateral.
Terganggunya jalur pengiriman menjadi kritikan terhadap keberlanjutan dan kemakmuran negara-negara Asia Timur. Dan pada pertemuan di ARF, Cina menunjukkan perhatian serius terkait kebebasan pelayaran di Laut Cina Selatan, dengan usulan resmi pemerintah Cina untuk menjadi tuan rumah seminar terkait topik tersebut. Cina sangat bergantung pada perdagangan ekonomi kelautan dan lebih dari 80% impor  minyak bumi melewati jalur laut Cina selatan setiap tahun.
Sangat jelas bagi Cina untuk mengadopsi panduan-panduan DOC terkait nilai-nilai Beijing dalam berhubungan dengan ASEAN. Substansi dari hubungan perdagangan dan ekonomi antara Cina dan ASEAN seharusnya dipandang sebagai salah satu faktor konstruktif  untuk mengkerangkai seluruh hubungan tersebut. Dengan pelaksanaan seluruh Perjanjian Perdagangan Bebas Cina-ASEAN (CAFTA), nilai dari kerjasama perdagangan bilateral dalam 6 bulan pertama pada tahun ini mencapai 171 miliar USD-sepersepuluh dari total perdagangan Cina selama periode tersebut.
Hal tersebut merupakan kebijakan nasional bagi negara-negara anggota ASEAN dan Cina untuk menerapkan kemauan politik yang kuat dan mengambil banyak langkah pragmatis untuk mencegah perselisihan perbatasan maritim yang dapat membahayakan kepentingan ekonomi bersama negara-negara tersebut.[1]
Yang Fang, asisten peneliti pada Program Keamanan Maritim, S. Rajaratman School of International Studies (RSIS), Nanyang Technological University, Singapura.
Yogyakarta (Monjali), 30 Agustus 2011.



[1] Artikel diatas ditulis oleh Yang Fang di bawah judul South China Sea dispute: Why China takes a Pragmatic Stance (26 Agustus 2011), East Asia Forum. Lebih lanjut lihat http://www.eastasiaforum.org/2011/08/26/south-china-sea-dispute-why-china-takes-a-pragmatic-stance/

VIETNAM: DI BAWAH PENGARUH CINA





Beberapa peniliti menganalogikan Cina seperti ayam jago, dimana Korea adalah paruhnya dan Vietnam adalah kakinya.
Analogi tersebut menggambarkan betapa pentingnya Vietnam bagi Cina, terutama dalam hal keamanan, sementara yang lain menganggap Vietnam berada di bawah pengaruh Cina.  Vietnam, oleh karena itu, dalam istilah Charles Thayer , berada  dalam “tirani geografi” dimana tidak terdapat pilihan, namun tetap mengejar kepentingan nasional bersama tetangganya Cina.
Sudah sejak lama, Cina yang kuat memiliki ancaman serius terhadap Vietnam.  Vietnam berada di bawah kekuasaan kerajaan Cina semenjak beribu-ribu tahun yang lalu sampai tahun 938 SM. Bahkan setelah kolonialisasi Perancis sampai akhir abad XIX, Cina masih terlibat di Vietnam melalui invasi dan pendudukan, seperti yang diilustrasikan  dalam “the brief yet bloody war” yang dikobarkan Cina di sepanjang perbatasan utara pada tahun 1979 dan pertempuran laut yang dimulai oleh Cina di laut Cina Selatan pada bulan Maret 1988.
Ancaman Cina dari Vietnam tidak hanya berasal dari kedekatan geografi  tetapi juga dari ukuran yang asimetrik dan perbedaan “power” di antara kedua negara.  Cina 29 kali lebih besar dari Vietnam, sementara, populasi Vitenam, meskipun berada pada urutan ke 14 jumlah penduduk terbanyak di dunia, tetapi  masih hanya seperti  jumlah penduduk salah satu provinsi di Cina.
Kekuatan ekonomi Cina yang begitu impresif sejak periode 1980an membuat perbedaan antara kedua negara begitu tinggi.  Hal ini diakibatkan oleh modernisasi ekonomi Cina yang meyebabkan jurang “power”  diantara kedua negara begitu lebar. Berdasarkan data Bank dunia, GDP Cina meningkat lebih dari 16 kali dari tahun 1985 sampai tahun 2009, 307 miliar USD sampai 4. 985 triliun USD . GDP Cina hanya meningkat 7 kali lipat pada periode yang sama, dari 16 juta USD pada tahun 1985 menjadi 97 miliar USD pada tahun 2009.
Berdasarkan perkembangan ekonomi tersebut, kekuatan militer Cina juga berkembang secara signifikan,  menunjukkan ancaman yang hebat terhadap Vietnam.  Berdasarkan pernyataan-pernyataan resmi pemerintah Cina,  anggaran pertahanan nasional sebesar  91 miliar USD, sementara Vietnam mengalokasikan anggaran pertahanan sebesar 2,6 miliar USD. Secara khusus kekhawatiran Vietnam adalah peningkatan anggaran pertahanan Cina dikonsentrasikan pada kekuatan angkatan laut dan udara, memperkuat kemampuan Cina untuk membangun kekuatan militer di Laut Cina Selatan dimana Cina dan Vietnam saling mengkalim wilayah tersebut.
Transformasi Vietnam  menuju pasar bebas juga memperkuat aspek lainnya dari  tirani geografi: peningkatkan kerentanan ekonomi.
Semenjak Vietnam kembali membuka hubungan perdagangan dengan Cina pada akhir 1980, produk domestik  negara tersebut terancam oleh barang-barang Cina , mengalir melalui jalur perdagangan legal maupun ilegal (penyelundupan).    Hal tersebut bukan hanya merupakan ekses negatif  bagi produksi nasional Vietnam, tetapi juga menempatkan masyarakat Vietnam (konsumen) pada resiko, ketika barang-barang selundupan tersebut mengandung racun dan bahan-bahan berbahaya bagi kesehatan manusia.
Kerentanan lain adalah defisit perdagangan abadi dengan Cina sebesar 5,4 miliar USD diluar total defisit negara tersebut dengan Cina yakni 7,5 miliar USD selama paruh pertama 2011.  Cina juga merupakan importir terbesar bagi Vietnam, terhitung ¾ total impor Vietnam berasal dari Cina pada tahun 2010. Vietnam sangat bergantung pada Cina terkait input bahan-bahan bagi sebagian besar industri nasional negara tersebut, sementara ekspor Vietnam ke Cina sangat kecil  jika dibandingkan dengan total impor cina.  
Seharusnya Cina tidak perlu melajutkan perdagangan dengan Vietnam dengan beberapa pertimbangan, kerusakan terhadap ekonomi Vietnam sangat besar.
Hal lain yang  juga perlu mendapat perhatian adalah penguasaan perusahaan-perusahaan Cina sebesar 90% terhadap kontrak-kontrak  EPT ( perakitan, pembelian dan konstruksi) untuk sebagian besar proyek-proyek nasional Vietnam, terutama yang berkaitan dengan  pembangkit listrik tenaga batu bara (coal-fired power plants). Kontraktor-kontraktor Cina lebih disukai karena penawaran teknologi murah dan dijanjikan untuk membantu mendapatkan pembiayaan keuangan dari bank-bank Cina.
            Walaupun proyek-proyek tersebut kelihatannya murah, tetapi dalam kenyataannya sangat mahal.  Pertama, teknologi murah biasanya sangat berpolusi. Laporan-laporan menunjukkan beberapa teknologi yang ditawarkan oleh perusahaan-perusahaan Cina tidak dilanjutkan atau dilarang oleh Pemerintah Cina sejak tahun 2005. Kedua, kemampuan-kemampuan   teknis kontraktor-kontraktor Cina terbatas, menyebabkan beberapa proyek tertunda. Bahkan, ketika proyek-proyek diselesaikan tepat waktu, konstruksi yang buruk harus ditanggung oleh pemilik proyek dengan biaya tagihan pemeliharaan yang begitu mahal. Ketiga, seperti defisit perdagangan Vietnam terhadap Cina yang melonjak, kontraktor-kontraktor Cina juga menolak menggunakan produk-produk nasional Vietnam yang tersedia, tetapi harus diimpor dari Cina.  Kontraktor-kontraktor Cina sering kali membawa para pekerja ilegal dari Cina dengan biaya sendiri dibandingkan menggunakan buruh-buruh Cina, hal tersebut memancing protes masal di Vietnam.
Disamping itu, kerentanan ekonomi yang terjadi belakangan ini adalah pembelian besar-besaran dari para pedagang Cina terhadap produk-produk pertanian Vietnam. Hal tersebut menyebabkan kenaikan harga produk-produk di Vietnam dan, meskipun usaha tak kenal lelah oleh Pemerintah Vietnam untuk menekan inflasi, harga-harga tetap meningkat sebesar 20,8 % pada Juni 2011.
Sebelumnya, Vietnam terlihat memiliki sedikit pilihan terkait kerentanan ekonomi ketika berhadapan dengan Cina. Di satu sisi, setiap  dampak ekonomi yang muncul kemungkinan  akan direspon berdasarkan aturan-aturan perdagangan  dan investasi internasional,   seperti persyaratan awal yang diterima Vietnam ketika masuk dalam keanggotaan WTO pada tahun 2007.  Di sisi lain, Vietnam berharap pertumbuhan (walaupun asimetrik)   ketergantungan  ekonomi akan menolong untuk mengurangi kemungkinan tindakan agresi militer Cina terhadap Vietnam, terumtama di Laut Cina Selatan. Meskipun hal tersebut merupakan kelemahan, pebisnis-pebisnis Vietnam tetap melihat hal tersebut jauh lebih murah dan lebih nyaman untuk bekerjasama dengan tetangga yang “menjulang” tersebut  daripada dengan pihak-pihak lainnya.
Hasilnya, Vietnam tetap melanjutkan kerjasama bisnis secara aktif dengan Cina, terutama dengan diberikan daya tarik “tetangga utara“ yang begitu meningkat performa ekonominya.  Tetapi seperti yang dikatakan para leluhur Vietnam, “madu membunuh lalat”. Pelajaran penting disini adalah Vietnam harus tetap sadar akan potensi-potensi ancaman Cina: setidaknya harus dikembangkan strategi-strategi untuk menetralkan aspek ekonomi dari tirani geografi dimana negara tersebut sangat menderita karena hal tersebut.[1]
Le Hong  Hiep adalah dosen pada Fakultas Hubungan Internasional, Jurusan Ilmu Sosial dan Kemanusiaan, Universitas Nasional Vietnam, Ho Chi Min City, dan sekarang adalah calon PhD pada NewSouth Wales, Akademi Pertahanan Australia.
Yogyakarta, 29 Agustus 2011.



[1] Artikel diatas disadur dari tulisan Le Hong Hiep di East Asia Forum, berjudul Vietnam: Under the Weight of China. Lebih jauh baca http://www.eastasiaforum.org/2011/08/27/vietnam-under-the-weight-of-china.

Saturday, August 27, 2011

REFORMASI PERADILAN MILITER DI INDONESIA

Reformasi peradilan militer di Indonesia merupakan bagian dari reformasi sektor keamanan nasional. Sebagai bagian dari reformasi sektor keamanan, reformasi peradilan militer menjadi bagian dari upaya penataan kembali fungsi, struktur dan kultur institusi penanggungjawab keamanan yang sesuai dengan tata nilai demokrasi dan hak asasi manusia. Aspek keadilan dalam sistem peradilan militer selama ini menjadi sorotan utama, semenjak dimulainya reformasi sektor keamanan pada tahun 1998. Selain pemisahan institusi TNI-POLRI pada tahun 2000 dan penghapusan dwifungsi ABRI pada tahun 2004, agenda reformasi berikut adalah reformasi peradilan militer Indonesia yang berada dalam payung hukum Undang-Undang Nomor 31 tahun 1997 tentang Peradilan Militer.
Agenda diatas menjadi sebuah keharusan melihat beberapa kasus kekerasan militer oleh anggota TNI yang masih terus terjadi, cenderung masih menunjukkan status quo TNI yang kebal terhadap pemberlakuan logika keadilan masayarakt. Salah satu kasus yang menjadi sorotan adalah peradilan militer terhadap 9 orang anggota Yonif 744/Satya Yuda Bhakti yang melakukan penganiayaan hingga mengakibatkan kematian terhadap warga di Atambua, Kabupaten Belu, Nusa Tenggara Timur pada 11 Maret 2011.
Pasca putusan Majelis Hakim Peradilan Militer terhadap 9 anggota batalyon infanteri (yonif) 744/Satya Yuda Bhakti, sorotan masyarakat NTT tertuju pada sistem peradilan militer Indonesia, khususnya tergambar dari proses pengadilan militer yang terjadi di Kupang, pada Selasa, 21 Juli 2011.  Paling tidak, keluarga Charels Mali (21 tahun) merasa putusan majelis hakim jauh dari asas keadilan dan perlakuan yang sama di mata hukum. Kelompok-kelompok masyarakat pro demokrasi dan peduli ham melakukan respon dengan menyatakan penolakan terhadap hasil putusan majelis hakim Pengadilan Militer Kupang.
Berdasarkan putusan majelis hakim kesembilan anggota Yonif 744 rata-rata mendapat hukuman di bawah 1 tahun penjara dipotong masa tahanan dan hanya satu anggota yang dinonaktifkan dari dinas kemiliteran Angkatan Darat. Putusan tersebut didasarkan fakta persidangan bahwa telah terjadi kelalaian yang dilakukan oleh 9 prajurit Yonif 744/SYB dalam melakukan tugas dan mencederai institusi sipil dengan menganiaya sehingga mengakibatkan kematian (vivanews.com).
Tergambar jelas betapa peradilan militer Indonesia tidak ubahnya peradilan umum di negeri ini yang masih jauh dari azaz keadilan dan persamaan di mata hukum. Putusan tersebut sangat melukai nurani masyarakat, terutama  keluarga korban. Dalam proses peradilan militer yang tergambar di Kupang menyisakan pertanyaan utama, apakah peradilan militer di Indonesia akan terus dibiarkan mencederai hari nurani masyarakat sipil.
            Beberapa alasan reformasi peradilan militer di Indonesia adalah peradilan militer di Indonesia merupakan bagian dari permasalahan dalam upaya penegakkan hukum, peradilan militer merupakan tempat mengamankan para prajurit militer yang melakukan tindakan criminal, termasuk pelanggaran hak asasi manusia, serta UU No. 31 tahun 1997 sebagai dasar hukum putusan peradilan militer sangat tidak konstekstual.
Permasalahan Penegakkan Hukum Militer
Peradilan militer di Indonesia masih merupakan masalah dari sistem penegakkan hukum di Indonesia. Indikator utama dari masalah tersebut adalah proses pengambilan keputusan dan vonis akhir yang dibacakan majelis hakim militer tidak sesuai dengan prinsip demokrasi dan hak-hak asasi manusia. Selama orde baru seluruh proses peradilan militer, mulai dari penyidikan sampai penuntutan oleh oditur militer sangat tertutup. Pada era reformasi, ketertutupan pengadilan militer juga masih terjadi. Perbedaan lain yang masih mencederai keadilan masyarakat adalah dalam era reformasi proses pengadilan militer lebih mengutamakan garis komando institusi bukan hati nurani masyarakat yang menjadi petimbangan utama dalam proses tersebut.  Hal ini bermuara pada pembacaan putusan oleh majelis hakim.
Putusan yang disampaikan majelis hakim kemarin cenderung berdasarkan garis komando institusi TNI bukan berdasarkan petimbangan Mahkamah Agung sebagai pemegang kekuasaan kehakiman tertinggi di negeri ini. Kekuasaan kehakiman tertinggi di peradilan militer yang dipegang Mahkamah Agung  berdasarkan penyerahan kekuasaan kehakiman peradilan militer oleh Panglima TNI pada September 2004 dan Keputusan Presiden No. 56 Tahun 2004, serta amanat Undang-Undang Nomor 49 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman. Berdasarkan tiga aturan hukum tersebut, pengawasan proses peradilan militer berada di bawah Mahkamah agung, sedangkan pembinaan disiplin dan karier seharusnya diserahkan kepada Departemen Pertahanan.
Berdasarkan kewenangan pengawasan Mahkamah Agung, seharusnya putusan akhir proses pengadilan militer harus berdasarkan pertimbangan pidana umum, bukan garis komando. Pembinaan Korps Hukum Militer yang dilakukan oleh Mabes TNI melalui Badan Pembinaan Hukum (Babinkum) TNI terkait dengan karier personil militer di lingkungan Peradilan Militer cenderung dipengaruhi komando dalam penegakkan hukum dan keadilan di lingkungan militer. Pengaruh komando tersebut terjadi ketika otoritas militer mempengaruhi, menghalangi atau sengaja mengarahkan kepada hal yang salah administrasi peradilan.   Pengaruh komando militer tidak hanya terjadi di lingkungan peradilan militer, namun terdapat pada oditur militer yang secara organisasi dan administrasi merupakan bagian dari Babinkum TNI yang berkedudukan di Mabes TNI.
Hal diatas  terlihat dalam  hampir semua putusan pengadilan militer sejak tahun 2004 masih didasarkan pada pengaruh komando (command influence) di bawah Mabes TNI. Obejektifitas putusan penagadilan militer cenderung tersandera oleh komando otoritas  militer. Salah satu diantaranya terlihat dari pertimbangan majelis hakim yang dipimpin Kol. Ckh Sugeng Sutrisno yang menyatakan bahwa para terdakwa masih aktif sebagai anggota TNI dan usia mereka masih muda sehingga masih dapat dibina di kesatuan TNI (Thejakartapost.com). Pernyataan tersebut tidak mempertimbangakan nilai-nilai hak asasi manusia yang telah dilanggar oleh kesembilan anggota yonif 744 tersebut.
Kecenderungan intervensi otoritas militer dapat dieliminasi dengan melakukan pemindahan pembinaan dari Mabes TNI kepada Departemen Pertahanan. Pemindahan tersebut tidak hanya pada personil peradilan militer namun untuk semua personil oditurat militer. Pemilihan Departemen Pertahanan sebagai pembina bagi para personil TNI dan memiliki wewenang dalam promosi serta jenjang kepangkatan dari para personil TNI dalam lingkup penegakkan hukum militer, merupakan simbol supremasi sipil terhadap militer dalam negara demokratis, seperti di Indonesia.
Safe Heaven
Berdasarkan laporan studi kebijakan di Indonesia yang dilakukan oleh Imparsial, selama tahun 2001-2006 terdapat 46 kasus pelanggaran ham yang dilakukan oleh aparat militer dan polisi dengan rata-rata hukuman di bawah 4 tahun penjara. Sedangkan laporan Komnas Ham, kekrasan yang dilakukan TNI terhadap warga sipil di NTT dari tahun 2009 sampai awal 2011 mencapai 11 kasus, baru 5 diantaranya yang diproses di pengadilan militer.
Berdasarkan kedua laporan tersebut terlihat bahwa signifikansi perdailan militer terhadap tindakan kriminal para prajurit militer masih jauh dari harapan. Peradilan militer dijadikan safe heaven bagi penyelesaian kasus kriminal yang dilakukan oleh para anggota militer tersebut. Hukuman yang diberikan oleh majelis hakim peradilan militer sangat rendah jika dibandingkan dengan tindakan pidana yang dilakukan oleh anggota militer tersebut, bahkan sampai mengakibatkan kematian. Putusan hukuman yang sama diberikan kepada anggota TNI, baik dalam kapasitas menjalankan tugas institusi maupun diluar tugas institusi. Putusan hukuman yang diberikan tersebut otomatis tidak memberikan efek jera kepada para prajurit yang melakukan tindakan kriminal tersebut. Padahal, efek jera merupakan salah satu tujuan dari peradilan di negara demokratis. Hal tersebut berefek domino terhadap munculnya berbagai tindakan-tindakan kriminal lainnya, seperti yang dialami Charles Mali dan rekan-rekannya, bahkan sangat terbuka kemungkinan pada masa mendatang akan terjadi kekerasan ham lainnya yang menimpa masyarakat sipil, khususnya di wilayah NTT.
Kredibilitas peradilan militer tercoreng di mata masyarakat, karena dalam beberapa kasus, termasuk dalam kasus kematian Charles Mali belum mampu menangkap rasa keadilan rakyat dan menuangkannya dalam putusan hakim.
Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1997
Salah satu dasar hukum utama peradilan militer di Indonesia adalah Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1997, selain Undang-Undang Nomor 49 tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman. Undang-undang peradilan militer tersebut seharusnya sudah harus dirubah, karena aturan hukum tersebut merupakan produk rezim yang dibangun oleh dominasi militer. Pada era orde baru, peradilan militer merupakan bagian dari hegemoni militer di berbagai bidang kehidupan masyarakat Indonesia.
Pada periode awal reformasi sektor keamanan, berbagai produk hukum orde baru yang didominasi oleh militer dirubah. Munculnya TAP MPR-RI Nomor: VI/MPR/2000 tentang Pemisahan TNI dan POLRI, Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2002 tentang TNI dan Undang-Undang Nomor 34 tentang Pertahanan Nasional merupakan upaya mengatur tata kelola  lembaga-lembaga militer, termasuk peradilan militer agar sesuai dengan semangat reformasi dan demokrasi. Amanat melakukan perubahan terhadap peradilan militer tercermin dalam TAP MPR No. VII Tahun 2000 tentang Peran TNI dan Peran Polisi. Dalam pasal 3(4)(a)  menyatakan Prajurit Tentara Nasional Indonesia tunduk kepada kekuasaan peradilan militer dalam hal pelanggaran hukum militer dan tunduk kepada kekuasaan peradilan umum dalam hal pelanggaran hukum pidana umum. Namun, sampai hari ini upaya untuk merubah Undang-Undang Peradilan Militer masih terus menemui hambatan. Salah satu hambatan utama adalah masih kuatnya keinginan TNI untuk membedakan personil militer dengan warga sipil. Bahkan, RUU Peradilan Militer yang dibahas sampai tahun 2007 masih terbentur dengan kuatnya status quo logika  militer  di tengah arus utama demokrasi yang mengutamakan supremasi sipil dan penghormatan terhadap hak-hak asasi manusia.
Melihat putusan pengadilan militer di Kupang terhadap 9 anggota Yonif 744 mendorong upaya masyarakat untuk kembali menghidupkan semangat perubahan Undang-Undang Nomor 31 tahun 1997 tersebut. Tindak pidana umum yang dilakukan aparat militer tersebut seharusnya menggunakan logika pidana sipil dengan menempatkan aparat militer sebagai warga negara biasa yang memiliki kedudukan sama di mata hukum (equality before the law). Aparat militer merupakan bagian dari warga negara biasa yang memiliki status yang sama di mata hukum. Oleh karena itu, seharusnya dalam melakukan tindak pidana umum, seperti penganiayaan yang menyebabkan kematian, vonis yang diberikan didasarkan pada logika pidana umum.
Proses peradilan militer terhadap kesembilan anggota Yonif 744 dan hukuman yang dijatuhkan, mendorong diadakannya koreksi terhadap peradilan militer di Indonesia. Berbagai pertimbangan diatas adalah pertimbangan-pertimbangan sederhana yang diharapkan dapat menggugah nurani seluruh komponen bangsa, khususnya masyarakat NTT untuk mendorong upaya penegakkan hukum yang adil dan sesuai nilai-nilai demokrasi serta hak-hak asasi manusia.
Oleh     : Hipolitus Wangge
 Peneliti Pacivis/UI
            Anggota Forum Academia NTT
Artikel diatas merupakan bentuk keprihatinan penulis dan teman-teman Kelompok Studi Timor Barat (KSTB) terhadap putusan pengadilan militer terhadap kesembilan anggota yonif 744/SYB.

Dimuat di Harian Pos Kupang, 27 Agustus 2011

Thursday, August 18, 2011

LEVELED SUPERVISION MECHANISM OF INDONESIA INTELLIGENT


Performance of intelligent service in  the midst of democracy system is paradoxical nature. In one side democracy requiring freedom for getting both public and transparency democracies, but in other side, as any sovereignty state, intelligent is a requirement for mapping some potencies and threat resources which may disturb stability of state and nation.
Some last months, any problem being still polemic in community is controversy of Intelligent Bill validation. In so far, the main difference among pros and contras group related with duty and authority of intelligent sercice which with had been evaluated to violate human rights potentially. Nevertheless, necessarily, to be cared with is supervision mechanism to performance and implementation of authority of state intelligent supervision. It is integral part of manifesting professional and proportional state intillegent system.
In Intelligent Bill to be still discussed by executive and legislative, function of intelligent service supervision had not been regulated by state powerfully, specially, which have comprehensive character by involving community and structure from bottom to up levels.
Mechanism of leveled supervision is any mechanism of intelligent service mechanism offered within framework of democracy governmental system of this state. Leveled supervision mechanism is any concentric supervision system conducted by some services and institutions where consequential supervision conducted by any service to be covered by following level service supervision. Such leveled supervision is conducted by placing supervision against state intillegent in central circle point is aimed at ensuring and increasing politic, law, and financial accountability.
Operationally, leveled supervision consist of some leveled supervisions. At the first level, state intillegent services should any ethic code of intrlligent profession, it is set of behavior regulations is deemed necessary to realize any duty or function based on principles of honesty and moral properness. Ethic code of intillegent professions may cover statement of state and constitution adherence, loyal and subject under prevailing legislations, to enforce democracy and human rights values, pay promise to kept both professional secrecy, political neutrality (non-partisan ship), having integrity, objectivity and impartiality of information evalution and trusty among policy makers and intelligent officers each other. This ethic code of intelligent to be base for immediate supervision implementation in intelligent service. This ethic code of intelligent will be manifested by any professional work ethos supported by existence of human resource developmental system of intelligent prioritizing professionalism, appreciation mechanism and heavy sanction.
At second level, Presiden should establish supervision mechanism for intelligent services enabling government to (1) get information on intelligent function implementation; (2) control intelligent operations in special nature; (3) to regulate intelligent cooperation with international or foreign parties: and (4) to prevent from possible authorization abuse. This executive supervision may be realized optimally, if in the beginning President forms strict operational framework of intelligent services covering tasking and reporting mechanism. This tasking and reporting mechanism is formed to ensure that intelligent service is remain governmental instruments which may not give task to their services.
At third level, supervision to intelligent institution is conducted by legislative. It is realized for: (1) prevent of special authorization abuse of intelligent; (2) to increase work effectiveness of intelligent services, and (3) to increase political accountability of intelligent activities. Specially, legislative has interest in terms of rule of law principle enforcement within framework of intelligent service performance. Additionally, legislative also conduct supervision against budget used by intelligent service so that, it follows regulations as had been set forth in state budget previously.
At fourth level, supervision mechanism is conducted by civil society. Supervision at this level is conducted by society through state supporting institutions and civil society organizations. Those cover and unlimited to Ombudsman, National Committee of Human Rights (Komnas Ham), National Committee of Children (Komnas Anak), National Committee of Female (Komnas Perempuan) and Corruption Eradication Commission (KPK). It is aimed at forming strong citizenship protection mechanism to prevent of systematic collection efforts to make citizens as subject of intelligent activities. Such immunity rights should be strengthened by state through establishment of citizenship protection mechanism. This mechanism may be applied by two methods: the empowerment of local customs structure where in New Order era it had urdergone administrative standardization process, and to apply mechanism enabling society to consolidate social actively and emancipatively.
Existence of such leveled mechanism significantly, it is wished to increase state intelligent performance in iniating some intelligent activity. Intelligent activity is conducted in order to bring about some intelligent products which may increase state strategic readiness manifested by strengthening early warning and strategic information analysis system in field of national security. As part of early warning system the intelligent activity is aimed at collecting, managing and evaluating information related with threat resources against national security. As part of strategic information analysis systems, intelligent activity aimed at bringing about data base through any deep strategic analysis regarding motive, purpose, identity, organizational structure and weakness of potential threat resources.
Ideally, state intelligent system is manifested by establishment and performance of intelligent service within framework democratic political system based on professional and proportional principles. Those two components may be measured by any indicator, it is leveled supervision mechanism.
Leveled supervision mechanism gave role and accountability to all supporting components for sake of state intelligent manifestation which able to give maximal early warning system. Also it mandates public transparency and accountability which assist society in order to control performance effectiveness of intelligent in Indonesia continuously.
Trauma wiht abuse of intelligent service function in the course of New Order era, it is still trauma for society in Indonesia, Solely, it is not as result of huge authorization of intelligent service, but also supervision factor which may not enable, in present democracy era, it should be corcerned more farer how to structure function and supervision for sake of achieving professional and proportional intelliegtn service.

Hipolitus Wangge
Research Fellow
Center for Global Civil Society Studies (PACIVIS-University of Indonesia)
Faculty of Social and Political Sciences
University of Indonesia
                                       

Friday, August 12, 2011

SEJARAH SISTEM KOMPONEN CADANGAN DI INDONESIA

Oleh : Letjen (Purn) Agus Widjojo[1]

Pengantar[2]

Perkembangan studi-studi terkait sistem komponen cadangan di Indonesia tidak bisa dipisahkan dari sejarah kelahiran TNI. Dalam ayat 1 dan 2 pasal 30 mengenai pertahanan dan keamanan UUD 1945 telah  dinyatakan  dasar penerapan sistem pertahanan dan keamanan Indonesia. Di dalam ayat 1 menyatakan bahwa “setiap warga negara memiliki hak dan kewajiban untuk berpartisipasi dalam usaha pembelaan pertahanan dan keamanan negara. Sementara di pasal 2 menyatakan bahwa “ usaha-usaha pertahanan dan keamanan negara dilaksanakan melalui sistem pertahanan dan keamanan semesta (sishankamrata) oleh Tentara Nasional Indonesia (TNI) dan Polisi Republik Inodonesia (Polri) sebagai komponen utama dan rakyat Indonesia sebagai komponen cadangan.[3] Konsep yang disampaikan dari dua ayat tersebut dihasilkan dari amandemen kedua Undang-Undang Dasar 1945 yang dilakukan oleh MP-RI di tahun 2000.
Kemudian, pertanyaan yang muncul adalah bagaimana cara melaksanakan intisari dari hak-hak dan kewajiban dari setiap warga negara dan (disampiang pengaturan mengenai Polisi dalam sistem pertahanan rakyat semesta (sishankamrata) disamping makna dari TNI dan Polri sebagai komponen utama dan rakyat Indonesia sebagai komponen pendukung? Pasal 1 Bab 1 Peraturan Pelaksana Panglima nomor 3 tahun 2002 mengenai Pertahanan Negara, yang dijelaskana dalam UUD 1945 menyatakan bahwa Sistem Pertahanan Negara adalah sistem pertahanan  yang bersifat total dan melibatkan seluruh warga negara,wilayah dan seluruh sumber daya nasional, dan disiapkan seawal mungkin oleh pemerintah dan dilaksanakan secara terintegrasi, langsung dan mendukung kemampuan untuk mempertahankan kedaulatan, integritas teritorial, serta untuk menyediakan tempat yang aman untuk seluruh bangsa melawan setiap ancaman.[4] Lalu, bagaimana kita melaksanakan sistem cadangan yang tidak terpisahkan dari kelahiran TNI pada tahun 1945, tetapi mampu disinkronkan dengan tujuan komponen cadangan yang melaksankan fungsi pertahanan?

Sistem Komponen Cadangan

Sistem cadangan dibentuk untuk mengembangkan, membantu atau menyediakan dukungan kepada angkatan darat, angkatan laut dan angkatan udara. Komponen cadangan memberikan keuntungan kepada bangsa sebagai bagian dari program keamanan nasional yang secara luas memberikan dukungan terhadap sistem pertahanan yang mensyaratkan dukungan menyeluruh  kepada angkatan bersenjata secara berkelanjutan.
Komponen cadangan mampu untuk mempertahankan kemandiriannya dengan mensyaratkan kemampuan yang telah dilatih, sehingga mampu dimobilisasi secepat mungkin dengan memperluas kekuatan pertahanan sehingga mengurangi kebutuhan pelatihan setelah mobilisasi.[5] Penjelasan Undang-Undang Nomor 20 tahun 1982 mengenai Ketentuan-ketentuan Dasar Pertahanan dan Keamanan Republik Indonesia digambarkan 2 komponen yang melibatkan warga negara dalam sistem pertahanan dan keamanan negara, yakni komponen rakyat dan komponen militer.
Sejarah dan Perkembangan Komponen Cadangan di Indonesia
Dua komponen yang ditarik dari pengalaman upaya-upaya pelaksanaan pertahanan dan keamanan negara Indonesia sejak periode perang kemerdekaan sampai penumpasan gerakan-gerakan separatis. Komponen pertama, adalah komponen rakyat yang terdiri dari milisi-milisi, pasukan gerilya desa (pager desa) termasuk mobilisasi pelajar, organisasi keamanan desa (OKD) dan organisasi keamanan rakyat (OKR) dan pertahanan sipil (hansip, pergerakan keamanan dan perlawanan rakyat termasuk Resimen Mahasiswa dan pegawai-pegawai cadangan yang dibentuk semenjak tahun 1963).
Berikutnya, komponen kekuatan bersenjata di kategori utama, di satu sisi, kekuatan angkatan bersenjata (TNI) sebagai hasil dari rangkaian dan ketidakterputusan perkembangan dan pemantapan Badan Keamanan Rakyat (BKR), Tentara Keamanan Rakyat (TKR) yang dibentuk semenjak 5 Oktober 1945 dan pada akhirnya terlibat dalam Tentara Penyelamat Rakyat dan kedalam Tentara Republik Indonesia (TRI) dan Tentara Nasional Indonesia yang menintegrasikan lascar-laskar dengan TRI pada 1 Juli 1947.
Di lain pihak Polisi Republik Indonesia digunakan sebagai bagian dari Departemen Dalam Negeri sampai 1 Juli 1946, kemudian diatur dalam Undang-Undang No. 13 tahun 1961 sebagai bagian dari Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI) dan sejak 1964 memiliki kedudukan yang sejajar dengan angkatan darat, angkatan laut dan angkatan udara. Seperti yang dijelaskan sebelumnya,  pada awalnya Polri dipisahkan dari ketiga angkatan ABRI.[6]
Yang menjadi masalah disini adalah (1) keterlibatan warga negara sebagai kekuatan rakyat dalam sistem pertahanan dan keamanan rakyat semesta (sishankamrata) dengan Tentara Nasional Indonesia (TNI) sebagai kekuatan aktif dalam melaksanakan fungsi pertahanan. (2) bagaimana struktur tersebut yang berjalan semenjak situasi 1945 ketika Indonesia berjuang untuk kemerdekaan dan tidak memiliki tentara regular sebelumnya yang tidak secara penuh melaksanakn fungsi pertahanan dan keinginan untuk membentuk komponen cadangan. (3) pemisahan fungsi TNI dan POLRI.
Namun demikian, lebih dari pada itu, kebutuhan untuk membentuk sistem cadangan dan komponen berdasarkan pembedaan wajib militer dan sukarela merupakan hasil dari demokratisasi yang telah dimanifestasikan dalam Bagian Penjelasan Undang-Undang No. 29 Tahun 1954 mengenai Pertahanan Republik Indonesia, sekalipun dalam pasal 4 Bab 2 tentang Keaslian pertahanan dinyatakan bahwa “ pertahanan Republik Indonesia menyiapkan pertahanan rakyat dan dilaksanakan di bawah kepemimpinan pemerintahan Indonesia.”
Undang-Undang No. 20 tahun 1982 merupakan landasan konstitusional yang berusaha mengelaborasi kesemestaan yang didalamnya terdapat keterlibatan rakyat secara menyeluruh. Dalam UU tersebut menyatakan bahwa komponen-komponen kekuatan pertahanan dan keamanan terdiri dari pelatihan rakyat sebagai komponen dasar, kekuatan bersenjata dan angakatan bersenjata sebagai komponen utama, penjaga nasional sebagai komponen khusus, sumber daya alam dan sumber daya buatan serta infrastruktur-infrastruktur nasional sebagai komponen pendukung. Sebelumnya, kejelasan struktur tersebut sangat kabur dan ambigu untuk diartikan, apakah fungsi berperang untuk komponen cadangan dapat disebut rakyat terlatih (Ratih) yang tidak terintegrasi dalam struktur kekuatan bersenjata Indonesia.

Sishankamrata dan Pertahanan Teritorial

Bagaimanapun, pengamatan terhadap pembentukan kekuatan rakyat sebagai bentuk pertisipasi langsung dari fungsi pertahanan hal yang dapat juga terdapat di berbagai negara, terutama negara-negara yang berhadapan dengan ancaman-ancaman kekuatan dan kemampuan  superpower dibanding negara-negara tersebut.  Strategi tersebut dapat dipakai secara bebas, baik oleh negara-negara komunis dan sosialis, seperti republik Rakyat Cina (RRC) dan Yugoslavia, negara-negara berkembang seperti duo Korea (Korut dan Korsel), Indonesia dan negara-negara cinta damai yang berada dalam lingkungan geostrategi yang berhadapan dengan negara-negara tetangga yang lebih kuat, seperti Switzerlan, Finlandia atau Swedia, terutama berada dalam era proliferasi nuklir negara-negara superpower. Strategi pertahana tersebut disebut “Pertahanan Teritorial”.
Pertahanan teritorial bersumber dari fungsi pertahanan yang berdasarkan teritorial, baik keinginan untuk mempertahankan wilayah atau untuk melaksanakan metode pergelaran seluruh komponen pertahanan di seluruh wilayah teritori. Pertahanan teritorial tidak hanya didasarkan pada pembalasan terhadap serangan musuh yang menargetkan untuk menghancurkan atau harus berdasarkan pertahanan linear konvensional militer, lebih dari daripada itu bertujuan untuk mempersulit musuh menduduki wilayah dan menguasai rakyat negar tersebut.
Inti setiap kebijakan pertahanan teritorial adalah mempersiapkan pertahanan darat dan sipil, sehingga bersama-sama mampu melaksanakan perjuangan dalam operasi teritorial  berdasarkan kemampuan dengan menggunakan berbagai instrumen, termasuk gerilya jika perlu. Terdapat dua perspektif mengenai hubungan militer dengan rakyat atau sipil.
Perspektif pertama bersumber dari pendekatan militer. Startegi tersebut dapat dilihat sebagai pengedalian total seluruh penggunaan sumber-sumber daya nasional, sebelumnya terdapat pandangan bahwa pertahanan teritorial memfasilitasi pengendalian menyeluruh oleh militer berdasarkan kondisi-kondisi demikian: (1) memperlemah hubungan negara diantara rakyat dan militer, sehingga meminimilisasi rintangan-rintangan kudeta militer, (2) merupakan manifestasi dari strategi pertahanan defensive, sehingga hal tersebut tidak akan dianggap sebagai ancaman oleh negara lain. (3) hal tersebut bukan merupakan penggunaan  persenjataan dan sistem operasional ofensif, (4) hal tersebut mendasari kemampuan negara untuk mandiri dalam melaksanakan fungsi pertahanan nasionalnya.
Karakteristik dari sistem pertahanan teritorial tersebut, memiliki kemiripan dengan sistem pertahanan dan keamanan rakyat semesta (sishankamrata) yang dianut Indonesia dan diadopsi dari pengalaman-pengalaman selama perode perang kemerdekaan. Bagaimanapun, dua faktor pendorong dari startegi pertahanan  teritorial dan sishankamrata dalam negara dengan berdasarkan sistem politik demokrasi dalam mengaburkan keanehan kombatan dan non-kombatan. Meningkatkan kesadaran warga negara mengenai hak-haknya adalah juga menaruh harapan terkait kepastian hukum terhadap seluruh hak dan kewajiban yang melekat dalam diri setiap warga negara. Dua faktor ini telah membawa kepentingan untuk mencari bentuk sishankamrata yang memberkati dengan kepastian hukum bagi seluruh warga negara dan tidak lagi dalam bentuk partisipasi langsung rakyat pada tingkat operasi dalam kerangka hak dan kewajiban untuk mempertahankan negara.
Partisipasi warga negara merupakan implementasi dari hak-hal dan kewajiban-kewajiban mereka dalam hal pertahanan dalam negara demokrasi dan modern yang menunjukkan kepentingan untuk mengakomodasi nilai pertahanan oleh rakyat dalam sistem cadangan yang harus menjawab permasalahan pertahanan teritorial dengan memberikan (1) jaminan asuransi (2) memastikan pemisahan yang jelas antara kombatan dan non-kombatan. Sishankamrata yang secara jelas berasal dari situasi perang kemerdekaan dan membatasi pengerahan rakyat juga sangat diperlukan secara luas untuk mendukung seluruh kebutuhan sumber daya nasional dalam rangka mendukung upaya-upya pertahanan nasional.

Kesimpulan

      Berdasarkan penggambaran di atas, terlihat bahwa perkembangan sejarah sitem komponen cadangan di Indonesia dapat disimpulkan sebagai berikut:
   Pertama, sishankamrata Indonesia dibentuk dari bentuk pengerahan rakyat dalam kondisi perang, yang direfleksikan dalam sistm pertahanan territorial. Kedua, sistem ini dibentuk dari pengerahan rakyat yang  secara langsung terlibat dalam tingkatan operasional untuk mendukung pertahanan nasional. Ketiga, tantangan yang kita hadapi sekarang adalah bagaimana mentransformasikan nilai-nilai dalam sistem pertahanan, yang dicontohkan sebagai pertahanan rakyat dalam negara demokrasi modern agar supaya menyediakan kepastian hukum bagi seluruh warga negara dalam mengimplemtasikan hak-hak dan kewajiban-kewajibannya,. Keempat, sejarah sistem komponen cedangan pertahanan di Indonesia  yang berdasarkan beragam ketentuan-ketentuan adalah transformasi sistem pertahanan yang berasal dari partisipasi langsung rakyat agar mempertahankan negara dan juga berasal dari perang kemerdekaan dengan memberikan kepastian hukum bagi seluruh hak-hak dan kewajiban warga negara yang berhubungan dengan pertahanan negara. Kelima, Sishankmarata adalah semesta yang dibentuk dari upaya-upaya bangsa pada saat mempertahankan eksistensinya melawan segala bentuk ancaman-ancaman, oleh karena itu, prinsip kesemestaan tidak dapat dibatasi hanya pada pengerahan kekuatan rakyat, tetapi harus diperluasa dengan keterlibatan seluruh sumber-sumber daya bangsa demi tujuan pertahanan nasional.

1.    
Jakarta 12 Agustus 2011



[1] Mantan Kepala Staf Teritorial TNI, Mantan Wakil Ketua MPR-RI, dan sekarang adalah peneliti senior CSIS, dan mantan anggota Komisi Kebenaran dan Persahabatan Indonesia-Timor Leste, dan anggota Dewan Penasihat Lemhanas, serta mantan Wakil UKP3R.
[2] Artikel aslinya berjudul “The History of Defense Reserve System in Indonesia”. Artikel tersebut dimuat dalam buku hasil kerjasama Lesperssi dengan The Geneva Center for the Democratic Control of Armed Forces, berjudul Total Defense and Military Conscript; Indonesia’ Experience and Other Democracies.
[3] Pasal 30 Bab XII Pertahanan dan Keamanan Negara UUD 1945
[4] Ketentuan-Ketentuan Umum Undang-Undang No. 3 tahun 2002 tentang Pertahanan Nasional
[5] Pengertian tersebut berasal dari Ensiklopedia Pertahanan dan Militer Internasional, hal. 2274, diterbitkan oleh Brassey’s (US) Inc. Washington, New York
[6] Ayat 7 mengenai penjelasan umum UU No. 20 tahun 1982 mengenai Ketentuan-Ketentuan Pertahanan dan Keamanan Republik Indonesia.